Enam Tantangan Global Bayangi Pertumbuhan Ekonomi Nasional
A
A
A
MANADO - Setidaknya ada enam sumber tantangan global yang akan dihadapi ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini. Pertama berasal dari perang dagang dan proteksionisme, dimana akibatnya bakal memberikan risiko kepada tingkat permintaan dunia.
Selain itu memberikan resiko terhadapat perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang merupakan negara-negara mitra dagang utama Indonesia. “Tantangan berikutnya adalah Brexit. Brexit ini kata Akbar akan mempengaruhi prosek perdagangan Eropa an Inggris. Begitu juga akan memberikan sentimen negatif di pasar keuangan global,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Model dan Pengolahan Data Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Riznaldi Akbar.
Hal itu disampaikan dalam seminar Menjaga Kesehatan APBN di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global di Hotel Four Points, Manado. Selanjutnya tantangan ketiga yakni adanya moderasi pertumbuhan Tiongkok. Menurutnya kondisi tersebut jelas berpotensi memberikan tekanan pada neraca perdagangan Indonesia, mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang utama.
Tantangan berikutnya yaitu fluktuasi harga komoditas. Sebab terang dia hal itu akan memberikan risiko pada neraca perdaganagn, penerimaan negara dan subsidi. “Tantangan global berikutnya yaitu terkait keamanan dan geopolitik yang berpotensi mempengaruhi sentiman di pasar keuangan dan komoditas. Sedangkan yang terakhir yakni perubahan iklim yang dapat menciptakan ketidakpastian pada produtivtas global antara lain sektor pertanian, kesehatan dan bencana alam,” jelasnya.
Di sisi lain kata Akbar, meningkatnya tekanan isu perang dagang di awal Minggu pertama Mei 2019 juga mendorong peningkatan ketidakpastian global. Tekanan di pasar keuangan global tercermin pada indikatorglobal VIX (saham) dan MOVE (obligasi).
Ketidakpastian pasar di pasar keuangan global mendorong pergerakan arus modal investor keluar dari negara berkembang sepanjang Mei 2019. “Ini berdampak pada penguatan dolar menuju instrumen investasi di negara maju (safe haven) AS dan pelemahan nilai tukar negara berkembang,” ungkapnya.
Sementara, pada awal bulan Juni, meningkatnya spekulasi bahwa AS akan menurunkan suku bunga oleh the Fed berdampak pada mengalirnya kembali modal masuk ke negara berkembang.
Perkembangan ekonomi global ini kata dia, pengaruhnya cukup besar terhadap ekonomi domestik yakni pada pelemahan pertumbuhan ekonomi, perlambatan volume perdagangan, stagnasi harga komoditas global, volatilitas keuangan global, dan perubahan perkiraan arah kebijakan the Fed di 2019.
“Dampaknya terhadap ekonomi domestik yaitu pertumbuhan ekonomi lebih lambat, tekanan inflasi terkendali, tilai tukar berpotensi menguat akibat capital inflow, dan harga ICP lebih rendah dari perkiraan awal,” terangnya.
Setelah melambat di 2019, perekonomian global diprediksi membaik di tahun 2020 terutama ditopang oleh negara berkembang (India dan ASEAN). Sementara negara maju tetap melambat.
“Meski demikian, beberapa risiko masih harus diwaspadai yaitu keberlanjutan perang dagang, geopolitik, kondisi AS. Meski perekonomian global dan volume perdagangan membaik, namun proyeksi harga komoditas cenderung tetap rendah dibayangi oleh produksi minyak global yang meningkat serta isu lingkungan yang dapat mempengaruhi permintaan akan batu bara danCPO,” urainya.
Selain itu memberikan resiko terhadapat perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang merupakan negara-negara mitra dagang utama Indonesia. “Tantangan berikutnya adalah Brexit. Brexit ini kata Akbar akan mempengaruhi prosek perdagangan Eropa an Inggris. Begitu juga akan memberikan sentimen negatif di pasar keuangan global,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Model dan Pengolahan Data Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Riznaldi Akbar.
Hal itu disampaikan dalam seminar Menjaga Kesehatan APBN di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global di Hotel Four Points, Manado. Selanjutnya tantangan ketiga yakni adanya moderasi pertumbuhan Tiongkok. Menurutnya kondisi tersebut jelas berpotensi memberikan tekanan pada neraca perdagangan Indonesia, mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang utama.
Tantangan berikutnya yaitu fluktuasi harga komoditas. Sebab terang dia hal itu akan memberikan risiko pada neraca perdaganagn, penerimaan negara dan subsidi. “Tantangan global berikutnya yaitu terkait keamanan dan geopolitik yang berpotensi mempengaruhi sentiman di pasar keuangan dan komoditas. Sedangkan yang terakhir yakni perubahan iklim yang dapat menciptakan ketidakpastian pada produtivtas global antara lain sektor pertanian, kesehatan dan bencana alam,” jelasnya.
Di sisi lain kata Akbar, meningkatnya tekanan isu perang dagang di awal Minggu pertama Mei 2019 juga mendorong peningkatan ketidakpastian global. Tekanan di pasar keuangan global tercermin pada indikatorglobal VIX (saham) dan MOVE (obligasi).
Ketidakpastian pasar di pasar keuangan global mendorong pergerakan arus modal investor keluar dari negara berkembang sepanjang Mei 2019. “Ini berdampak pada penguatan dolar menuju instrumen investasi di negara maju (safe haven) AS dan pelemahan nilai tukar negara berkembang,” ungkapnya.
Sementara, pada awal bulan Juni, meningkatnya spekulasi bahwa AS akan menurunkan suku bunga oleh the Fed berdampak pada mengalirnya kembali modal masuk ke negara berkembang.
Perkembangan ekonomi global ini kata dia, pengaruhnya cukup besar terhadap ekonomi domestik yakni pada pelemahan pertumbuhan ekonomi, perlambatan volume perdagangan, stagnasi harga komoditas global, volatilitas keuangan global, dan perubahan perkiraan arah kebijakan the Fed di 2019.
“Dampaknya terhadap ekonomi domestik yaitu pertumbuhan ekonomi lebih lambat, tekanan inflasi terkendali, tilai tukar berpotensi menguat akibat capital inflow, dan harga ICP lebih rendah dari perkiraan awal,” terangnya.
Setelah melambat di 2019, perekonomian global diprediksi membaik di tahun 2020 terutama ditopang oleh negara berkembang (India dan ASEAN). Sementara negara maju tetap melambat.
“Meski demikian, beberapa risiko masih harus diwaspadai yaitu keberlanjutan perang dagang, geopolitik, kondisi AS. Meski perekonomian global dan volume perdagangan membaik, namun proyeksi harga komoditas cenderung tetap rendah dibayangi oleh produksi minyak global yang meningkat serta isu lingkungan yang dapat mempengaruhi permintaan akan batu bara danCPO,” urainya.
(akr)