Tourism-Centered Economy 4.0
A
A
A
Dua minggu ini ada dua kejadian yang memunculkan ide dari tulisan ini. Pertama saat menghadiri Rakornas Kementerian Pariwisata (28/2) di mana Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya berkomitmen untuk mengimplementasi Tourism 4.0
Kedua saat minggu ini diundang Bupati Banyuwangi menghadiri penandatanganan memorandum of understanding (MOU) antara Kabupaten Banyuwangi dengan PT Inka yang menggandeng salah satu perusahaan kereta api (KA) terbesar di dunia asal Swiss, Stadler Rail Group.
Dua kejadian tersebut memicu ide mengenai format ekonomi yang berpusat pada pariwisata (tourism-centered economy ). Di mana seharusnya ekonomi negeri ini bertopang pada comparative advantages (kekayaan destinasi wisata) dan competitive advantages (teknologi 4.0) di sektor pariwisata dan industri kreatif. Seharusnya tourismcentered economy 4.0 menjadi fokus dan arah pemerintahan baru mendatang.
Semua Dinas adalah ”Dinas Pariwisata”
Idenya datang saat ngobrol santai dengan Bupati Banyuwangi Mas Azwar Anas di RM Sego Tempong Mbak Nah Banyuwangi. Pak Bupati bilang, ”Di Banyuwangi itu semua dinas adalah dinas pariwisata.”
Maksudnya, setiap program yang dijalankan oleh semua dinas di Banyuwangi harus bisa menciptakan ”destinasi” yang menarik wisatawan untuk datang ke Banyuwangi. Contoh aktualnya adalah pembangunan pabrik KA terbesar Indonesia di Banyuwangi, di mana PT Inka menggandeng Stadler dari Swiss dengan investasi mencapai Rp1,6 triliun.
Pembangunan pabrik KA ini sedikit tertunda karena Pak Bupati ngotot minta dibangun museum di kompleks pabrik. ”Museum adalah syarat mutlak. Kalau tidak dipenuhi, pabrik enggak jadi dibangun,” ujar Pak Bupati.
Investor setuju dan museum ini akan menjadi destinasi andalan baru yang bakal makin kencang mendatangkan wisatawan ke Banyuwangi. Artinya, program di Dinas Perindustrian itu harus di-link -kan ke pariwisata.
Contoh lain adalah program layanan publik dari seluruh dinas yang dikonsentrasikan di dalam satu atap yang disebut Mal Pelayanan Publik (MPP) di seberang Taman Sritanjung. MPP kini menjadi ”atraksi” wisata studi banding yang laris-manis yang dikunjungi puluhan delegasi tiap bulannya.
Tahun 2016 misalnya setidaknya ada 25.000 ”turis studi banding” datang ke Banyuwangi. Itu sebabnya hotel-hotel di Banyuwangi tetap penuh walaupun bukan weekend.
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa pariwisata menjadi ”pusat” dari keseluruhan upaya pembangunan Banyuwangi sehingga program di sektor dan dinas apa pun harus didedikasikan untuk mendatangkan wisatawan.
Tourism 4.0
Sebelum ke Banyuwangi, saya menghadiri Rakornas Kemenpar tentang Tourism 4.0, yaitu pengelolaan pariwisata yang mulai mendayagunakan teknologi 4.0 seperti artificial intelligence , internet of things, virtual reality, hingga block chain.
Dalam rakornas tersebut, Pak Menpar menyatakan komitmen Indonesia harus masuk ke era Tourism 4.0. ”Kita harus mampu menjadikan teknologi 4.0 sebagai sumber competitive advantages baru sektor pariwisata kita di pasar global,” ujarnya.
Aplikasi teknologi 4.0 diperlukan untuk memperkaya travellerís experience di sepanjang perjalanan mereka (pre-trip, at destination, posttrip ). Kita tak boleh ketinggalan karena kini negara di seluruh dunia berlombalomba menerapkannya.
