IRESS Nilai Kasus Karen Agustiawan Kriminalisasi Bisnis BUMN
A
A
A
JAKARTA - Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai kasus yang menimpa mantan Direktur Utama PT PErtamina (Persero) Karen Agustiawan terkait investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia oleh Pertamina sebagai kriminalisasi bisnis BUMN.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi Blok BMG, Australia oleh Pertamina. Kejagung menduga investasi 10% saham pada Blok BMG tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Pertamina. Untuk itu Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah dijadikan tersangka pada Maret 2018.
Atas keputusan investasi di Blok BMG, Karen dituduh telah merugikan negara sekitar Rp586 miliar. Padahal berdasarkan hasil audit oleh BPK, Pertamina tidak mengalami kerugian atau tidak ada kerugian negara pada investasi tersebut. Kejagung memperoleh angka kerugian negara berdasarkan perhitungan oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP).
"Sepanjang pengamatan kami selama menjabat sebagai Dirut Pertamina, Karen telah menunjukkan kinerja yang sangat baik," kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Hal ini terlihat dari berbagai prestasi yang diraih oleh Pertamina selama masa jabatannya yaitu perolehan laba USD13,2 miliar di 2013 dan raihan sebagai perusahaan peringkat ke-122 Fortune Global-500 (2013). Pertamina adalah satu-satunya perusahaan Indonesia yang pernah masuk dalam peringkat ke-122 Global-500 hingga saat ini.
IRESS juga mengapresiasi sikap Karen saat berlangsungnya proses perpanjangan Blok Mahakam antara 2012-2015. "Karen telah bersikap sangat tegar bahwa Blok Mahakam harus dikelola oleh BUMN/Pertamina, agar manfaat maksimum dapat diperoleh oleh negara," katanya.
Dengan berbagai prestasi tersebut dan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan, kata Marwan, menjadi tanda tanya mengapa Karen dijadikan tersangka dalam kasus investasi Blok BMG tersebut.
Bagi IRESS, kata dia, tampaknya dalam kasus ini Karen telah dikriminalisasi. Faktanya, imbuh dia, bisnis di sektor migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, namun sekaligus juga berpotensi menimbulkan kerugian yang besar pula.
"Dalam bisnis migas yang digeluti Pertamina, terkandung faktor risiko yang besar. Jika kebijakan dan pengambilan keputusan oleh manajemen Pertamina atas investasi Blok BMG telah melewati proses yang berlaku umum dan sesuai pula dengan AD/ART perusahaan, maka risiko yang timbul setelahnya merupakan hal yang patut diterima dan dimaklumi," ujarnya.
Satu yang sangat penting disadari, kata dia, adalah bahwa kebijakan dan keputusan Karen pada hakekatnya merupakan perwujudan aksi korporasi untuk mengambil Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok BMG. Menurut dia, hal ini seharusnya masuk ke dalam ranah hukum perdata bukan pidana.
"Partisipasi Pertamina di sini juga dilakukan untuk dan atas nama kepentingan korporasi, bukan kepentingan pribadi," tegasnya.
Perbuatan pengambilaihan PI diatas merupakan keinginan perseroan dalam rangka meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah yang sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009. Sebagaimana di ketahui, Perseroan diwajibkan untuk menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Artinya, kata Marwan, perbuatan tersebut adalah dalam rangka penugasan Pemerintah untuk mengamankan pasokan BBM Nasional dan merupakan bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi.
Selain itu, imbuh dia, keputusan untuk mengambil alih PI di atas merupakan pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip ini merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
"Perlu diketahui ketentuan Pasal Pasal 92 dan Pasal 97 UU No.40/2007 tentang PT terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan," tegasnya.
Terkait dengan unsur kerugian Negara, pada dasarnya kalkulasi kerugian yang didasarkan pada Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno, Ak. No. 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017, sebenarnya tidak pernah menyatakan sebagai laporan perhitungan keuangan negara.
Secara yuridis, kewenangan untuk menyatakan kerugian keuangan Negara sesuai Undang-Undang No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No.15/2004), Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) dan (2) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara juga harus menggunakan standar pemeriksaan yang disusun oleh BPK.
Faktanya, kata Marwan, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dalam investasi Pertamina berupa PI di Blok BMG telah menimbulkan adanya kerugian negara. Bahkan di dalam hasil laporan auditnya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut.
"Dengan demikian, surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK, merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat dan harus di tolak," ujarnya.
