Menpar Tidak Akan Mengubah Target
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2018 pemerintah menetapkan pariwisata sebagai tiga besar sektor unggulan yang akan dioptimalkan potensinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hal ini menambah keyakinan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bahwa pariwisata sangat tepat dijadikan core economy Indonesia. Bencana erupsi Gunung Agung di Bali pada pengujung tahun ini memukul industri pariwisata Tanah Air, khususnya Bali sebagai penyumbang terbesar kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).
Imbasnya target kunjungan wisman 2017 diproyeksikan meleset. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekad Menpar Arief Yahya untuk mengejar target wisman tahun depan sebanyak 17 juta.
”Saya tidak akan mengubah target,” tandasnya. Alokasi anggaran pariwisata 2018 yang hanya Rp3,5 triliun juga menjadi tantangan tersendiri.
Kabar baiknya, era digital memungkinkan pemasaran pariwisata menjadi lebih efektif, disamping du kungan semua stakeholder untuk memajukan pariwisata Indonesia. Strategi apa lagi yang akan dijalankan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) tahun depan? Berikut petikan wawancara dengan Menpar Arief Yahya di Jakarta, baru-baru ini:
Mengapa Bapak sangat yakin pariwisata bisa menjadi bisnis inti (core economy) dari bangsa ini?
Sebagai satu bangsa, tidak boleh kita sama se - kali tidak punya andalan. Saya selalu yakin bahwa bangsa ini akan bisa bersaing di industri berbasis budaya (cultural industry). Kalau industri lainnya saya tidak percaya, karena kita untuk menjadi besar dan terbaik (diindustri selain pariwisata) itu ham pir tidak mungkin.
Contohnya di era komunikasi dan informasi, teknologinya semua dikuasai perusahaan Amerika Serikat (AS). Nggak mungkin kita bisa ngejar. Kalau di industri budaya, kita berpeluang untuk besar dan menang. Pariwisata dan ekonomi krea tif masuk dalam golongan ini. Selain nilai budaya, ada nilai komersialnya juga. Pariwisata bisa mem buktikan itu. Pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar Indonesia pada 2019.
Berapa proyeksi devisa pariwisata pada ta hun mendatang?
Pada 2016 penerimaan devisa wisman mencapai USD13,8 miliar atau sekitar Rp176 triliun-184 triliun. Dalam rencana kerja Kemenpar, devisa pariwisata tahun depan ditargetkan Rp223 triliun dan pada 2019 sekitar Rp275 triliun-Rp280 triliun.
Kenaikan devisa itu apakah karena jumlah wismannya naik ataukah belanja wisman yang juga naik?
Kemenpar itu targetnya bukan hanya jumlah wis man, tapi juga devisa. Jangan khawatir Menparnya ngawur membidik wisman karena saya juga ditarget jumlah devisanya. Jadi, selain jumlah, kita juga kejar pendapatan dari devisa. Kita beruntung dua-duanya naik. Jumlah wismannya 2016 itu naik sekitar 15%, dari 10,4 juta menjadi 12 juta. Tapi, rata-rata spending (belanja) wismannya juga naik dari USD11.000 menjadi USD12.000 per wisman per kunjungan. Tahun ini kemungkinan spendingnya tidak naik karena pertumbuhan jumlahnya sangat tinggi, yaitu 24% sampai Oktober. Tahun 2019 juga kemungkinan masih USD1.200.
Apakah faktor-faktor pendukung yang ada sudah cukup ideal untuk membantu pencapaian target-target di sektor pariwisata?
Dalam Rencana Kerja Pemerintah 2018, presiden telah menetapkan tiga sektor prioritas yaitu pertanian, pariwisata, perikanan. Untuk pariwisata, saya berani mengatakan bahwa ini sudah pada track yang benar. Di pariwisata itu ada pemasaran, destinasi, dan Sumber Daya Manusia (SDM) atau kelembagaan. Untuk pemasaran, kita harus masuk ke digital, kalau nggak kita akan kalah. Pasalnya, 70% customer kita sudah menggunakan digital.
Selanjutnya di pengembangan destinasi, kita sudah tetapkan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas atau ”10 Bali baru”. Di situ rumusnya 3A, yaitu atrak si, aksesibilitas, dan amenitas. Kalau untuk atrak si, kita tidak khawatir karena sumber daya alam dan budaya kita selalu Top 20 di dunia. Untuk aksesibilitas, kita mendorong perbaikan infrastruktur, terutama bandara.
