Jadikan Motivasi sebagai Sumber Energi

Kamis, 03 Mei 2018 - 18:00 WIB
Jadikan Motivasi sebagai Sumber Energi
Jadikan Motivasi sebagai Sumber Energi
A A A
INDUSTRI alih daya atau outsourcing kian kompleks dengan adanya tren digitalisasi. Namun, PT ISS justru tetap bisa menjadi yang terbaik dengan jumlah tenaga kerja mencapai 63.000 orang. Kompleksitas industri ini sepadan dengan dampak yang dihasilkan dalam menyediakan lapangan kerja yang luas. Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Presiden Direktur & CEO ISS Indonesia Elisa Lumbantoruan mengenai tantangan dalam memimpin cabang perusahaan dari Denmark tersebut.

Apa yang membuat Anda tertarik bekerja di ISS?
Satu hal menarik, perusahaan ini menciptakan lapangan kerja yang sangat besar. Bukan dari sisi jasanya, melainkan kemampuannya mengembangkan sumber daya manusia (SDM) karena membuka lapangan kerja bagi 3.000 orang. Sedangkan 80% lebih pekerja di sini merupakan pekerja baru atau first time job. Justru ini menjadikannya tempat magang terbesar di Indonesia dengan rata-rata lama bekerja tiga tahun. Sebenarnya negara kita tidak kekurangan SDM mumpuni, tapi yang terjadi mismatch antara SDM dan kesempatan kerja.

Bagaimana dengan operasional ISS di negara lainnya?
Praktik bisnis ISS di negara lainnya pada umumnya mengontrak SDM ber-skill tinggi sehingga pelatihan lebih sedikit. Misalnya, program pengenalan itu hanya 2-3 jam, tapi di Indonesia untuk pengenalan menjadi cleaner baru bisa sampai sembilan hari. Sedangkan untuk satpam bisa mencapai 21 hari dan resepsionis seminggu. Lantaran lama sehingga investasi awal kami cukup besar karena mayoritas belum pernah bekerja.

Bagaimana dengan yang pindah?

Rata rata turn over sebesar 36%. Pada umumnya yang merekrut mereka untuk menjadi tenant di mal atau perkantoran. Kami tidak ingin sekadar melatih orang, tapi juga ingin mendidik untuk mengetahui tujuan mereka. Misalnya, cleaner harus berpikir menjadi orang yang melakukan perubahan di masyarakat untuk hidup lebih bersih. Dengan begitu, kalau kita berkunjung ke mal misalnya, meskipun tanpa tanda larangan merokok atau buang sampah sembarangan, orang tidak ada yang buang sampah sembarangan. Jadi, kami tidak sekadar mengajarkan mereka (karyawan) cara bersih-bersih. Kami ajarkan mereka membuat nilai tambah.

Apa saja tantangan dalam industri alih daya ini?
Industri ini lahir dari Undang-Undang No 13/2003 tentang Tenaga Outsourcing. Tapi, sekarang sudah jauh berkembang menjadi 'palugada' atau bisa melayani semua sesuai orderan. Misalnya, ada kebutuhan sopir dengan budget tertentu, lalu kami buka lowongan. Biasanya yang melekat ribuan, lalu diseleksi dan kami tawarkan kemudian kami minta management fee.

Begitu juga kalau ada kebutuhan spesifik lainnya. Artinya, kami hanya melanjutkan sesuai permintaan dan kebutuhan klien. Itu model bisnisnya. Sedangkan model kami beda. Semua karyawan kami digaji di atas upah minimum regional (UMR). Mereka juga mendapat hak BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, hak cuti, tunjangan hari raya (THR), pelatihan, hingga seragam. Apabila seluruh komponen non cash dimasukkan, maka total cost bisa 1,8 kali UMR.

