Pekerja Pelabuhan Serukan Selamatkan JICT-Koja
A
A
A
JAKARTA - Ratusan anggota Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) bersama elemen pekerja lain menggelar aksi bertajuk “Selamatkan Pelabuhan Nasional, Save JICT-Koja”. Aksi ini dilakukan di depan gedung Kementrian BUMN dengan mendirikan tenda keadilan selama satu bulan ke depan.
Pekerja mengkritisi perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia JICT-Koja (2015-2038) kepada Hutchison Hong Kong yang dinilai melanggar Undang-Undang (Audit Investigatif BPK RI). Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT M Firmansyah lewat keterangan resmi, Selasa (18/12/2018) menerangkan beberapa pelanggaran yang terjadi.
Pertama, yakni Ia menyebutkan manajemen Pelindo II era RJ Lino tidak pernah memasukan rencana perpanjangan sebagai Rencana Kerja dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Selain itu tidak ada informasi terbuka kepada pihak pemangku kepentingan sejak 2014.
“Perpanjangan kontrak JICT-Koja tanpa izin konsensi pemerintah dalam hal ini Kementrian Perhubungan. Serta mekanisme pemilihan mitra Hutchison sarat penyalahgunaan wewenang dan manajemen JICT-Koja mengesampingkan opsi pengelolaan kedua pelabuhan petikemas secara mandiri,” jelas Firmansyah.
Lebih lanjut, terang dia atas pelanggaran Undang-Undang tersebut, BPK RI menyebut negara rugi hampir Rp 6 trilyun. Pengelolaan pelabuhan nasional JICT-Koja yang berdampak kepada hajat hidup rakyat Indonesia menurutnya harus berlandaskan semangat konstitusi bukan liberalisasi asing yang membahayakan kedaulatan dan hilangnya potensi ekonomi nasional.
“Dampak sosial liberalisasi asing di pelabuhan tidak kalah terpuruk. Pekerja yang membangun produktivitas sehingga menjadikan pelabuhan peti kemas JICT terbaik di Asia malah di-phk massal dan pola outsourcing yang melanggar aturan pun subur di pelihara,” paparnya.
Sambung dia, pihak Asing telah leluasa melakukan pemberangusan halus dan kasar kepada pekerja yang mengkritik buruknya pengelolaan pelabuhan serta pemenuhan asas keadilan. Secara proporsional pekerja pelabuhan adalah garda terdepan penjaga kedaulatan negara dan amanat konstitusi.
Saat ini baik, sambung dia pemerintah dan aparat penegak hukum terkesan berlarut-larut dalam menyelesaikan kasus yang duduk permasalahannya sudah terang benderang ini. Apalagi Hutchison terus abai dan memaksakan perpanjangan kontrak berjalan di JICT dan Koja tanpa alas hukum.
“Untuk itu kami Serikat Pekerja JICT menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum agar bersikap atas nama hukum Indonesia atas kejahatan kasus korupsi kontrak JICT-Koja. Negara tidak boleh kalah dengan manuver dan pelanggaran aturan oleh asing di pelabuhan nasional,” paparnya.
Dia menambahkan, selain itu pekerja menuntut kembalikan JICT-Koja ke pangkuan Ibu Pertiwi karena SDM, sistem dan peralatan sudah mumpuni. Silahkan Hutchison berinvestasi di pelabuhan lain yang belum tergarap, bukan pelabuhan mapan dan untung seperti JICT-Koja yang kontraknya berakhir 2019.
“Kami mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama selamatkan aset strategis nasional “Pelabuhan JICT-Koja” untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” tandasnya.
Pekerja mengkritisi perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia JICT-Koja (2015-2038) kepada Hutchison Hong Kong yang dinilai melanggar Undang-Undang (Audit Investigatif BPK RI). Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT M Firmansyah lewat keterangan resmi, Selasa (18/12/2018) menerangkan beberapa pelanggaran yang terjadi.
Pertama, yakni Ia menyebutkan manajemen Pelindo II era RJ Lino tidak pernah memasukan rencana perpanjangan sebagai Rencana Kerja dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Selain itu tidak ada informasi terbuka kepada pihak pemangku kepentingan sejak 2014.
“Perpanjangan kontrak JICT-Koja tanpa izin konsensi pemerintah dalam hal ini Kementrian Perhubungan. Serta mekanisme pemilihan mitra Hutchison sarat penyalahgunaan wewenang dan manajemen JICT-Koja mengesampingkan opsi pengelolaan kedua pelabuhan petikemas secara mandiri,” jelas Firmansyah.
Lebih lanjut, terang dia atas pelanggaran Undang-Undang tersebut, BPK RI menyebut negara rugi hampir Rp 6 trilyun. Pengelolaan pelabuhan nasional JICT-Koja yang berdampak kepada hajat hidup rakyat Indonesia menurutnya harus berlandaskan semangat konstitusi bukan liberalisasi asing yang membahayakan kedaulatan dan hilangnya potensi ekonomi nasional.
“Dampak sosial liberalisasi asing di pelabuhan tidak kalah terpuruk. Pekerja yang membangun produktivitas sehingga menjadikan pelabuhan peti kemas JICT terbaik di Asia malah di-phk massal dan pola outsourcing yang melanggar aturan pun subur di pelihara,” paparnya.
Sambung dia, pihak Asing telah leluasa melakukan pemberangusan halus dan kasar kepada pekerja yang mengkritik buruknya pengelolaan pelabuhan serta pemenuhan asas keadilan. Secara proporsional pekerja pelabuhan adalah garda terdepan penjaga kedaulatan negara dan amanat konstitusi.
Saat ini baik, sambung dia pemerintah dan aparat penegak hukum terkesan berlarut-larut dalam menyelesaikan kasus yang duduk permasalahannya sudah terang benderang ini. Apalagi Hutchison terus abai dan memaksakan perpanjangan kontrak berjalan di JICT dan Koja tanpa alas hukum.
“Untuk itu kami Serikat Pekerja JICT menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum agar bersikap atas nama hukum Indonesia atas kejahatan kasus korupsi kontrak JICT-Koja. Negara tidak boleh kalah dengan manuver dan pelanggaran aturan oleh asing di pelabuhan nasional,” paparnya.
Dia menambahkan, selain itu pekerja menuntut kembalikan JICT-Koja ke pangkuan Ibu Pertiwi karena SDM, sistem dan peralatan sudah mumpuni. Silahkan Hutchison berinvestasi di pelabuhan lain yang belum tergarap, bukan pelabuhan mapan dan untung seperti JICT-Koja yang kontraknya berakhir 2019.
“Kami mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama selamatkan aset strategis nasional “Pelabuhan JICT-Koja” untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” tandasnya.
(akr)