Angka Pengurangan Kemiskinan oleh Jokowi Merupakan yang Terendah
A
A
A
JAKARTA - Optimisme diperlukan baik dalam kehidupan pribadi maupun negara. Optimisme memberikan harapan tentang hari depan yang lebih baik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang memberikan optimisme luar biasa di tahun 2014. Bayangkan seorang yang berasal dari keluarga biasa bisa menjadi wali kota, gubernur, kemudian presiden.
Jokowi tampil dengan gaya penampilan yang sederhana. Selain itu, ia berjanji untuk memperjuangkan Trisakti Bung Karno: Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara sosial budaya.
Namun, seiring berjalannya waktu, menurut ekonom senior Rizal Ramli, ternyata tebaran optimisme Jokowi semakin lama semakin memudar. Bahkan, sambung Rizal, dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik semakin memudar. Pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5% dan daya beli rakyat merosot, ikhtiar pengurangan kemiskinan terendah sejak reformasi.
"Jadi Jokowi hanya mengurangi 450.000 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang per tahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun, Megawati 570 ribu orang per tahun, dan SBY 840 ribu orang per tahun," kata Rizal dalam diskusi yang diadakan Forum Tebet (Forte) di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Menurut dia, pidato Presiden Jokowi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, tidak berani berkata jujur. Karena, kata Rizal, Jokowi tidak berani mengaku kegagalannya selama empat tahun.
"Pidato Presiden Joko Widodo di Sentul kurang jujur karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Seharusnya sebagai ksatria, Jokowi berani meminta maaf dan ganti strategi," tandas Rizal.
Jika Jokowi melakukan itu, kata dia, baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi, sambungnya lagi, Jokowi tidak mau meminta maaf dan mengganti starategi sehingga kegagalannya justru menebar pesimisme dan mengubur harapan.
"Padahal inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme. Untuk itu, pemimpin harus mampu melakukan refleksi, introspeksi dan kejujuran dengan mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah. Sehingga memberikan harapan dan optimisme baru," pungkasnya.
Jokowi tampil dengan gaya penampilan yang sederhana. Selain itu, ia berjanji untuk memperjuangkan Trisakti Bung Karno: Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara sosial budaya.
Namun, seiring berjalannya waktu, menurut ekonom senior Rizal Ramli, ternyata tebaran optimisme Jokowi semakin lama semakin memudar. Bahkan, sambung Rizal, dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik semakin memudar. Pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5% dan daya beli rakyat merosot, ikhtiar pengurangan kemiskinan terendah sejak reformasi.
"Jadi Jokowi hanya mengurangi 450.000 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang per tahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun, Megawati 570 ribu orang per tahun, dan SBY 840 ribu orang per tahun," kata Rizal dalam diskusi yang diadakan Forum Tebet (Forte) di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Menurut dia, pidato Presiden Jokowi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, tidak berani berkata jujur. Karena, kata Rizal, Jokowi tidak berani mengaku kegagalannya selama empat tahun.
"Pidato Presiden Joko Widodo di Sentul kurang jujur karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Seharusnya sebagai ksatria, Jokowi berani meminta maaf dan ganti strategi," tandas Rizal.
Jika Jokowi melakukan itu, kata dia, baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi, sambungnya lagi, Jokowi tidak mau meminta maaf dan mengganti starategi sehingga kegagalannya justru menebar pesimisme dan mengubur harapan.
"Padahal inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme. Untuk itu, pemimpin harus mampu melakukan refleksi, introspeksi dan kejujuran dengan mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah. Sehingga memberikan harapan dan optimisme baru," pungkasnya.
(ven)