2018, Tahun Keemasan Ekonomi Kreatif

Senin, 18 Desember 2017 - 16:30 WIB
2018, Tahun Keemasan Ekonomi Kreatif
2018, Tahun Keemasan Ekonomi Kreatif
A A A
JAKARTA - Tahun 2018 diprediksi akan menjadi puncak pertumbuhan ekonomi kreatif (ekraf). Tren di 2018 juga akan semakin ramai oleh generasi zaman now sebagai pencari ekraf (leisure economy) yang berkaitan erat dengan pangsa pasar industri kreatif.

Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ricky Joseph Pesik mengatakan, pihaknya akan fokus membenahi setiap subsektor di bawah naungan Bekraf. Pihaknya menggandeng lembaga kajian riset global yang berpengalaman dalam meneliti industri kreatif di seluruh dunia seperti Nielsen, PwC, Intel. "Sekarang kami sudah jangkau pelaku ekraf di ratusan kota. Ke depannya fokus kami untuk membenahi dan memperkuat ekosistem-ekosistem subsektor sesuai dengan hasil identifikasi. Karena itu kami libatkan lembaga riset yang berpengalaman dalam ekraf di berbagai negara," ujar Ricky.

Tantangan ekraf di 2018 datang dari lingkup internal dan eksternal. Terdapat berbagai regulasi yang harus disiapkan untuk mendukung pertumbuhan pelaku industri. Persaingan secara terbuka akan terjadi sehingga kualitas pelaku dalam negeri harus ditingkatkan. Wewenang pemerintah sangat besar untuk menata aturan main yang proporsional. Salah satunya peraturan Menteri Perdagangan dan peraturan Bea Cukai untuk membuka ruang e-commerce menjual secara satuan dengan tujuan ekspor.

"Kami sedang siapkan kajian size market dan potensi bisnis yang hilang apabila tidak diperbolehkan ekspor," katanya.

Sejumlah data menyebut pasar e-commerce nasional USD2,8 miliar, tetapi pada 2030 menjadi USD195 miliar. Besaran ini sejalan dengan pasar e-commerce global yang nilainya 100 kali lipat dari pasar Indonesia. "Kita tidak akan bisa menikmati itu. Produk satuan tersebut seperti musik dan film yang bisa dijual melalui iTunes. Potensi lainnya adalah busana dan kriya yang lebih mudah diekspor. Tujuannya terutama pasar AS, Inggris, dan China," ujarnya.

Bekraf terus mencatat kenaikan kontribusi ekraf terhadap total PDB Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Kontribusi ekraf terhadap PDB di 2017 diprediksi Rp990,4 triliun. Angka ini mengalami kenaikan dari 2016 sebesar Rp894,6 triliun dan naik dari Rp852 triliun di 2015. Dirinya optimistis ekraf dapat menjadi poros ekonomi baru Indonesia di masa mendatang. Lapangan kerja yang diciptakan mampu menyediakan pekerjaan untuk 16,4 juta orang di 2017 yang mengalami kenaikan dari 16,2 juta di 2016 dan 16,96 juta pekerja di 2015.

"Contoh terbaik dari kekuatan ekraf Indonesia ialah saat novel Andrea Hirata sangat laris sehingga dibikin film dan akhirnya menghidupkan perekonomian di Belitung. Kami ingin mendorong nilai tambah selain kreativitas sehingga menghasilkan multiplier effect yang besar untuk masyarakat," ujarnya.

Dengan ditunjang ilmu, teknologi, pengetahuan, informasi, dan inovasi yang mumpuni, ekraf mampu memberikan dampak yang besar. Menurut hasil riset gabungan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bekraf pada 2015, sektor ekraf berhasil menyerap 15,9% tenaga kerja dan menyumbangkan nilai ekspor sebesar USD19,4 miliar. Untuk mengembangkan potensi ekraf, Bekraf merangkul 16 subsektor usaha kreatif dalam arah kebijakan ekraf yang terdiri atas kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan konservasi untuk menciptakan ekosistem yang baik di masa depan.

Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo mengatakan, pihaknya berhasil menyalurkan Rp4,2 triliun atau 859,53% di atas target untuk penyaluran modal dari perbankan kepada 2.600 pelaku ekraf. Nilai ini sekaligus mencatatkan pertumbuhan hingga 130% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebagai pihak yang mempertemukan pemilik dana dengan pelaku usaha ekraf, pihaknya berhasil juga mempertemukan modal Rp96,75 miliar dari sumber nonbank ke 1.092 pelaku ekraf.

"Permodalan dari bank tahun 2016 mencapai Rp4,2 triliun dari bank konvensional dan Rp77,2 miliar dari perbankan syariah. Aktivitas permodalan berhasil meningkat untuk pelaku ekraf," ujar Fadjar.

Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta mengatakan, perbankan membutuhkan skema permodalan yang sesuai untuk mendorong penyaluran kredit bagi ekraf. Meskipun ingin memperbesar porsi kreditindustri kreatif, pihaknya juga harus menjaga prudential atau keamanan bisnisnya. Dia menilai intervensi pemerintah seperti kredit usaha rakyat (KUR) dibutuhkan sehingga perbankan lebih percaya diri untuk membiayai.

"Kami baru fokus di subsektor kuliner, fashion, dan digital. Bank coba cari bentuk optimal dan harus dilihat peluang. Kami akan masuk dengan selektif," ujar Bob.

Dia juga menjelaskan niat BNI untuk memiliki modal ventura sehingga bisa lebih nyaman untuk membiayai ekraf. Pihaknya masih mengkaji strateginya apakah secara organik atau anorganik. Satu perhatian utama BNI dalam mendanai ekraf ialah yang dapat mendorong bisnis BNI dan semua anak usahanya. "Idealnya memang dengan mengembangkan modal ventura lalu masuk membesarkan industri kreatif. Namun sampai sekarang prosesnya belum final," ujarnya.

Pengamat marketing Yuswohady mengatakan, tahun 2018 akan menjadi titik matang ekonomi leisure atau rekreatif sejak mencuat di 2015. Ekonomi leisure dipastikan akan sangat bersinggungan dengan subsektor yang belum final. Generasi milenial kini mengarah ke ekonomi leisure sejalan dengan tren kuliner makan malam yang bertujuan hang out atau bukan sekadar makan, tapi mencari suasana atau ambience. Karakternya adalah kocek yang dikeluarkan untuk makan di luar sekitar Rp50.000-100.000. Mereka tidak sekadar makan dan pergi ke restoran.

"Tujuannya 83% sosialisasi bareng teman, 48% habiskan waktu luang, 24% ambil gambar bagus," kata Yuswo.

Begitu juga dengan industri game serta fashion. Soal fashion kini lebih berupa penampilannya untuk dilihat orang, bukan semata untuk kebutuhan dasar. "Mereka mencari pengalaman atau experience seeker, bukan barang-barang atau goods seperti pada generasi baby boomer. Hal ini suntikan bagus industri kreatif," ujar Yuswohady.

Ada dua karakter utama konsumen kini, yaitu experience dan connection. Hal ini artinya ada yang dinikmati sendiri dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sosial ataupun bisa juga digabung sepaket. Kini semua bisa terkoneksi ke pergaulan melalui internet. Kebutuhan kini selalu mencari like atau share di media sosialnya yang berarti untuk connection. "Mereka lebih memilih konsumsi experience dari pada goods karena tidak mau pusing seperti rumah atau mobil. Adapun sehabis makan atau traveling ya selesai sudah," ujarnya.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4167 seconds (0.1#10.140)