Nilai Belanja Industri Game di Tanah Air Capai Rp90 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Industri game di Tanah Air akan semakin tumbuh dengan strategi ekspansi lintas platform, seperti film ataupun merchandise.
Pelaku industri memprediksi jumlah pemain game di Indonesia mencapai 90-100 juta orang untuk semua umur, dengan nilai belanja hingga Rp90 triliun pada berbagai item game. Game telah ditetapkan sebagai salah satu subsektor dari ekonomi kreatif (ekraf) di Indonesia.
Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo mengatakan, infrastruktur internet telah meningkatkan permintaan game dan film. Faktor lainnya, yaitu kebutuhan konten dari berbagai platform media. Namun, dia juga mengingatkan aset pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang merupakan konten.
Namun, pelaku ekraf juga harus melakukan manajemen IP atau jangan hanya mendaftarkan, lalu tidak dikembangkan. “Kalau dikembangkan dengan lintas IP seperti game ke film atau sebaliknya, itu bisa meningkatkan sumber pendapatan. Bahkan, investor juga akan lebih tertarik karena melihat kesuksesan suatu gamelalu dijadikan film layar lebar,” ujar Fadjar saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia mengingatkan para pelaku ekraf jangan hanya fokus mengenai subsektor, melainkan juga harus memperhatikan konten atau konsepnya. Tren ke depan, menurut dia, akan banyak migrasi para pelaku lalu berkolaborasi antara subsektor berbeda. Hal ini akan mendorong peralihan dari produk game yang sukses lalu diangkat menjadi film atau dari buku laris dijadikan film atau game.
Oleh karena itu, pendaftaran karya dalam hak kekayaan intelektual (HKI) harus diperluas karena konten akan semakin dibutuhkan ke depan. Dari survei 2016, baru 11% HKI yang tercatat.
“Intinya adalah kontennya, bukan subsektor. Bahkan dari game bagus bisa menjadi kriya sebagai merchandisefisik,” tambahnya. CEO PT Lyto Datarindo Fortuna (Lyto) Andi Suryanto yang sudah berkecimpung di industri game nasional sejak 2003 mengatakan, bisnis di industri kreatif berarti high risk high profit.
Namun, pihaknya sekarang masuk ke industri film karena secara bisnis risikonya jauh lebih kecil dibandingkan game. Menurut dia, belum banyak yang tahu film yang menghasilkan keuntungan bagus itu di kisaran 10–15%, sedangkan produk game hanya kurang dari 5%.
Hal ini karena mayoritas produk game di Indonesia masih dikuasai produk asing, seperti China dan Korea. “Kita melihat di Hollywood film dan game sangat menyatu. Orang akan mengikuti produk IP mulai filmnya lalu biasanya berlanjut ke produk game. Ini yang sangat penting dan harusnya terjadi di sini,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, sebagai salah satu distributor game terbesar di Indonesia, pihaknya berhasil menjadi investor di film DreadOut The Movie. Dengan diangkat ke film, pihaknya berharap bisa mengonversi penonton bioskop untuk menggunakan produk game.
Kolaborasi seperti ini berpotensi membawa produk IP ke berbagai subsektor industri kreatif, seperti produk film yang sukses ditransformasi menjadi game.
“Keunggulannya dengan game akan lebih mudah dibawa ke pasar global. Kita membutuhkan ikon IP yang kuat dari Indonesia dengan strategi sinergi lintas subsektor industri kreatif,” tambahnya.
Pihaknya mengapresiasi seluruh pihak yang mendukung suksesnya pembuatan film DreadOut. Apresiasi ini juga harus diberikan masyarakat luas dengan menonton film besutan Kimo Stamboel ini.
“Masyarakat harus juga mengapresiasi film DreadOut ini karena ini merupakan karya anak bangsa dari film hingga gamenya,” ungkapnya.
Sementara game creator dan CEO Digital Happiness Rahmat Imron mengungkapkan, Dread Out akhirnya dapat menjadi game pertama yang diadaptasi menjadi film. Prosesnya cukup panjang, tapi akhirnya setelah menunggu sekian lama, game DreadOut diangkat ke layar lebar.
Produser DreadOut Wida Handoyo mengatakan, pendanaan film ini melibatkan empat investor, salah satunya perusahaan distributor game PT Lyto Datarindo Fortuna. Total biaya pengerjaan tayangan layar lebar ini mencapai Rp14 miliar karena kursdolarASyangberubah-ubah.
“Kami cari mitra investor yang cocok dengan visi misi kami. Lyto menjembatani penggemar film dan komunitas pemain game. CJ Entertainment dan Skymedia terlibat juga. Semoga promosi kami cukup untuk sosialisasi film ini,” kata Wida.
Permainan DreadOut merupakan kekayaan intelektual melakukan ekspansi ke layar lebar. Film Dread Out diadaptasi dari game horor lokal ditargetkan meraih 1,5 juta penonton. Dengan demikian, diharapkan dapatmenarikcerukpasarbarudari penonton film yang lebih kuat di Indonesia.
Sementara untuk total biaya yang dikeluarkan untuk film layar lebar ini sekitar Rp12–14miliar. Ren cananyafilm ini, seperti game-nya, tidak hanya akan dipasarkan di dalam negeri, juga internasional. Maka, selain bekerja sama dengan Skymedia (Screenplay) dan Lyto game, kerja sama juga dijalin dengan CJ Entertainment dari Korea.