Lalu, kami harus sediakan tenaga cadangan apabila sakit atau cuti ditambah management fee. Ini bikin cost kami lebih tinggi dan harga kami menjadi dua kali lipat. Kami taat menjalankan regulasi. Dengan skala ekonomis, jumlah pegawai yang terbesar membuat harga kami bisa lebih murah, sedangkan kompetitor pasti lebih berat. Kompetitor kami kalau ingin menekan harga pasti menekan di komponen SDM. Kami juga sebagai perusahaan jasa harus bersaing dengan perusahaan jasa lainnya dan kami sebagai organisasi karena yang menentukan adalah pelanggan dari klien atau model B-to-B-to-C.

Untuk investasinya sendiri seperti apa?
Investasi banyak di SDM karena 3.000 karyawan dalam sebulan dididik selama sembilan hari dan itu dilakukan di awal. Lalu, ada pelatihan kepemimpinan untuk manajemen selama sembilan bulan bekerja sama dengan kampus meluluskan 250 orang program berkelanjutan ini. Biaya gaji yang kami siapkan Rp250 miliar per bulan, kami juga siapkan untuk jangka tiga bulan sehingga minimum biaya operasional kami siapkan sekitar Rp1 triliun. Perusahaan lokal tidak kuat untuk menangani cashflow-nya. Walaupun harga kami mahal, tapi kami masih yang terbesar karena dukungan financing dari Kopenhagen.

Unit bisnisnya terdiri dari apa saja?

Unit bisnis kami mulai dari cleaning, satpam, parkir, dan katering. Porsi terbesar di cleaning dan satpam. Model bisnis ke depan sesuai visi kami adalah customer work journey, yaitu mulai dari satpam, outdoor cleaning, customer servis, resepsionis, dan seterusnya, sehingga banyak sekali jasa pelayanan dalam satu gedung dibutuhkan. Untuk efisiensi, nanti mereka akan multitasking pada orang yang sama namun karyawan akan digaji lebih tinggi dan lebih hemat untuk klien. Wilayah Jabodetabek berkontribusi lebih dari 60% dan sisanya perusahaan nasional yang memiliki jaringan di banyak daerah.

Bagaimana pertumbuhan ISS sejauh ini?
Tahun 2015 terdapat lebih dari 5.000 customer namun sekarang hanya 1.000 customer. Ini karena kami lebih selektif dengan minimum pekerjaan untuk 30 orang. Sedangkan dari segi jumlah pegawai naik dari 55.000 pada 2015 menjadi 63.000 kini. Secara bisnis kami meraih pertumbuhan doubel digit,lalu kenaikan upah kami bisa di atas kenaikan UMR atau 8,2% lebih tinggi.

Bagaimana ISS menanggapi isu revolusi industri yang mengutamakan digital?
Revolusi industri keempat ditandai penggunaan teknologi digital dan sharing economy. Justru ini adalah enabler seperti perkembangan teknologi menguntungkan. Misalnya pada 2015, kami butuh 10 hari untuk memproses absensi karyawan yang lembur, sekarang dengan smartphone dan QR code untuk absensi sehingga di seluruh lokasi kami bisa ketahui di mana dan kapan mereka mulai bekerja dan kapan pulang. Sekarang Internet of Things (IoT) juga kami manfaatkan dalam toilet untuk pengaturan lampu dan jadwal cleaning lalu sensor pada keran. Nanti diatur algoritma agar tahu berapa kali petugas harus melakukan pembersihan.

Ada kekhawatiran untuk kompetisi?
Ada sekitar 700 perusahaan melakukan jasa yang sama. Namun, tidak ada kompetitor kalau semuanya fair dan compliance sehingga akan ada struktur harga yang sama.

Sebagai pimpinan, prinsip atau falsafah kepemimpinan seperti apa yang Anda terapkan?

Pertama, saya yakini saat kita jadi bagian suatu lingkungan, pikirkan nilai tambah diri kita, yaitu bagaimana kita menyederhanakan hal yang kompleks, sebaliknya kalau kita mempersulit, maka kita tidak akan diterima. Jangan sampai orang khawatir kalau ada kita. Kemudian dalam leadership kalau makin tinggi posisi itu, artinya harus memikirkan kepentingan orang lebih banyak. Kalau sebelumnya kita hanya mengurusi urusan sendiri lalu dipromosikan ke posisi manajer, maka urusan kita akan bertambah. Karena itu, kita akan berpikir untuk mengembangkan dan membantu tim kita supaya mereka jadi lebih baik.