Dan kalau mau jadi destinasi utama kelas dunia, maka bandaranya harus internasional. Kalau atraksi dan akses bagus, investor dengan sendirinya akan masuk untuk membangun amenitas atau akomodasi seperti perhotelan. Lalu di bidang SDM/kelembagaan, SDM harus kita sertifikasi dengan standar global, minimal regional seperti di ASEAN kita punya Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk profesi ke pariwisataan. Kita akan menyertifikasi dari saat ini sekitar 125.000 menjadi 500.000 orang.
Kesiapan masyarakat di destinasi wisata dalam menerima tamu asing terkadang masih menjadi kendala. Bagaimana mengatasinya?
Kita selalu menyiapkan SDM. Kita sepakat orang-orangnya akan kita lakukan transformasi dengan mengundang para top management atau para General Manager dari luar. Ini bisa dilakukan secara bertahap, misalnya kita minta tenaga ahli lulusan Bali dulu selama lima tahun pertama, setelah itu dari lokal bisa bench marking. Batam dulu pendekatannya seperti itu dan berhasil. Untuk des tinasi in ter nasional, saya rasa orang asing pun tidak apa-apa kita undang.
Terkait 10 Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP), tahun depan mana yang akan diprioritaskan?
Dari 10 Destinasi Prioritas (Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Bromo-Tengger-Semeru, Morotai, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Labuan Bajo) itu kita fokus kan lagi. Melalui rapat terbatas dengan presiden, kita sepakat akan memokuskan diri kepada percepatan empat destinasi yaitu Danau Toba, Labuan Bajo, Borobudur, Mandalika. Destinasi tersebut juga kita nilai sudah siap 3A-nya.
Pada awal menjadi Menpar, Bapak selalu menekankan tentang strategi BAS (Branding, Advertising, Selling). Apakah ini masih akan di terapkan pada 2018?
Mengingat anggarannya terbatas, saya terpaksa ambil langkah pragmatis. Kita akan lebih banyak di selling, advertisingnya kurang, apalagi branding. Itu jangka pendeknya akan tercapai, tapi jangka menengah dan panjangnya sangat buruk karena tidak meninggalkan brand yang kuat. Jadi, kita bukan marketer yang baik.
Apa tantangan terbesar tahun depan?
Saya nggak basa-basi, anggarannya kurang. Idealnya anggaran kita Rp9 triliun, tapi kita hanya di beri (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Rp3,7 triliun atau sekitar 42%-nya. Ini berat dan saya nanti tidak mewariskan sesuatu itu yang benar. Bayangkan, nggak ada branding, maka kita nanti nggak punya brand yang kuat. Sesuatu yang di tetapkan sebagai core economy, tapi alokasi sumber dayanya sedikit sekali. Pada hal, untuk menarik wisman itu juga ada pehitungannya, yaitu USD20 per wisman. Tapi, dengan anggaran yang 42% itu berarti cuma USD8 per wisman.
Apakah hal itu akan memengaruhi target kunjungan 17 juta wisman pada 2018?
Target tahun depan tetap 17 juta wisman dan 270 juta pergerakan wisatawan nusantara (wisnus). Saya nggak mau target berubah karena kalau berubah kita akan semakin jauh tertinggal dari negara lain. Strateginya kita perbanyak selling dan lebih banyak menggunakan media digital. Pasarnya juga akan lebih diperketat. Selain itu, dua event besar yaitu Asian Games dan pertemuan tahunan IMF-World Bank tahun depan juga akan kita optimalkan untuk memacu kunjungan wisata.
Kita sudah membuat tujuh paket yang akan kita jual sesuai dengan destinasi yang siap di sekitar dua venue besar Asian Games ya itu Jakarta dan Palembang. Untuk event IMF-World Bank di Bali juga kita ta warkan 60 paket wisata di Bali dan enam destinasi lainnya (Lombok, Komodo, Yogyakarta, Tana Toraja, Danau Toba, Banyuwangi). Produknya sudah siap semua, tinggal kita promosikan.
Berdasarkan Peraturan Presiden No 93/2017, struktur organisasi Kemenpar akan berubah pada 2018. Perubahan apa yang signifikan?
Per 1 Januari 2018 kita akan mulai berubah. Hal yang mendasari perubahan ini adalah organisasi yang berorientasi pada customernya. Nantinya satu direktur akan membawahi satu pasar. Contohnya dulu pasar China, India, Australia, Jepang, itu di bawah satu direktur. Nantinya, masing-masing negara itu dipegang satu direktur. Tapi, untuk yang perbatasan saya titipi juga kawasan timur Indonesia. Dengan perubahan struktur ini akan lebih efektif dan efisien. (Inda Susanti)
Hal ini menambah keyakinan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bahwa pariwisata sangat tepat dijadikan core economy Indonesia. Bencana erupsi Gunung Agung di Bali pada pengujung tahun ini memukul industri pariwisata Tanah Air, khususnya Bali sebagai penyumbang terbesar kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).