Karena itu, IRESS menganggap kriminalisasi risiko korporasi dalam Akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur penegakan hukum Indonesia.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi Blok BMG, Australia oleh Pertamina. Kejagung menduga investasi 10% saham pada Blok BMG tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Pertamina. Untuk itu Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah dijadikan tersangka pada Maret 2018.
Atas keputusan investasi di Blok BMG, Karen dituduh telah merugikan negara sekitar Rp586 miliar. Padahal berdasarkan hasil audit oleh BPK, Pertamina tidak mengalami kerugian atau tidak ada kerugian negara pada investasi tersebut. Kejagung memperoleh angka kerugian negara berdasarkan perhitungan oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP).
"Sepanjang pengamatan kami selama menjabat sebagai Dirut Pertamina, Karen telah menunjukkan kinerja yang sangat baik," kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Hal ini terlihat dari berbagai prestasi yang diraih oleh Pertamina selama masa jabatannya yaitu perolehan laba USD13,2 miliar di 2013 dan raihan sebagai perusahaan peringkat ke-122 Fortune Global-500 (2013). Pertamina adalah satu-satunya perusahaan Indonesia yang pernah masuk dalam peringkat ke-122 Global-500 hingga saat ini.
IRESS juga mengapresiasi sikap Karen saat berlangsungnya proses perpanjangan Blok Mahakam antara 2012-2015. "Karen telah bersikap sangat tegar bahwa Blok Mahakam harus dikelola oleh BUMN/Pertamina, agar manfaat maksimum dapat diperoleh oleh negara," katanya.
Dengan berbagai prestasi tersebut dan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan, kata Marwan, menjadi tanda tanya mengapa Karen dijadikan tersangka dalam kasus investasi Blok BMG tersebut.
Bagi IRESS, kata dia, tampaknya dalam kasus ini Karen telah dikriminalisasi. Faktanya, imbuh dia, bisnis di sektor migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, namun sekaligus juga berpotensi menimbulkan kerugian yang besar pula.
"Dalam bisnis migas yang digeluti Pertamina, terkandung faktor risiko yang besar. Jika kebijakan dan pengambilan keputusan oleh manajemen Pertamina atas investasi Blok BMG telah melewati proses yang berlaku umum dan sesuai pula dengan AD/ART perusahaan, maka risiko yang timbul setelahnya merupakan hal yang patut diterima dan dimaklumi," ujarnya.
Satu yang sangat penting disadari, kata dia, adalah bahwa kebijakan dan keputusan Karen pada hakekatnya merupakan perwujudan aksi korporasi untuk mengambil Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok BMG. Menurut dia, hal ini seharusnya masuk ke dalam ranah hukum perdata bukan pidana.
"Partisipasi Pertamina di sini juga dilakukan untuk dan atas nama kepentingan korporasi, bukan kepentingan pribadi," tegasnya.
Perbuatan pengambilaihan PI diatas merupakan keinginan perseroan dalam rangka meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah yang sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009. Sebagaimana di ketahui, Perseroan diwajibkan untuk menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Artinya, kata Marwan, perbuatan tersebut adalah dalam rangka penugasan Pemerintah untuk mengamankan pasokan BBM Nasional dan merupakan bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi.
Selain itu, imbuh dia, keputusan untuk mengambil alih PI di atas merupakan pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip ini merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
"Perlu diketahui ketentuan Pasal Pasal 92 dan Pasal 97 UU No.40/2007 tentang PT terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan," tegasnya.
Terkait dengan unsur kerugian Negara, pada dasarnya kalkulasi kerugian yang didasarkan pada Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno, Ak. No. 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017, sebenarnya tidak pernah menyatakan sebagai laporan perhitungan keuangan negara.
Secara yuridis, kewenangan untuk menyatakan kerugian keuangan Negara sesuai Undang-Undang No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No.15/2004), Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) dan (2) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara juga harus menggunakan standar pemeriksaan yang disusun oleh BPK.
Faktanya, kata Marwan, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dalam investasi Pertamina berupa PI di Blok BMG telah menimbulkan adanya kerugian negara. Bahkan di dalam hasil laporan auditnya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut.
"Dengan demikian, surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK, merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat dan harus di tolak," ujarnya.
Karena itu, IRESS menganggap kriminalisasi risiko korporasi dalam Akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur penegakan hukum Indonesia.
(fjo)