Milenial = Generasi Antisosial
A
A
A
INTERNET, media sosial, dan digital apps memberi milenial berbagai advantages yang tidak dimiliki generasi sebelumnya seperti akses informasi dan pengetahuan yang begitu luas, kemampuan analitik yang mumpuni, kecepatan berpikir tak tersaingi, dan kemampuan kerja multi-tasking yang tak tertandingi.
Namun semua keunggulan itu bukannya tanpa biaya. Milenial yang begitu tergantung kepada teknologi dan waktunya habis untuk bergumul dengan layar smartphone menjadikan mereka kehilangan kemampuan dasar berinteraksi dan bersosialisasi (basic social skills) dengan orang lain.
Social skills yang sepele saja seperti: berjabatan tangan, sopan-santun kepada orang yang lebih tua, berbasa-basi saat memulai percakapan, bertata-krama, memainkan gesture dan body language, memainkan ekspresi muka, memainkan intonasi pengucapan, menyapa orang lain, menyela pembicaraan, menciptakan firstimpression, hingga berpakaian dan manner di tempat kerja.
Kalau social skills yang paling dasar saja milenial nggak becus, apalagi untuk social skills yang lebih kompleks lagi seperti: mengelola konflik, menciptakan konsensus, leadership skills, bernegosiasi, memotivasi, mengharmoniskan teamwork, atau berkolaborasi dengan banyak orang.
Yes, millennials kill basic social skills!!!
Survei di AS menemukan kondisi yang memprihatinkan mengenai lemahnya socialskills milenial ini. Sekitar 65% milenial di AS merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain secara face to face.
Sekitar 80% dari mereka lebih menyukai bercakap-cakap secara digital melalui texting atau email.
Sungguh ironis, ketika generasi milenial mampu mencapai kemampuan termutakhir abad-21 (cognitive, analytical, hard-skills) dengan bantuan beragam teknologi tercanggih, mereka justru terbelakang dalam hal kemampuan berinteraksi sosial (emotional, social, soft-skills) paling dasar dan paling sepele.
Sebut saja ini: “millennial’s skill paradox”. Bagaimana paradoks ini terjadi?
Sumbernya adalah ketergantungan milenial kepada smartphone dan apps di dalamnya. Untuk mumpuni menjalankan basic social skills di atas, mereka harus melatihnya setiap saat dengan berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung (face-to-face) dengan orang-orang di lingkungannya.
Generasi milenial adalah generasi yang “dibesarkan” oleh Facebook dan apps. Sejak kecil komunikasi dan interaksi mereka lebih banyak dilakukan melalui smartphone, baik melalui texting, email, posting di blog, atau update status di media sosial. Melalui interaksi secara online itulah sikap dan perilaku mereka dibentuk.
Kini sebagian besar aktivitas milenial tergantung pada apps mulai dari memesan pizza, mendengarkan musik dan menonton film, merencanakan liburan, berolahraga dan nge-gym, berkencan dan mencari jodoh (dating), hingga mengikuti seminar dan perkuliahan. Semua itu bisa dilakukan tanpa bercakap-cakap dan berhubungan face-to-face dengan orang lain.
Dengan bekal smartphone dan apps di tangan, memang benar milenial menjadi generasi yang paling mandiri, independen, dan produktif namun demikian semakin sedikit waktu mereka yang dialokasikan untuk berhubungan dan berinteraksi secara fisik dengan orang lain.
Hal terakhir inilah yang menyebabkan basic social skills mereka tidak pernah terbentuk dan terasah.
Ketika berhubungan dengan orang lain dilakukan melalui texting maka otomatis kemampuan mereka di dalam mengatur roman muka sesuai emosi, menyesuaikan intonasi suara, mengatur eye contact, atau memainkan gesture dan body language sudah tidak dibutuhkan lagi.
Kalau kemampuan dasar bersosialisasi itu tak pernah dilatih, maka otomatis fungsi-fungsi dasar itu akan mandul.
Millennials are hyper-connected to the online world.
…but highly disconnected from the real life.
They are the anti-social generation.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
Namun semua keunggulan itu bukannya tanpa biaya. Milenial yang begitu tergantung kepada teknologi dan waktunya habis untuk bergumul dengan layar smartphone menjadikan mereka kehilangan kemampuan dasar berinteraksi dan bersosialisasi (basic social skills) dengan orang lain.
Social skills yang sepele saja seperti: berjabatan tangan, sopan-santun kepada orang yang lebih tua, berbasa-basi saat memulai percakapan, bertata-krama, memainkan gesture dan body language, memainkan ekspresi muka, memainkan intonasi pengucapan, menyapa orang lain, menyela pembicaraan, menciptakan firstimpression, hingga berpakaian dan manner di tempat kerja.
Kalau social skills yang paling dasar saja milenial nggak becus, apalagi untuk social skills yang lebih kompleks lagi seperti: mengelola konflik, menciptakan konsensus, leadership skills, bernegosiasi, memotivasi, mengharmoniskan teamwork, atau berkolaborasi dengan banyak orang.
Yes, millennials kill basic social skills!!!
Survei di AS menemukan kondisi yang memprihatinkan mengenai lemahnya socialskills milenial ini. Sekitar 65% milenial di AS merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain secara face to face.
Sekitar 80% dari mereka lebih menyukai bercakap-cakap secara digital melalui texting atau email.
Sungguh ironis, ketika generasi milenial mampu mencapai kemampuan termutakhir abad-21 (cognitive, analytical, hard-skills) dengan bantuan beragam teknologi tercanggih, mereka justru terbelakang dalam hal kemampuan berinteraksi sosial (emotional, social, soft-skills) paling dasar dan paling sepele.
Sebut saja ini: “millennial’s skill paradox”. Bagaimana paradoks ini terjadi?
Sumbernya adalah ketergantungan milenial kepada smartphone dan apps di dalamnya. Untuk mumpuni menjalankan basic social skills di atas, mereka harus melatihnya setiap saat dengan berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung (face-to-face) dengan orang-orang di lingkungannya.
Generasi milenial adalah generasi yang “dibesarkan” oleh Facebook dan apps. Sejak kecil komunikasi dan interaksi mereka lebih banyak dilakukan melalui smartphone, baik melalui texting, email, posting di blog, atau update status di media sosial. Melalui interaksi secara online itulah sikap dan perilaku mereka dibentuk.
Kini sebagian besar aktivitas milenial tergantung pada apps mulai dari memesan pizza, mendengarkan musik dan menonton film, merencanakan liburan, berolahraga dan nge-gym, berkencan dan mencari jodoh (dating), hingga mengikuti seminar dan perkuliahan. Semua itu bisa dilakukan tanpa bercakap-cakap dan berhubungan face-to-face dengan orang lain.
Dengan bekal smartphone dan apps di tangan, memang benar milenial menjadi generasi yang paling mandiri, independen, dan produktif namun demikian semakin sedikit waktu mereka yang dialokasikan untuk berhubungan dan berinteraksi secara fisik dengan orang lain.
Hal terakhir inilah yang menyebabkan basic social skills mereka tidak pernah terbentuk dan terasah.
Ketika berhubungan dengan orang lain dilakukan melalui texting maka otomatis kemampuan mereka di dalam mengatur roman muka sesuai emosi, menyesuaikan intonasi suara, mengatur eye contact, atau memainkan gesture dan body language sudah tidak dibutuhkan lagi.
Kalau kemampuan dasar bersosialisasi itu tak pernah dilatih, maka otomatis fungsi-fungsi dasar itu akan mandul.
Millennials are hyper-connected to the online world.
…but highly disconnected from the real life.
They are the anti-social generation.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
(nfl)