Millennials Love Texting than Conversation
A
A
A
Smartphone menjadikan milenial keranjingan texting. Dari hari ke hari waktu milenial makin habis digunakan untuk texting : menulis email, meng-update status di Facebook, ngetwit di Twitter, dan yang paling intens adalah chatting di WA atau Line.
Akibatnya, karena komunikasi kini bisa dilakukan cukup dengan jari-jemari yang menari lincah di atas layar sentuh HP, maka pelan-pelan percakapan (face-to-face conversations) menjadi semakin berkurang. Dan, memang surveinya mengatakan begitu.
Kini milenial semakin menyukai komunikasi via texting (e-mail, Facebook, Twitter, atau WA) ketimbang melalui percakapan langsung. Itu sebabnya dalam buku saya, Millennials Kill Everything, saya mengatakan: ”Millennials kill face to face conversations.” Common Sense melakukan survei pada 2012 dan 2018 untuk mengetahui perbedaan perilaku milenial muda (usia 14-17 tahun) di AS selama kurun waktu enam tahun tersebut.
Hasilnya, jika pada 2012 sebesar 49% milenial mengatakan bahwa cara berkomunikasi favorit mereka dengan teman adalah melalui tatap muka (face-to-face conversations), maka pada 2018 angka itu turun drastis hingga tinggal 32%. Sementara survei yang dilakukan Ofcom di Inggris menemukan fenomena yang hampir sama.
Sekitar 90% milenial muda (usia 17-24 tahun) bertukar informasi dengan teman dan keluarga setidaknya sekali dalam sehari via texting, 74% via media sosial, 67% via percakapan di HP, dan 63% via percakapan face-to-face secara langsung. Kenapa milenial begitu keranjingan texting dan semakin meninggalkan percakapan face-to-face?
Ini tak lepas dari keunggulankeunggulan yang dimiliki oleh komunikasi via texting. Komunikasi via texting sangat praktis, menghemat waktu, dan bisa dilakukan sambil mengerjakan begitu banyak pekerjaan yang lain (multitasking). Ingat, millennials love convenience . Millennials love time-saving. Texting bisa dilakukan anytime, anywhere (bahkan di toilet saat buang air) tanpa secara fisik ketemu orang yang diajak berkomunikasi.
Karena tak perlu ketemu orangnya, maka begitu banyak waktu yang bisa dihemat. Komunikasi via texting juga begitu powerful karena dalam suatu waktu tertentu milenial bisa melakukan komunikasi dengan banyak orang secara bersamaan. Via WA atau Facebook misalnya, mereka bisa berbincang-bincang personal dengan 10-15 orang sekaligus.
Hal ini tak mungkin dilakukan dalam konteks percakapan face-to-face. Tak hanya itu, dengan texting secara digital milenial juga bisa melakukan pekerjaan lain secara multitasking. Sambil chatting di WA mereka bisa ngopi-ngopi, nonton TV, mendengarkan musik, menulis laporan untuk bos di kantor, telepon, bahkan ngobrol dengan teman.
Wow, betapa efisien dan produktifnya komunikasi via texting. Lalu, apa masalahnya kalau milenial makin banyak texting dan makin meninggalkan percakapan face-to-face? Keunggulan lain dari komunikasi via texting adalah milenial tak perlu repot-repot mengatur ekspresi muka, intonasi suara, bodylanguage, atau bersopan-santun seperti kalau mereka melakukan percakapan langsung.
Namun, keunggulan tersebut justru kelemahan terbesar komunikasi via texting. Ketika milenial kebanyakan texting dan tak terlatih berkomunikasi via percakapan face-to-face, maka mereka akan kehilangan kemampuan sosial (social skills), yaitu cara dan seni berkomunikasi dengan orang lain.
Mereka menjadi tak luwes memainkan ekspresi muka, tak cakap berkontak mata karena terbiasa menunduk memandang layar HP, tak fasih berbasa-basi, tak bisa berolah bahasa tubuh, tak piawai mengatur intonasi suara kapan lirih atau keras, dan mereka semakin tak tahu tata krama berkomunikasi yang baik. Ya, karena semua itu tak dikenal dalam komunikasi via texting.
