Sengketa Lahan Batu Bara, SSP Lakukan Perlawanan Hukum
A
A
A
JAKARTA - PT Senyiur Sukses Pratama (SSP), perusahaan batu bara di kalimantan melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan banding untuk peninjauan kembali (PK) dalam kasus sengketa lahan dengan PT Orkida Makmur (OM) anak perusahaan Bayan Resources Tbk.
"Permohonan PK diajukan dengan dasar dua alasan sekaligus, yakni karena terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam memutus dan ditemukannya bukti baru (novum)," demikian disampaikan Yusril Izha Mahendra selaku kuasa hukum PT SSP kepada wartawan di Jakarta Minggu (11/11/2018).
Menurut Yusril, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT SSP diterbitkan dengan dasar kesepakatan Peta Batas Wilayah daerah provinsi Kalimantan Timur tahun 2006 yang ditandatangani Gubernur, Ketua DPRD Provinsi Kaltim dan seluruh Bupati/Walikota se-Kalimantan Timur.
Yusril juga menjelaskan alasannya mengajukan PK karena dinilai hakim khilaf dalam membuat keputusan itu nyata. Kedua, novum yang kita ajukan juga jelas, peta yang ditunjukan juga dulu belum pernah dibawah ke persidangan sebelumnya.
"Keterangan dari saksi yang justru membuat peta itu, PT SSP dari dulu tidak ada tumpang tindih karena terletak di dua kabupaten yang berbeda dengan jarak lebih dari 100 km bagaimana bisa tumpang tindih," jelasnya.
Jadi, kata Yusril, jelas sekali adanya kekeliruan hakim yang nyata, terlebih dengan ditemukan bukti baru yang diajukan memperkuat argumentasi bahwa keputusan ini harus ditinjau ulang oleh Makamah Agung dan harus dinyatakan batal.
"WIUP PT SSP tidak tumpang tindih ketika diterbitkan karena tidak berada dalam lintas kabupaten. Oleh karena itu, penerbitan WIUP oleh Bupati Kutai Timur adalah sah karena seluruhnya berada dalam satu kabupaten (tidak lintas)," tegasnya.
Diketahui sebelumnya, gubernur Kalimatan Timur telah melakukan penciutan WIUP PT SSP semula 8.763 hektare (ha) menjadi seluas 6.534 ha. Penciutan wiup PT SSP terjadi akibat penerapan batas daerah baru yang diberlakukan secara surut kebelakang.
Sementara Gugum Ridho Putra yang tergabung dalam Izha & Izha law firm mengatakan, keputusan hakim pada tingkat I itu sudah betul tapi pada keputusan tingkat banding atau kasasi disana memutus bagian formilnya saja.
"Intinya ada kekhilafan hakim disana karena dianggap ada tumpang tindih padahal faktanya sebenarnya tidak ada, sejak awal berdirinya PT SSP dan sampai menjadi IUP eksplorasi tidak ada tumpang tindih. Kita dari awal diberikan wilayah di satu kabupaten di wilayah Kutai Timur," ungkapnya.
Gugum juga menambahkan ada empat novum yang diajukan dalam PK. Salah satu yang paling krusial adalah ditemukannya peta di tahun 2012 di saat perusahaan masih melakukan eksplorasi. Di sana, jelas dia, PT OM yang jadi intervensi dalam perkara ini berada posisinya di lintang selatan di bawah, namun ketika pekara ini naik menjadi tingkat I tiba-tiba posisinnya naik menempel di posisi PT SSP.
"Ini menjadi pertanyaan kita. Novum ini akan menjadi fakta yang membalikkan keputusan pengadilan sebelumnya," tegasnya.
Sejarahnya, lanjut Gugum sejak PT SSP diberikan IUP, itu belum ada kesepakatan batas resmi antara Kutai Negara dengan Kutai Timur. Namun karena menyangkut bisnis pertambangan, negara tidak bisa mengabaikan begitu saja sehingga disepakati menggunakan peta indikatif. Berdasar peta indikatif itu perbatasan kutai negara dengan kutai timur sepakat diwujudkan pada 12 desember 2006.
"Atas kesepakatan itu izin usaha pertambangan PT SSP di berikan. Yang menjadi persoalan, Kutai Negara dan provinsi tidak konsisten dengan kesepakatan 2006 itu. Memang ada kesepakatan batas baru, berdasarkan kesepakatan baru itu IUP PT SSP dipotong seharusnya tidak bisa, karena sejak awal di berikan IUP itu atas dasar hukum kesepakatan tahun 2006, ada perubahan kesepaktan hukum di tahun 2012 itu bukan menjadi alasan," jelasnya.
