36 Tahun Pimpin Starbucks, Schultz Mundur

Jum'at, 08 Juni 2018 - 08:04 WIB
36 Tahun Pimpin Starbucks, Schultz Mundur
36 Tahun Pimpin Starbucks, Schultz Mundur
A A A
NEW YORK - Starbucks akan kehilangan pemain kunci. Executive Chairman Howard Schultz yang telah berkontribusi selama 36 tahun membangun Starbucks dari kedai kopi kecil menjadi jaringan bisnis global memutuskan mundur.

Schultz yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mumpuni mengenai industri makanan dan minuman akan segera meninggalkan Starbucks. Kepergiannya itu meninggalkan keprihatinan mengenai masa depan Starbucks yang sedang melesu dan diterpa skandal rasisme. Para investor yang hadir dalam pertemuan tahunan hanya bersorak setelah mendengar rencana inovasi dan menu Starbucks yang dipimpin CEO Kevin Johnson pada Mei lalu.

Namun sambutan itu beda jauh dibandingkan dengan aplaus bergema dan standing ovation terhadap Executive Chairman Howard Schultz saat naik podium. Schultz tidak akan lama lagi berada di dewan tinggi Starbucks. Setelah diumum kan pada awal bulan ini, dia akan hengkang pada 26 Juni mendatang.

Lelaki berusia 64 tahun tersebut akan menjadi chairman Emeritus. Dia dispekulasikan akan terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri menjadi presiden AS pada 2020. “Kepergian Schultz merupakan sebuah kehilangan bagi Starbucks,” kata Managing Director GlobalData kepada cnbc.com.“Peranan, keahlian, dan pengetahuannya dalam bisnis tidak akan dapat tergantikan,” tambahnya.

Schultz telah berhasil membantu Starbucks melakukan ekspansi masif selama 40 tahun terakhir. Selama kepemimpinan Schultz, Starbuck berkembang dari 11 kedai menjadi lebih dari 28.000 gerai. Dia menjadi orang di balik berbagai inovasi, inisiatif sosial, dan ekspansi global.

Dia juga terkenal sangat peduli terhadap karyawan dan membagi keuntungan seperti tunjangan kesehatan, kepemilik ansaham, dan kuliah gratis. Saat menjabat sebagai CEO, Schultz telah memimpin inisiatif global untuk merekrut pasangan veteran, militer hingga pengungsi. “Permasalahan dengan perusahaan multinasional raksasa ialah terikat terlalu kuat terhadap individu tertentu yang membuat keper giannya menjadi lebih monu mental,” kata Dan Hill, CEO Hill Impact.

Di bawah kepemimpinan Schultz, saham Starbucks tumbuh sebesar 21.000% sejak IPO pada 1992. Namun penjualan makanan, minuman, dan merchan dise yang melesu di Amerika Serikat (AS) turut menurunkan saham Starbucks sebesar 13% pada tahun lalu. “Ironisnya, kepergiannya terjadi di saat inovasi sangat diperlukan,” kata Saunders.

Schultz tampak percaya diri dengan kepemimpinan tim yang dia tinggalkan di Star bucks. Dia mengatakan masa depan perusahaan sangat cerah. Dia juga memuji penerusnya, Johnson. Namun Johnson bekerja di balik bayang-bayang Schultz. Keduanya hanya terpisah satu pintu di kantor pusat Starbucks di Seattle.

“Johnson benar-benar tidak melakukan apa pun, kecuali berkomentar terhadap permasalahan yang terjadi di Philadelphia. Saya pikir dia bukan orang yang tepat untuk memimpin tim Starbucks,” tandas Jason Kaplan, CEO JK Consulting. Hampir setahun setelah Johnson mengambilalih kursi CEO, investor dan para pakar masih mencoba mengukur kesuksesan kepemimpinannya.

Beberapa orang memuji inovasi teknologinya dan kemajuan Starbucks di China, sedangkan yang lainnya cemas dengan tren penjualan perusahaan yang terus memburuk. “Saya kira Johnson yang tidak memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai bisnis makanan dan minuman akan menjadi hambatan besar untuk kemajuan perusahaan,” imbuh Kaplan.

