Kuala Lumpur Kota Terburuk bagi Pekerja

Jum'at, 09 Agustus 2019 - 09:08 WIB
Kuala Lumpur Kota Terburuk...
Kuala Lumpur Kota Terburuk bagi Pekerja
A A A
KUALA LUMPUR - Kuala Lumpur selama ini dikenal sebagai destinasi wisata dan kota modern yang menawarkan daya tarik tertentu. Faktanya, dalam survei yang dilakukan perusahaan teknologi, Kisi, mengungkapkan Kuala Lumpur sebagai kota paling buruk dalam urusan keseimbangan kerja dan kehidupan.

Kuala Lumpur tidak sendirian. Tokyo, Singapura, dan Washington juga menjadi kota yang tidak memberikan jaminan keseimbangan kehidupan dan kerja bagi warganya. Kotakota tersebut hanya menekankan pada pekerja keras, tanpa memperhatikan kebahagiaan lain bagi warganya, seperti kesehatan, kesetaraan gender, kebahagiaan, cuti kehamilan, cuti liburan, hingga legislasi dan dukungan pemerintah.

Para pekerja di Kuala Lumpur harus bekerja 46 jam per pekan dan memiliki delapan hari cuti. Sedangkan para pekerja di Tokyo memiliki 42,1 jam kerja per pekan dan 10 hari cuti. Kalau Singapura, warganya bekerja selama 44,6 jam per pekan dan memiliki jatah tujuh hari cuti.

Dalam indeks dengan penilaian 20 faktor terhadap 40 kota metropolitan di seluruh dunia bukan hanya fokus pada keseimbangan kerja-kehidupan, tetapi mendorong perlunya kebijakan dan infrastruktur urban yang layak. Helsinki, Munich, dan Oslo menjadi kotakota yang mendorong keseimbangan kerja-kehidupan.

Dalam kajian Kisi, Oslo menjadi kota paling sedikit memberlakukan 38,9 jam kerja per pekan, disusul Sydney dan Melbourne dengan 39,8 jam per pekan. Kuala Lumpur menjadi kota di mana warganya harus bekerja 48 jam per jam. Untuk urusan cuti hamil, Helsinki menjadi juara satu dengan 1.127, diikuti Budapest (1.120), dan Oslo (637).

Oslo memberikan akses terbaik bagi kesehatan mental dengan nilai kesetaraan gender, yakni 77,9. Kalau kota dengan penduduknya merasa paling aman adalah Singapura, disusul Tokyo dan Toronto. Sedangkan Helsinki mendapatkan nilai tertinggi dalam hal kebahagiaan dengan nilai 100 disusul Oslo dan Zurich.

“Meskipun tinggal di era di mana banyak kemajuan yang tidak diperkirakan seperti teknologi dan konektivitas, kita gagal menghadapi segala aspek untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari dengan menemukan keseimbangan kerja dan kesenangan,” kata CEO Kisi, Bernhard Mehl.

“Kita berharap bahwa kajian ini bisa menegaskan tentang pentingnya melakukan kajian untuk mengoptimalkan kebahagiaan warga untuk meng hadapi biaya ekonomi dan psikologi di tempat kerja yang membuat stres,” katanya.

Mehl menjelaskan, stres di tempat kerja berkontribusi terhadap 120.000 kematian setiap tahun. Itu senilai USD190 miliar, berdasarkan estimasi peneliti dari Harvard dan Stanford. “”Ini membuktikan bahwa kita sebaiknya memprioritaskan pemahaman ten tang peranan intensitas tempat kerja dengan kesehatan dan kebahagiaan,” ujarnya.

Urusan kebahagiaan dan kesehatan para pekerja, menurut Mehl, bukan urusan individu, tetapi juga menjadi urusan para pekerja. Pada akhirnya, hasilnya bukan hanya kebahagiaan dan kesehatan di tempat kerja, tetapi dalam jangka panjang adalah kepentingan ekonomi.

Dia menekankan tentang profesionalitas dan kehidupan personal yang bukan urusan eksklusif. “Apakah jam kerja yang terlalu panjang, ekspektasi tidak realistis dari bos, atau ketidakamanan pekerjaan, stres di tempat kerja memang berdampak pada kesehatan mental dan fisik,” kata Mehl.

Dia mengungkapkan, pembuat kebijakan seharusnya menangani isu itu secara bersamasama. “Selama pekerja stres, mereka tidak akan memberikan keuntungan meskipun pemerintah dan perusahaan bekerja keras,” ujarnya.

Akibatnya banyak perusahaan gagal membantu pekerjanya untuk mendapatkan kesenangan dari pekerjaan yang dilakukannya. Dengan kajian yang dilakukan Kisi itu sebenarnya bertujuan mendorong gaya hidup sehat. (Andika Hendra M)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0868 seconds (0.1#10.140)