"Permohonan PK diajukan dengan dasar dua alasan sekaligus, yakni karena terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam memutus dan ditemukannya bukti baru (novum)," demikian disampaikan Yusril Izha Mahendra selaku kuasa hukum PT SSP kepada wartawan di Jakarta Minggu (11/11/2018).
Menurut Yusril, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT SSP diterbitkan dengan dasar kesepakatan Peta Batas Wilayah daerah provinsi Kalimantan Timur tahun 2006 yang ditandatangani Gubernur, Ketua DPRD Provinsi Kaltim dan seluruh Bupati/Walikota se-Kalimantan Timur.
Yusril juga menjelaskan alasannya mengajukan PK karena dinilai hakim khilaf dalam membuat keputusan itu nyata. Kedua, novum yang kita ajukan juga jelas, peta yang ditunjukan juga dulu belum pernah dibawah ke persidangan sebelumnya.
"Keterangan dari saksi yang justru membuat peta itu, PT SSP dari dulu tidak ada tumpang tindih karena terletak di dua kabupaten yang berbeda dengan jarak lebih dari 100 km bagaimana bisa tumpang tindih," jelasnya.
Jadi, kata Yusril, jelas sekali adanya kekeliruan hakim yang nyata, terlebih dengan ditemukan bukti baru yang diajukan memperkuat argumentasi bahwa keputusan ini harus ditinjau ulang oleh Makamah Agung dan harus dinyatakan batal.
"WIUP PT SSP tidak tumpang tindih ketika diterbitkan karena tidak berada dalam lintas kabupaten. Oleh karena itu, penerbitan WIUP oleh Bupati Kutai Timur adalah sah karena seluruhnya berada dalam satu kabupaten (tidak lintas)," tegasnya.
Diketahui sebelumnya, gubernur Kalimatan Timur telah melakukan penciutan WIUP PT SSP semula 8.763 hektare (ha) menjadi seluas 6.534 ha. Penciutan wiup PT SSP terjadi akibat penerapan batas daerah baru yang diberlakukan secara surut kebelakang.
Sementara Gugum Ridho Putra yang tergabung dalam Izha & Izha law firm mengatakan, keputusan hakim pada tingkat I itu sudah betul tapi pada keputusan tingkat banding atau kasasi disana memutus bagian formilnya saja.
"Intinya ada kekhilafan hakim disana karena dianggap ada tumpang tindih padahal faktanya sebenarnya tidak ada, sejak awal berdirinya PT SSP dan sampai menjadi IUP eksplorasi tidak ada tumpang tindih. Kita dari awal diberikan wilayah di satu kabupaten di wilayah Kutai Timur," ungkapnya.
Gugum juga menambahkan ada empat novum yang diajukan dalam PK. Salah satu yang paling krusial adalah ditemukannya peta di tahun 2012 di saat perusahaan masih melakukan eksplorasi. Di sana, jelas dia, PT OM yang jadi intervensi dalam perkara ini berada posisinya di lintang selatan di bawah, namun ketika pekara ini naik menjadi tingkat I tiba-tiba posisinnya naik menempel di posisi PT SSP.
"Ini menjadi pertanyaan kita. Novum ini akan menjadi fakta yang membalikkan keputusan pengadilan sebelumnya," tegasnya.
Sejarahnya, lanjut Gugum sejak PT SSP diberikan IUP, itu belum ada kesepakatan batas resmi antara Kutai Negara dengan Kutai Timur. Namun karena menyangkut bisnis pertambangan, negara tidak bisa mengabaikan begitu saja sehingga disepakati menggunakan peta indikatif. Berdasar peta indikatif itu perbatasan kutai negara dengan kutai timur sepakat diwujudkan pada 12 desember 2006.
"Atas kesepakatan itu izin usaha pertambangan PT SSP di berikan. Yang menjadi persoalan, Kutai Negara dan provinsi tidak konsisten dengan kesepakatan 2006 itu. Memang ada kesepakatan batas baru, berdasarkan kesepakatan baru itu IUP PT SSP dipotong seharusnya tidak bisa, karena sejak awal di berikan IUP itu atas dasar hukum kesepakatan tahun 2006, ada perubahan kesepaktan hukum di tahun 2012 itu bukan menjadi alasan," jelasnya.
(fjo)