Jadi kalau Pak Bupati memanfaatkan comparative advantages berupa kekayaan destinasi wisata (budaya, alam, buatan) anugerah Tuhan YME; maka aplikasi teknologi 4.0 memanfaatkan competitive advantages untuk memperkaya pengalaman wisatawan. Kombinasi keduanya akan menjadi senjata ampuh yang membawa Indonesia menjadi destinasi wisata terbaik di dunia.
Tourism-Centered Economy
Tourismcentered economy adalah ekonomi yang berpusat atau memiliki episentrum sektor pariwisata. Karena menjadi episentrum, maka seluruh sumber daya dikonsentrasikan ke sektor ini dan berbagai aktivitas sektor lain diakomodasikan untuk menunjang dan memajukan sektor ini.
Banyuwangi adalah contoh daerah yang telah sukses menerapkan sistem tourism-centered economy. Kenapa ekonomi Indonesia harus berpusat ke sektor pariwisata? Sudah banyak argumentasi dikemukakan mengenai strategisnya sektor ini bagi Indonesia.
Namun, dari teori resource-based view, sudah gamblang Indonesia memiliki modal yang tak ada tandingannya di dunia. Bisa dikatakan Indonesia adalah ”the worldís richest country ” untuk urusan konten dan destinasi wisata.
Tak hanya itu, kita juga kaya SDM kreatif karena sesungguhnya Indonesia adalah ”bangsa seni” (bukan ”bangsa teknologi”) dengan kekayaan kreativitas yang luar biasa. Indonesia tak akan bisa menjadi ekonomi terkemuka di dunia dengan mengandalkan teknologi informasi karena sudah telanjur tertinggal jauh dari AS, Eropa, dan Jepang.
Indonesia juga tak bisa menjadi negara terkemuka dengan mengandalkan industri manufaktur karena jauh tertinggal dari China. Mau dipaksakan seperti apa pun Indonesia akan tetap medioker.
Sejarah sudah membuktikan, upaya all out yang dilakukan Pak Habibie pada 1980-an dengan industri strategisnya akhirnya pupus di tengah jalan. Ide industrialisasi sektor manufaktur dengan program mobil nasional pada 1990-an gagal total.
Kini muncul lagi ide Kementerian Perindustrian mengenai Making Indonesia 4. 0 di sektor manufaktur, tapi gemanya hanya terdengar pada saat launching. Alih-alih enggak kompetitif di sektor teknologi informasi dan industri manufaktur, Indonesia punya potensi yang amat besar di sektor pariwisata dan industri kreatif.
Keyakinan mengenai strategisnya sektor ini semakin terbukti ketika insya Allah, tahun ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia sektor pariwisata akan menyumbang devisa terbesar bagi perekonomian kita.
Agenda Pemerintahan Baru
Kembali ke Banyuwangi. Tourism-centered economy seperti sudah begitu baik diimplementasikan di Banyuwangi harusnya menjadi model bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Bagi saya, Banyuwangi adalah ”Indonesia kecil” yang polanya bisa discaling up ke tingkat nasional.
Dengan prinsip tourismcentered economy seperti diterapkan Banyuwangi, seharusnya semua departemen dan sektor diarahkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya sektor pariwisata dan industri kreatif.
Semua sektor dan departemen seharusnya dikembangkan berorientasi pariwisata: sektor pertanian berorientasi pariwisata (agrowisata), sektor perikanan dan kelautan berorientasi pariwisata (wisata bahari), sektor pendidikan berorientasi pariwisata (wisata edukasi), sektor kesehatan berorientasi pariwisata (medical tourism), penataan kota berorientasi pariwisata (city tourism ), pembangunan desa berorientasi pariwisata (desa wisata), dan sebagainya.