Imbasnya target kunjungan wisman 2017 diproyeksikan meleset. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekad Menpar Arief Yahya untuk mengejar target wisman tahun depan sebanyak 17 juta.
”Saya tidak akan mengubah target,” tandasnya. Alokasi anggaran pariwisata 2018 yang hanya Rp3,5 triliun juga menjadi tantangan tersendiri.
Kabar baiknya, era digital memungkinkan pemasaran pariwisata menjadi lebih efektif, disamping du kungan semua stakeholder untuk memajukan pariwisata Indonesia. Strategi apa lagi yang akan dijalankan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) tahun depan? Berikut petikan wawancara dengan Menpar Arief Yahya di Jakarta, baru-baru ini:
Mengapa Bapak sangat yakin pariwisata bisa menjadi bisnis inti (core economy) dari bangsa ini?
Sebagai satu bangsa, tidak boleh kita sama se - kali tidak punya andalan. Saya selalu yakin bahwa bangsa ini akan bisa bersaing di industri berbasis budaya (cultural industry). Kalau industri lainnya saya tidak percaya, karena kita untuk menjadi besar dan terbaik (diindustri selain pariwisata) itu ham pir tidak mungkin.
Contohnya di era komunikasi dan informasi, teknologinya semua dikuasai perusahaan Amerika Serikat (AS). Nggak mungkin kita bisa ngejar. Kalau di industri budaya, kita berpeluang untuk besar dan menang. Pariwisata dan ekonomi krea tif masuk dalam golongan ini. Selain nilai budaya, ada nilai komersialnya juga. Pariwisata bisa mem buktikan itu. Pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar Indonesia pada 2019.
Berapa proyeksi devisa pariwisata pada ta hun mendatang?
Pada 2016 penerimaan devisa wisman mencapai USD13,8 miliar atau sekitar Rp176 triliun-184 triliun. Dalam rencana kerja Kemenpar, devisa pariwisata tahun depan ditargetkan Rp223 triliun dan pada 2019 sekitar Rp275 triliun-Rp280 triliun.
Kenaikan devisa itu apakah karena jumlah wismannya naik ataukah belanja wisman yang juga naik?
Kemenpar itu targetnya bukan hanya jumlah wis man, tapi juga devisa. Jangan khawatir Menparnya ngawur membidik wisman karena saya juga ditarget jumlah devisanya. Jadi, selain jumlah, kita juga kejar pendapatan dari devisa. Kita beruntung dua-duanya naik. Jumlah wismannya 2016 itu naik sekitar 15%, dari 10,4 juta menjadi 12 juta. Tapi, rata-rata spending (belanja) wismannya juga naik dari USD11.000 menjadi USD12.000 per wisman per kunjungan. Tahun ini kemungkinan spendingnya tidak naik karena pertumbuhan jumlahnya sangat tinggi, yaitu 24% sampai Oktober. Tahun 2019 juga kemungkinan masih USD1.200.
Apakah faktor-faktor pendukung yang ada sudah cukup ideal untuk membantu pencapaian target-target di sektor pariwisata?
Dalam Rencana Kerja Pemerintah 2018, presiden telah menetapkan tiga sektor prioritas yaitu pertanian, pariwisata, perikanan. Untuk pariwisata, saya berani mengatakan bahwa ini sudah pada track yang benar. Di pariwisata itu ada pemasaran, destinasi, dan Sumber Daya Manusia (SDM) atau kelembagaan. Untuk pemasaran, kita harus masuk ke digital, kalau nggak kita akan kalah. Pasalnya, 70% customer kita sudah menggunakan digital.
Selanjutnya di pengembangan destinasi, kita sudah tetapkan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas atau ”10 Bali baru”. Di situ rumusnya 3A, yaitu atrak si, aksesibilitas, dan amenitas. Kalau untuk atrak si, kita tidak khawatir karena sumber daya alam dan budaya kita selalu Top 20 di dunia. Untuk aksesibilitas, kita mendorong perbaikan infrastruktur, terutama bandara.