Kalau itu terus berlarut-larut, maka dalam jangka panjang milenial akan lebih menyerupai robot ketimbang manusia. Mengerikan sekali jika anak-anak generasi milenial masa depan memiliki muka seperti tembok: tak ada ekspresi, tak ada kontak mata, kering dan dingin, tak mengenal empati, tak bisa tertawa lepas, tak bisa berbasabasi. Pokoknya semua serba plain.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
Akibatnya, karena komunikasi kini bisa dilakukan cukup dengan jari-jemari yang menari lincah di atas layar sentuh HP, maka pelan-pelan percakapan (face-to-face conversations) menjadi semakin berkurang. Dan, memang surveinya mengatakan begitu.
Kini milenial semakin menyukai komunikasi via texting (e-mail, Facebook, Twitter, atau WA) ketimbang melalui percakapan langsung. Itu sebabnya dalam buku saya, Millennials Kill Everything, saya mengatakan: ”Millennials kill face to face conversations.” Common Sense melakukan survei pada 2012 dan 2018 untuk mengetahui perbedaan perilaku milenial muda (usia 14-17 tahun) di AS selama kurun waktu enam tahun tersebut.
Hasilnya, jika pada 2012 sebesar 49% milenial mengatakan bahwa cara berkomunikasi favorit mereka dengan teman adalah melalui tatap muka (face-to-face conversations), maka pada 2018 angka itu turun drastis hingga tinggal 32%. Sementara survei yang dilakukan Ofcom di Inggris menemukan fenomena yang hampir sama.
Sekitar 90% milenial muda (usia 17-24 tahun) bertukar informasi dengan teman dan keluarga setidaknya sekali dalam sehari via texting, 74% via media sosial, 67% via percakapan di HP, dan 63% via percakapan face-to-face secara langsung. Kenapa milenial begitu keranjingan texting dan semakin meninggalkan percakapan face-to-face?
Ini tak lepas dari keunggulankeunggulan yang dimiliki oleh komunikasi via texting. Komunikasi via texting sangat praktis, menghemat waktu, dan bisa dilakukan sambil mengerjakan begitu banyak pekerjaan yang lain (multitasking). Ingat, millennials love convenience . Millennials love time-saving. Texting bisa dilakukan anytime, anywhere (bahkan di toilet saat buang air) tanpa secara fisik ketemu orang yang diajak berkomunikasi.
Karena tak perlu ketemu orangnya, maka begitu banyak waktu yang bisa dihemat. Komunikasi via texting juga begitu powerful karena dalam suatu waktu tertentu milenial bisa melakukan komunikasi dengan banyak orang secara bersamaan. Via WA atau Facebook misalnya, mereka bisa berbincang-bincang personal dengan 10-15 orang sekaligus.
Hal ini tak mungkin dilakukan dalam konteks percakapan face-to-face. Tak hanya itu, dengan texting secara digital milenial juga bisa melakukan pekerjaan lain secara multitasking. Sambil chatting di WA mereka bisa ngopi-ngopi, nonton TV, mendengarkan musik, menulis laporan untuk bos di kantor, telepon, bahkan ngobrol dengan teman.
Wow, betapa efisien dan produktifnya komunikasi via texting. Lalu, apa masalahnya kalau milenial makin banyak texting dan makin meninggalkan percakapan face-to-face? Keunggulan lain dari komunikasi via texting adalah milenial tak perlu repot-repot mengatur ekspresi muka, intonasi suara, bodylanguage, atau bersopan-santun seperti kalau mereka melakukan percakapan langsung.
Namun, keunggulan tersebut justru kelemahan terbesar komunikasi via texting. Ketika milenial kebanyakan texting dan tak terlatih berkomunikasi via percakapan face-to-face, maka mereka akan kehilangan kemampuan sosial (social skills), yaitu cara dan seni berkomunikasi dengan orang lain.
Mereka menjadi tak luwes memainkan ekspresi muka, tak cakap berkontak mata karena terbiasa menunduk memandang layar HP, tak fasih berbasa-basi, tak bisa berolah bahasa tubuh, tak piawai mengatur intonasi suara kapan lirih atau keras, dan mereka semakin tak tahu tata krama berkomunikasi yang baik. Ya, karena semua itu tak dikenal dalam komunikasi via texting.
Kalau itu terus berlarut-larut, maka dalam jangka panjang milenial akan lebih menyerupai robot ketimbang manusia. Mengerikan sekali jika anak-anak generasi milenial masa depan memiliki muka seperti tembok: tak ada ekspresi, tak ada kontak mata, kering dan dingin, tak mengenal empati, tak bisa tertawa lepas, tak bisa berbasabasi. Pokoknya semua serba plain.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(nfl)