Coba bayangkan jika sumber daya pariwisata dari Sabang sampai Merauke dikembangkan menjadi world-class destinations dan diperlengkapi dengan teknologi 4.0, maka bisa dipastikan Indonesia akan menjadi the world’s most competitive country untuk urusan pariwisata. Ini seharusnya menjadi agenda paling penting pemerintahan baru nanti.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
Kedua saat minggu ini diundang Bupati Banyuwangi menghadiri penandatanganan memorandum of understanding (MOU) antara Kabupaten Banyuwangi dengan PT Inka yang menggandeng salah satu perusahaan kereta api (KA) terbesar di dunia asal Swiss, Stadler Rail Group.
Dua kejadian tersebut memicu ide mengenai format ekonomi yang berpusat pada pariwisata (tourism-centered economy ). Di mana seharusnya ekonomi negeri ini bertopang pada comparative advantages (kekayaan destinasi wisata) dan competitive advantages (teknologi 4.0) di sektor pariwisata dan industri kreatif. Seharusnya tourismcentered economy 4.0 menjadi fokus dan arah pemerintahan baru mendatang.
Semua Dinas adalah ”Dinas Pariwisata”
Idenya datang saat ngobrol santai dengan Bupati Banyuwangi Mas Azwar Anas di RM Sego Tempong Mbak Nah Banyuwangi. Pak Bupati bilang, ”Di Banyuwangi itu semua dinas adalah dinas pariwisata.”
Maksudnya, setiap program yang dijalankan oleh semua dinas di Banyuwangi harus bisa menciptakan ”destinasi” yang menarik wisatawan untuk datang ke Banyuwangi. Contoh aktualnya adalah pembangunan pabrik KA terbesar Indonesia di Banyuwangi, di mana PT Inka menggandeng Stadler dari Swiss dengan investasi mencapai Rp1,6 triliun.
Pembangunan pabrik KA ini sedikit tertunda karena Pak Bupati ngotot minta dibangun museum di kompleks pabrik. ”Museum adalah syarat mutlak. Kalau tidak dipenuhi, pabrik enggak jadi dibangun,” ujar Pak Bupati.
Investor setuju dan museum ini akan menjadi destinasi andalan baru yang bakal makin kencang mendatangkan wisatawan ke Banyuwangi. Artinya, program di Dinas Perindustrian itu harus di-link -kan ke pariwisata.
Contoh lain adalah program layanan publik dari seluruh dinas yang dikonsentrasikan di dalam satu atap yang disebut Mal Pelayanan Publik (MPP) di seberang Taman Sritanjung. MPP kini menjadi ”atraksi” wisata studi banding yang laris-manis yang dikunjungi puluhan delegasi tiap bulannya.
Tahun 2016 misalnya setidaknya ada 25.000 ”turis studi banding” datang ke Banyuwangi. Itu sebabnya hotel-hotel di Banyuwangi tetap penuh walaupun bukan weekend.
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa pariwisata menjadi ”pusat” dari keseluruhan upaya pembangunan Banyuwangi sehingga program di sektor dan dinas apa pun harus didedikasikan untuk mendatangkan wisatawan.
Tourism 4.0
Sebelum ke Banyuwangi, saya menghadiri Rakornas Kemenpar tentang Tourism 4.0, yaitu pengelolaan pariwisata yang mulai mendayagunakan teknologi 4.0 seperti artificial intelligence , internet of things, virtual reality, hingga block chain.
Dalam rakornas tersebut, Pak Menpar menyatakan komitmen Indonesia harus masuk ke era Tourism 4.0. ”Kita harus mampu menjadikan teknologi 4.0 sebagai sumber competitive advantages baru sektor pariwisata kita di pasar global,” ujarnya.
Aplikasi teknologi 4.0 diperlukan untuk memperkaya travellerís experience di sepanjang perjalanan mereka (pre-trip, at destination, posttrip ). Kita tak boleh ketinggalan karena kini negara di seluruh dunia berlombalomba menerapkannya.