Seperti yang disampaikan Kaplan, Johnson pernah mendapatkan pujian atas reaksi cepatnya mengatasi insiden Starbucks di Philadelphia yang berakhir dengan penangkapan dua orang. Dia bertanggung jawab dan mengkaji kebudayaan serta praktik kerja, memberikan pernyataan yang jelas terhadap karyawan dan pelanggan serta menemui dua orang tahanan itu.

Bagi beberapa orang, hal itu membuktikan Johnson merupakan pemimpin yang tepat untuk Starbucks. Namun Johnson didampingi Schultz yang menunda pensiunnya akibat terjadinya insiden tersebut. “Johnson akan menerima warisan Schultz dan nilai Starbucks yang ingin menjadi tempat lebih baik bagi pelanggan, karyawan, dan masyarakat,” terang Bob Phibbs, CEO Retail Doctor.

Ketika melihat insiden di Philadelphia, Johnson menunjukkan kepemimpinan yang jelas. ”Ketika sesuatu yang buruk terjadi dan menimpa perusahaan, dia beraksi. Dari nilai kesadaran sosial hingga kemauan berinisiatif tersebut, Starbucks kemungkinan akan tetap menjadi brand yang terus hidup,” sambungnya.

Schultz terlahir dari keluarga Yahudi pada 19 Juli 1953 di Brooklyn, New York. Ayahnya merupakan seorang tentara yang beralih profesi menjadi sopir truk setelah pensiun. Dia besar di tengah kekurangan materi dan sering melupakan permasalahan tersebut dengan berolahraga seperti bermain baseball, sepak bola, dan basket.

Schultz lulus dari Canarsie High School pada 1971 dan melanjutkan beasiswa kuliah di Universitas Northern Michigan. Dia menjadi orang pertama dari tiga bersaudaranya yang mengenyam bangku di pendidikan tinggi. Gelar sarjana komunikasi dia raih pada 1975. Setelah lulus, dia bekerja sebagai sales di Xerox Corporation.

Dia menjabat sebagai CEO Starbucks pada 1986-2000 dan 2008-2017, juga executive chairman 2017-2018. Dia merupakan mantan pemilik Seattle Super Sonics dan anggota Board of Directors Square Inc. Pada 2016, Forbes menempatkan Schultz sebagai orang terkaya ke-232 di AS dengan kekayaan bersih USD3,1 miliar.

Akan Jadi Capres AS
Setelah mengabdi pada kedai kopi paling terkenal sejagat, Starbucks, selama 36 tahun, Schultz mengundurkan diri dan dikabarkan akan maju sebagai calon presiden pada pemilu men datang. Dia menjual pengalamannya memajukan Starbucks untuk diaplikasikan ke dunia politik.

Schultz yang sebelumnya pensiun dari CEO tahun lalu itu akan melepaskan jabatan dari Starbucks pada 26 Juni mendatang. Dia memang memiliki ambisi untuk mencalonkan diri sebagai presiden AS. Dalam wawancara dengan New York Times , dia tidak menyebutkan keinginan untuk maju sebagai presiden.

“Salah satu hal yang ingin saya lakukan dalam babak berikutnya adalah mewujudkan peranan yang bisa saya mainkan,” kata Schultz. “Saya tidak yakin apa yang dimaksud hal itu untuk saat ini,” tuturnya. Sinyal masuk ke dunia politik Schultz pun diungkapkannya. Dia menyebut ingin melayani negara.

“Tapi tidak berarti saya maju untuk menjadi pejabat publik,” kata dia. Schultz, 64, mulai bekerja di Starbucks pada 1982 sebagai direktur operasional dan pemasaran. Dia masuk ke jajaran dewan direksi sejak 1985. Dia pun menjabat sebagai CEO dalam waktu yang lama. (Muh Shamil)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3701 seconds (0.1#10.140)