Ini Strategi Pemerintah Tingkatkan Pemerataan Pembangunan
A
A
A
JAKARTA - Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menegaskan, pemerataan harus menjadi arus utama dari strategi pembangunan. Sejak awal, kata dia, perlu direncanakan strategi pemerataan untuk mencapai tujuan pembangunan.
Bambang menegaskan bahwa pemerataan tidak boleh lagi dilihat sebagai efek samping pembangunan. Menurutnya, jangan sampai pembangunan berorientasi pada pertumbuhan dulu, setelah itu baru dicari jalan agar pertumbuhannya lebih merata dan inklusif.
"Mindset pembangunan harus berubah. Jangan sampai seolah-olah pemerataan baru datang belakangan,” ujar Bambang, di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Dia mengakui bahwa pembangunan sosial dan ekonomi yang tidak merata antarwilayah merupakan salah satu tantangan utama pembangunan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yang berkontribusi sekitar 58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Di sisi lain, pembangunan sosial dan ekonomi di luar Jawa, khususnya bagian timur Indonesia mengalami ketertinggalan, meskipun daerah tersebut kaya sumber daya alam. Dengan kesenjangan antarwilayah di Indonesia yang bersifat kompleks dan multisektoral, tegas dia, berbagai upaya untuk mengatasinya masih perlu ditingkatkan lagi.
Selain antarwilayah, kata Bambang, ketimpangan juga terjadi antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Keduanya memiliki kualitas pelayanan dasar yang tidak merata. Padahal, hal ini sangat krusial bagi produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk.
Paradoks ini diprediksi akan semakin lebar pada masa mendatang sehingga menyebabkan ketimpangan wilayah lebih besar. Ketimpangan wilayah yang terus berlanjut akan memperlemah suatu daerah, akibat dari pengurasan sumber daya oleh daerah yang lebih maju serta berpindahnya penduduk usia produktif dari daerah tertinggal.
Untuk mengatasi ketimpangan wilayah yang terjadi antarwilayah dan intrawilayah, Bambang menilai strategi yang dikedepankan mengarah pada pembangunan dengan karakteristik wilayah tertentu, yaitu pembangunan wilayah dengan potensi dan daya ungkit pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, dengan menitikberatkan pada percepatan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan dan pembangunan perkotaan metropolitan.
Kemudian, pembangunan wilayah dengan skala ekonomi wilayah dan ekonomi lokal yang potensial, dengan menitikberatkan pada pembangunan pusat kegiatan wilayah atau lokal, kawasan perdesaan, dan kota-kota sedang. Pembangunan wilayah dengan infrastruktur dan pelayanan dasar yang tertinggal, yang menitikberatkan pada pembangunan di daerah tertinggal, kawasan perbatasan, daerah kepulauan, dan kawasan timur Indonesia.
Strategi tersebut dijalankan untuk mengatasi berbagai isu utama pembangunan yang menimbulkan ketimpangan wilayah di Indonesia, yakni konektivitas dan aksesibilitas yang tidak merata; pelayanan dasar yang tidak merata; pemanfaatan sumber daya alam (SDA) lokal dalam pembangunan yang tidak optimal, yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik wilayah; tidak optimalnya pembangunan wilayah dengan keragaman kultur dan sosial budaya masyarakat; kebijakan afirmasi dan pendanaan pembangunan yang kurang merata; dan persebaran pusat-pusat pertumbuhan yang tidak merata.
Bambang menegaskan bahwa pemerataan tidak boleh lagi dilihat sebagai efek samping pembangunan. Menurutnya, jangan sampai pembangunan berorientasi pada pertumbuhan dulu, setelah itu baru dicari jalan agar pertumbuhannya lebih merata dan inklusif.
"Mindset pembangunan harus berubah. Jangan sampai seolah-olah pemerataan baru datang belakangan,” ujar Bambang, di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Dia mengakui bahwa pembangunan sosial dan ekonomi yang tidak merata antarwilayah merupakan salah satu tantangan utama pembangunan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yang berkontribusi sekitar 58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Di sisi lain, pembangunan sosial dan ekonomi di luar Jawa, khususnya bagian timur Indonesia mengalami ketertinggalan, meskipun daerah tersebut kaya sumber daya alam. Dengan kesenjangan antarwilayah di Indonesia yang bersifat kompleks dan multisektoral, tegas dia, berbagai upaya untuk mengatasinya masih perlu ditingkatkan lagi.
Selain antarwilayah, kata Bambang, ketimpangan juga terjadi antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Keduanya memiliki kualitas pelayanan dasar yang tidak merata. Padahal, hal ini sangat krusial bagi produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk.
Paradoks ini diprediksi akan semakin lebar pada masa mendatang sehingga menyebabkan ketimpangan wilayah lebih besar. Ketimpangan wilayah yang terus berlanjut akan memperlemah suatu daerah, akibat dari pengurasan sumber daya oleh daerah yang lebih maju serta berpindahnya penduduk usia produktif dari daerah tertinggal.
Untuk mengatasi ketimpangan wilayah yang terjadi antarwilayah dan intrawilayah, Bambang menilai strategi yang dikedepankan mengarah pada pembangunan dengan karakteristik wilayah tertentu, yaitu pembangunan wilayah dengan potensi dan daya ungkit pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, dengan menitikberatkan pada percepatan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan dan pembangunan perkotaan metropolitan.
Kemudian, pembangunan wilayah dengan skala ekonomi wilayah dan ekonomi lokal yang potensial, dengan menitikberatkan pada pembangunan pusat kegiatan wilayah atau lokal, kawasan perdesaan, dan kota-kota sedang. Pembangunan wilayah dengan infrastruktur dan pelayanan dasar yang tertinggal, yang menitikberatkan pada pembangunan di daerah tertinggal, kawasan perbatasan, daerah kepulauan, dan kawasan timur Indonesia.
Strategi tersebut dijalankan untuk mengatasi berbagai isu utama pembangunan yang menimbulkan ketimpangan wilayah di Indonesia, yakni konektivitas dan aksesibilitas yang tidak merata; pelayanan dasar yang tidak merata; pemanfaatan sumber daya alam (SDA) lokal dalam pembangunan yang tidak optimal, yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik wilayah; tidak optimalnya pembangunan wilayah dengan keragaman kultur dan sosial budaya masyarakat; kebijakan afirmasi dan pendanaan pembangunan yang kurang merata; dan persebaran pusat-pusat pertumbuhan yang tidak merata.
(fjo)