Pelaku industri memprediksi jumlah pemain game di Indonesia mencapai 90-100 juta orang untuk semua umur, dengan nilai belanja hingga Rp90 triliun pada berbagai item game. Game telah ditetapkan sebagai salah satu subsektor dari ekonomi kreatif (ekraf) di Indonesia.
Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo mengatakan, infrastruktur internet telah meningkatkan permintaan game dan film. Faktor lainnya, yaitu kebutuhan konten dari berbagai platform media. Namun, dia juga mengingatkan aset pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang merupakan konten.
Namun, pelaku ekraf juga harus melakukan manajemen IP atau jangan hanya mendaftarkan, lalu tidak dikembangkan. “Kalau dikembangkan dengan lintas IP seperti game ke film atau sebaliknya, itu bisa meningkatkan sumber pendapatan. Bahkan, investor juga akan lebih tertarik karena melihat kesuksesan suatu gamelalu dijadikan film layar lebar,” ujar Fadjar saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia mengingatkan para pelaku ekraf jangan hanya fokus mengenai subsektor, melainkan juga harus memperhatikan konten atau konsepnya. Tren ke depan, menurut dia, akan banyak migrasi para pelaku lalu berkolaborasi antara subsektor berbeda. Hal ini akan mendorong peralihan dari produk game yang sukses lalu diangkat menjadi film atau dari buku laris dijadikan film atau game.
Oleh karena itu, pendaftaran karya dalam hak kekayaan intelektual (HKI) harus diperluas karena konten akan semakin dibutuhkan ke depan. Dari survei 2016, baru 11% HKI yang tercatat.
“Intinya adalah kontennya, bukan subsektor. Bahkan dari game bagus bisa menjadi kriya sebagai merchandisefisik,” tambahnya. CEO PT Lyto Datarindo Fortuna (Lyto) Andi Suryanto yang sudah berkecimpung di industri game nasional sejak 2003 mengatakan, bisnis di industri kreatif berarti high risk high profit.
Namun, pihaknya sekarang masuk ke industri film karena secara bisnis risikonya jauh lebih kecil dibandingkan game. Menurut dia, belum banyak yang tahu film yang menghasilkan keuntungan bagus itu di kisaran 10–15%, sedangkan produk game hanya kurang dari 5%.
Hal ini karena mayoritas produk game di Indonesia masih dikuasai produk asing, seperti China dan Korea. “Kita melihat di Hollywood film dan game sangat menyatu. Orang akan mengikuti produk IP mulai filmnya lalu biasanya berlanjut ke produk game. Ini yang sangat penting dan harusnya terjadi di sini,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, sebagai salah satu distributor game terbesar di Indonesia, pihaknya berhasil menjadi investor di film DreadOut The Movie. Dengan diangkat ke film, pihaknya berharap bisa mengonversi penonton bioskop untuk menggunakan produk game.
Kolaborasi seperti ini berpotensi membawa produk IP ke berbagai subsektor industri kreatif, seperti produk film yang sukses ditransformasi menjadi game.
“Keunggulannya dengan game akan lebih mudah dibawa ke pasar global. Kita membutuhkan ikon IP yang kuat dari Indonesia dengan strategi sinergi lintas subsektor industri kreatif,” tambahnya.
Pihaknya mengapresiasi seluruh pihak yang mendukung suksesnya pembuatan film DreadOut. Apresiasi ini juga harus diberikan masyarakat luas dengan menonton film besutan Kimo Stamboel ini.
“Masyarakat harus juga mengapresiasi film DreadOut ini karena ini merupakan karya anak bangsa dari film hingga gamenya,” ungkapnya.
Sementara game creator dan CEO Digital Happiness Rahmat Imron mengungkapkan, Dread Out akhirnya dapat menjadi game pertama yang diadaptasi menjadi film. Prosesnya cukup panjang, tapi akhirnya setelah menunggu sekian lama, game DreadOut diangkat ke layar lebar.
Produser DreadOut Wida Handoyo mengatakan, pendanaan film ini melibatkan empat investor, salah satunya perusahaan distributor game PT Lyto Datarindo Fortuna. Total biaya pengerjaan tayangan layar lebar ini mencapai Rp14 miliar karena kursdolarASyangberubah-ubah.
“Kami cari mitra investor yang cocok dengan visi misi kami. Lyto menjembatani penggemar film dan komunitas pemain game. CJ Entertainment dan Skymedia terlibat juga. Semoga promosi kami cukup untuk sosialisasi film ini,” kata Wida.
Permainan DreadOut merupakan kekayaan intelektual melakukan ekspansi ke layar lebar. Film Dread Out diadaptasi dari game horor lokal ditargetkan meraih 1,5 juta penonton. Dengan demikian, diharapkan dapatmenarikcerukpasarbarudari penonton film yang lebih kuat di Indonesia.
Sementara untuk total biaya yang dikeluarkan untuk film layar lebar ini sekitar Rp12–14miliar. Ren cananyafilm ini, seperti game-nya, tidak hanya akan dipasarkan di dalam negeri, juga internasional. Maka, selain bekerja sama dengan Skymedia (Screenplay) dan Lyto game, kerja sama juga dijalin dengan CJ Entertainment dari Korea.
(don)