Dan kalau mau jadi destinasi utama kelas dunia, maka bandaranya harus internasional. Kalau atraksi dan akses bagus, investor dengan sendirinya akan masuk untuk membangun amenitas atau akomodasi seperti perhotelan. Lalu di bidang SDM/kelembagaan, SDM harus kita sertifikasi dengan standar global, minimal regional seperti di ASEAN kita punya Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk profesi ke pariwisataan. Kita akan menyertifikasi dari saat ini sekitar 125.000 menjadi 500.000 orang.
Kesiapan masyarakat di destinasi wisata dalam menerima tamu asing terkadang masih menjadi kendala. Bagaimana mengatasinya?
Kita selalu menyiapkan SDM. Kita sepakat orang-orangnya akan kita lakukan transformasi dengan mengundang para top management atau para General Manager dari luar. Ini bisa dilakukan secara bertahap, misalnya kita minta tenaga ahli lulusan Bali dulu selama lima tahun pertama, setelah itu dari lokal bisa bench marking. Batam dulu pendekatannya seperti itu dan berhasil. Untuk des tinasi in ter nasional, saya rasa orang asing pun tidak apa-apa kita undang.
Terkait 10 Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP), tahun depan mana yang akan diprioritaskan?
Dari 10 Destinasi Prioritas (Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Bromo-Tengger-Semeru, Morotai, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Labuan Bajo) itu kita fokus kan lagi. Melalui rapat terbatas dengan presiden, kita sepakat akan memokuskan diri kepada percepatan empat destinasi yaitu Danau Toba, Labuan Bajo, Borobudur, Mandalika. Destinasi tersebut juga kita nilai sudah siap 3A-nya.
Pada awal menjadi Menpar, Bapak selalu menekankan tentang strategi BAS (Branding, Advertising, Selling). Apakah ini masih akan di terapkan pada 2018?
Mengingat anggarannya terbatas, saya terpaksa ambil langkah pragmatis. Kita akan lebih banyak di selling, advertisingnya kurang, apalagi branding. Itu jangka pendeknya akan tercapai, tapi jangka menengah dan panjangnya sangat buruk karena tidak meninggalkan brand yang kuat. Jadi, kita bukan marketer yang baik.
Apa tantangan terbesar tahun depan?
Saya nggak basa-basi, anggarannya kurang. Idealnya anggaran kita Rp9 triliun, tapi kita hanya di beri (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Rp3,7 triliun atau sekitar 42%-nya. Ini berat dan saya nanti tidak mewariskan sesuatu itu yang benar. Bayangkan, nggak ada branding, maka kita nanti nggak punya brand yang kuat. Sesuatu yang di tetapkan sebagai core economy, tapi alokasi sumber dayanya sedikit sekali. Pada hal, untuk menarik wisman itu juga ada pehitungannya, yaitu USD20 per wisman. Tapi, dengan anggaran yang 42% itu berarti cuma USD8 per wisman.
Apakah hal itu akan memengaruhi target kunjungan 17 juta wisman pada 2018?
Target tahun depan tetap 17 juta wisman dan 270 juta pergerakan wisatawan nusantara (wisnus). Saya nggak mau target berubah karena kalau berubah kita akan semakin jauh tertinggal dari negara lain. Strateginya kita perbanyak selling dan lebih banyak menggunakan media digital. Pasarnya juga akan lebih diperketat. Selain itu, dua event besar yaitu Asian Games dan pertemuan tahunan IMF-World Bank tahun depan juga akan kita optimalkan untuk memacu kunjungan wisata.
Kita sudah membuat tujuh paket yang akan kita jual sesuai dengan destinasi yang siap di sekitar dua venue besar Asian Games ya itu Jakarta dan Palembang. Untuk event IMF-World Bank di Bali juga kita ta warkan 60 paket wisata di Bali dan enam destinasi lainnya (Lombok, Komodo, Yogyakarta, Tana Toraja, Danau Toba, Banyuwangi). Produknya sudah siap semua, tinggal kita promosikan.
Berdasarkan Peraturan Presiden No 93/2017, struktur organisasi Kemenpar akan berubah pada 2018. Perubahan apa yang signifikan?
Per 1 Januari 2018 kita akan mulai berubah. Hal yang mendasari perubahan ini adalah organisasi yang berorientasi pada customernya. Nantinya satu direktur akan membawahi satu pasar. Contohnya dulu pasar China, India, Australia, Jepang, itu di bawah satu direktur. Nantinya, masing-masing negara itu dipegang satu direktur. Tapi, untuk yang perbatasan saya titipi juga kawasan timur Indonesia. Dengan perubahan struktur ini akan lebih efektif dan efisien. (Inda Susanti)
(nfl)