Kita tidak bisa berpikir makin tinggi posisi akan makin banyak yang menghormati kita, karena sebenarnya makin tinggi posisi kita makin sedikit yang bisa kita putuskan karena tergantung level di bawahnya. Salah kalau posisi tinggi lalu bisa otoriter, itu kontradiktif. Penghargaan orang kepada kita bukan karena posisi kita tapi apa yang kita lakukan ke orang lain.

Ini perubahan dari model komando militer, command and control, jangan berpikir. Ya yang lebih baik adalah model pemberdayaan. Kita tidak bisa memaksa kalau menurut bawahan itu tidak logis. Peran kita hanya bisa meyakinkan. Namun, kalau di posisi CEO, kita hanya bisa menjadi leading,memotivasi, mendorong orang untuk berpikir. Kita harus bangun learning organization supaya orang sadar apa yang terjadi dan belajar dengan cepat.

Bagaimana cara Anda berkomunikasi dengan generasi milenial?

Kita tidak perlu memandang perbedaan generasi yang sedang marak ini, tapi kalau kita berurusan dengan orang, maka kita harus mengerti apa yang mereka mengerti. Bahasa apa yang mereka mengerti. Untuk generasi X itu sifatnya fisikal, misalnya mereka butuh posisi seperti direktur. Beda dengan kaum milenial lebih mencari output sehingga mereka lebih suka gabung ke startup. Buat generasi X penting bagi mereka punya mobil BMW, sedangkan bagi milenial butuh identitas seperti traveling ke Jepang atau punya usaha kedai kopi.

Contoh lainnya generasi X sangat struktural karena itu butuh Key Performance Indicator (KPI), sedangkan bagi milenial lebih butuh kebebasan untuk menyelesaikan tugas. Bagi mereka kebebasan adalah kemewahan. Namun, intinya, kita harus tahu bahasa apa yang dimengerti oleh setiap orang. Jangan mulai dari diri sendiri dan orang yang harus mengerti saya. Saya percaya yang bisa kita ubah di dunia adalah diri kita. Kontrolnya ada pada kita.

Apa yang harus dilakukan agar sukses?
Saya percaya yang dibutuhkan adalah fokus pada hal yang akan terjadi ke depan. Banyak yang terlena pada masa lalu. Kita harus sediakan lebih banyak energi untuk terjadi besok. Untungnya, kita semua sama-sama tidak tahu apa yang terjadi pada hari esok. Tidak ada yang lebih pintar tentang esok hari. Yang dibutuhkan kemampuan agile atau adaptasi. Reaksi seseorang menentukan tingkat keberhasilan orang. Reaksi yang dibutuhkan adalah kemauan dan cepat belajar. Jangan terjebak masa lalu dan tidak mau belajar. Kuliah tinggi-tinggi sering kali hanya belajar soal masa lalu, jadi belum tentu bikin kita lebih berhasil.

Dari mana sumber energi Anda?

Sumber energi saya adalah motivasi. Kami di ISS belajar dari filosofi Jepang, yaitu Ikigai atau tentang kebahagiaan. Supaya motivasi tinggi, kita harus mencintai apa yang kita lakukan. Lalu, kita harus serius pelajari dan jadi yang terbaik. Syukuri apa yang kita dapatkan berapa pun itu. Lalu, berpikir supaya melampaui apa yang dibutuhkan. Misalnya, saya tidak hanya berpikir soal pertumbuhan bisnis di sini karena saya sudah pernah melakukan seperti itu dulu. Namun, harus ada alasan kenapa kita mencintai pekerjaan saat ini, yaitu karena ada tujuan lebih besar. Sebelum menjadi great leader, harus jadi great person sehingga setiap pagi selalu termotivasi dalam hal apa pun.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5268 seconds (0.1#10.140)