PDB Tak Sesuai Ekspektasi, Rupiah Tembus Rp14.000/USD
A
A
A
JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang sejak beberapa waktu lalu terus tertekan, di awal pekan ini akhirnya menembus level Rp14.000/ dolar AS (USD).
Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, terperosoknya rupiah merupakan imbas dari kondisi makroekonomi Indonesia yang tidak sesuai harapan. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) pada kuartal I/2018 yang hanya 5,06%. "PDB yang di bawah ekspektasi. Surveinya 5,19%," ujarnya kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (7/5/2018).
(Baca juga: OMG! Rupiah Tembus Rp14.000/USD)
Lanjar menyampaikan, kondisi lain yang turut menjadi sentimen negatif bagi mata uang Garuda adalah pertumbuhan kredit yang juga di bawah ekspektasi. Bank Indonesia (BI) menurutnya menargetkan kredit tumbuh dua digit. Namun, hingga Maret 2018, penyaluran kredit tercatat sebesar Rp4.768,8 triliun atau hanya tumbuh 8,5% (yoy) lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 8,2% (yoy) atau sekitar Rp4.691,7 triliun.
"Pertumbuhan kredit sama properti masih di bawah ekspektasi, kan target BI di atas 10%," katanya.
Karena pertumbuhan kredit yang belum sesuai target, kata Lanjar, membuat BI masih berpikir untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate. Dengan bunga acuan yang masih bertahan di level 4,25%, sementara dibayangi kenaikan Fed rate bulan depan dari posisi 1,75%, hal itu membuat nilai tukar rupiah semakin tertekan.
"Mereka (BI) masih ragu buat menaikkan suku bunga kemarin-kemarin, tapi mau enggak mau harus menaikkan (bunga acuan) buat meredam gejolak, harusnya (naik) 25 bps," cetusnya.
Rupiah berdasarkan indeks Bloomberg berakhir jatuh 56 poin atau 0,40% ke level Rp14.001/USD, dibanding penutupan Jumat di Rp13.945/USD. Hari ini, rupiah diperdagangkan di level Rp13.949-Rp14.003/USD.
Sementara itu, data Yahoo Finance hingga petang ini menunjukkan rupiah terdepresiasi 59 poin atau 0,42% ke level Rp13.994/USD, dibanding penutupan akhir pekan di Rp13.935/USD.
(fjo)
Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, terperosoknya rupiah merupakan imbas dari kondisi makroekonomi Indonesia yang tidak sesuai harapan. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) pada kuartal I/2018 yang hanya 5,06%. "PDB yang di bawah ekspektasi. Surveinya 5,19%," ujarnya kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (7/5/2018).
(Baca juga: OMG! Rupiah Tembus Rp14.000/USD)
Lanjar menyampaikan, kondisi lain yang turut menjadi sentimen negatif bagi mata uang Garuda adalah pertumbuhan kredit yang juga di bawah ekspektasi. Bank Indonesia (BI) menurutnya menargetkan kredit tumbuh dua digit. Namun, hingga Maret 2018, penyaluran kredit tercatat sebesar Rp4.768,8 triliun atau hanya tumbuh 8,5% (yoy) lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 8,2% (yoy) atau sekitar Rp4.691,7 triliun.
"Pertumbuhan kredit sama properti masih di bawah ekspektasi, kan target BI di atas 10%," katanya.
Karena pertumbuhan kredit yang belum sesuai target, kata Lanjar, membuat BI masih berpikir untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate. Dengan bunga acuan yang masih bertahan di level 4,25%, sementara dibayangi kenaikan Fed rate bulan depan dari posisi 1,75%, hal itu membuat nilai tukar rupiah semakin tertekan.
"Mereka (BI) masih ragu buat menaikkan suku bunga kemarin-kemarin, tapi mau enggak mau harus menaikkan (bunga acuan) buat meredam gejolak, harusnya (naik) 25 bps," cetusnya.
Rupiah berdasarkan indeks Bloomberg berakhir jatuh 56 poin atau 0,40% ke level Rp14.001/USD, dibanding penutupan Jumat di Rp13.945/USD. Hari ini, rupiah diperdagangkan di level Rp13.949-Rp14.003/USD.
Sementara itu, data Yahoo Finance hingga petang ini menunjukkan rupiah terdepresiasi 59 poin atau 0,42% ke level Rp13.994/USD, dibanding penutupan akhir pekan di Rp13.935/USD.
(fjo)