Buruh Kecewa Penetapan UMK Tak Berdasarkan KHL
A
A
A
BANDUNG - Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto mengaku, kecewa dengan keputusan Gubernur Jawa Barat (Jabar) yang menetapkan kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) Jawa Barat tidak berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL).
Gubernur, kata dia, memilih memantapkan kenaikan UMK secara merata di semua daerah sebesar 8,03%, kecuali Kabupaten Pangandaran yang naik 10%. Besaran kenaikan 8,03% mengacu kepada ketetapan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di mana kenaikan didasarkan pertumbuhan ekonomi nasional 5,15% dan inflasi tahun ini sebesar 2,88%.
“Kami kecewa dengan keputusan Gubernur menetapkan UMK 2019 berdasarkan PP 78 Tahun 2015 hanya 8,03%. UMK yang ditetapkan tersebut bertentangan dengan pasal 88 ayat 4 UU 13 tahun 2003 karena tidak berdasarkan KHL,” kata Roy di Bandung, Kamis (22/11/2018).
Buruh, kata dia, tadinya berharap Gubernur baru membuat terobosan dengan mengabaikan PP 78 Tahun 2015, dan mengacu pada UU 13 Tahun 2003. Tetapi faktanya gubernur baru tetap menggunakan rumusan PP 78.
“Gubernur Jawa Timur lebih berani dengan menetapkan UMK 21 kabupaten dan kota di Jawa Timur lebih dari 24,57%. Gubernur lebih takut melanggar PP 78 dan surat edaran menteri daripada takut melanggar UU NO 13/ 2003. Padahal secara hirarki UU lebih tinggi derajatnya dari PP,” pungkas dia.
Buruh, kata dia, menolak penetapan UMK tersebut. Mereka akan konsolidasi untuk melakukan perlawanan baik secara hukum maupun secara pergerakan massa.
Dia pun menyoroti, kenaikan UMK Kabupaten Pangandaran yang mencapai 10%. Sehingga UMK Kabupaten baru itu lebih tinggi daripada Kota Banjar yang industrinya lebih banyak. Hal itu bakal menuai persoalan baru karena kab/kota di Priangan timur tidak sama dengan Pangandaran.
Gubernur, kata dia, memilih memantapkan kenaikan UMK secara merata di semua daerah sebesar 8,03%, kecuali Kabupaten Pangandaran yang naik 10%. Besaran kenaikan 8,03% mengacu kepada ketetapan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di mana kenaikan didasarkan pertumbuhan ekonomi nasional 5,15% dan inflasi tahun ini sebesar 2,88%.
“Kami kecewa dengan keputusan Gubernur menetapkan UMK 2019 berdasarkan PP 78 Tahun 2015 hanya 8,03%. UMK yang ditetapkan tersebut bertentangan dengan pasal 88 ayat 4 UU 13 tahun 2003 karena tidak berdasarkan KHL,” kata Roy di Bandung, Kamis (22/11/2018).
Buruh, kata dia, tadinya berharap Gubernur baru membuat terobosan dengan mengabaikan PP 78 Tahun 2015, dan mengacu pada UU 13 Tahun 2003. Tetapi faktanya gubernur baru tetap menggunakan rumusan PP 78.
“Gubernur Jawa Timur lebih berani dengan menetapkan UMK 21 kabupaten dan kota di Jawa Timur lebih dari 24,57%. Gubernur lebih takut melanggar PP 78 dan surat edaran menteri daripada takut melanggar UU NO 13/ 2003. Padahal secara hirarki UU lebih tinggi derajatnya dari PP,” pungkas dia.
Buruh, kata dia, menolak penetapan UMK tersebut. Mereka akan konsolidasi untuk melakukan perlawanan baik secara hukum maupun secara pergerakan massa.
Dia pun menyoroti, kenaikan UMK Kabupaten Pangandaran yang mencapai 10%. Sehingga UMK Kabupaten baru itu lebih tinggi daripada Kota Banjar yang industrinya lebih banyak. Hal itu bakal menuai persoalan baru karena kab/kota di Priangan timur tidak sama dengan Pangandaran.
(akr)