Jadi kalau Pak Bupati memanfaatkan comparative advantages berupa kekayaan destinasi wisata (budaya, alam, buatan) anugerah Tuhan YME; maka aplikasi teknologi 4.0 memanfaatkan competitive advantages untuk memperkaya pengalaman wisatawan. Kombinasi keduanya akan menjadi senjata ampuh yang membawa Indonesia menjadi destinasi wisata terbaik di dunia.
Tourism-Centered Economy
Tourismcentered economy adalah ekonomi yang berpusat atau memiliki episentrum sektor pariwisata. Karena menjadi episentrum, maka seluruh sumber daya dikonsentrasikan ke sektor ini dan berbagai aktivitas sektor lain diakomodasikan untuk menunjang dan memajukan sektor ini.
Banyuwangi adalah contoh daerah yang telah sukses menerapkan sistem tourism-centered economy. Kenapa ekonomi Indonesia harus berpusat ke sektor pariwisata? Sudah banyak argumentasi dikemukakan mengenai strategisnya sektor ini bagi Indonesia.
Namun, dari teori resource-based view, sudah gamblang Indonesia memiliki modal yang tak ada tandingannya di dunia. Bisa dikatakan Indonesia adalah ”the worldís richest country ” untuk urusan konten dan destinasi wisata.
Tak hanya itu, kita juga kaya SDM kreatif karena sesungguhnya Indonesia adalah ”bangsa seni” (bukan ”bangsa teknologi”) dengan kekayaan kreativitas yang luar biasa. Indonesia tak akan bisa menjadi ekonomi terkemuka di dunia dengan mengandalkan teknologi informasi karena sudah telanjur tertinggal jauh dari AS, Eropa, dan Jepang.
Indonesia juga tak bisa menjadi negara terkemuka dengan mengandalkan industri manufaktur karena jauh tertinggal dari China. Mau dipaksakan seperti apa pun Indonesia akan tetap medioker.
Sejarah sudah membuktikan, upaya all out yang dilakukan Pak Habibie pada 1980-an dengan industri strategisnya akhirnya pupus di tengah jalan. Ide industrialisasi sektor manufaktur dengan program mobil nasional pada 1990-an gagal total.
Kini muncul lagi ide Kementerian Perindustrian mengenai Making Indonesia 4. 0 di sektor manufaktur, tapi gemanya hanya terdengar pada saat launching. Alih-alih enggak kompetitif di sektor teknologi informasi dan industri manufaktur, Indonesia punya potensi yang amat besar di sektor pariwisata dan industri kreatif.
Keyakinan mengenai strategisnya sektor ini semakin terbukti ketika insya Allah, tahun ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia sektor pariwisata akan menyumbang devisa terbesar bagi perekonomian kita.
Agenda Pemerintahan Baru
Kembali ke Banyuwangi. Tourism-centered economy seperti sudah begitu baik diimplementasikan di Banyuwangi harusnya menjadi model bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Bagi saya, Banyuwangi adalah ”Indonesia kecil” yang polanya bisa discaling up ke tingkat nasional.
Dengan prinsip tourismcentered economy seperti diterapkan Banyuwangi, seharusnya semua departemen dan sektor diarahkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya sektor pariwisata dan industri kreatif.
Semua sektor dan departemen seharusnya dikembangkan berorientasi pariwisata: sektor pertanian berorientasi pariwisata (agrowisata), sektor perikanan dan kelautan berorientasi pariwisata (wisata bahari), sektor pendidikan berorientasi pariwisata (wisata edukasi), sektor kesehatan berorientasi pariwisata (medical tourism), penataan kota berorientasi pariwisata (city tourism ), pembangunan desa berorientasi pariwisata (desa wisata), dan sebagainya.
Coba bayangkan jika sumber daya pariwisata dari Sabang sampai Merauke dikembangkan menjadi world-class destinations dan diperlengkapi dengan teknologi 4.0, maka bisa dipastikan Indonesia akan menjadi the world’s most competitive country untuk urusan pariwisata. Ini seharusnya menjadi agenda paling penting pemerintahan baru nanti.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)