Potensi Industri Halal Menjanjikan

Kamis, 22 Agustus 2019 - 09:43 WIB
Potensi Industri Halal Menjanjikan
Potensi Industri Halal Menjanjikan
A A A
JAKARTA - Industri halal di Tanah Air sangat potensial untuk dikembangkan. Sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar produk halal dunia.

Berdasarkan data yang dikutip dari Roadmap dan Strategi Ekonomi Halal Indonesia, dari total USD2,1 triliun nilai ekonomi halal dunia, Indonesia berkontribusi sekitar 10% dengan membelanjakan sekitar USD214 miliar pada 2017. Namun dari sisi ekspor, kontribusi produk halal Indonesia masih belum signifikan karena tercatat baru 3,8% dari total pasar halal dunia.

Potensi ekonomi halal dunia juga diperkirakan terus meningkat seiring dengan bertumbuhnya perekonomian. Global State of Islam Economic memperkirakan, permintaan produk halal global tumbuh 9,5% tahun ini atau bertambah sekitar USD3,7 triliun.

Besarnya potensi tersebut tentu harus diserap agar Indonesia yang notabene negara muslim terbanyak di dunia memperoleh manfaatnya. Untuk itu, perlu pengelolaan yang lebih baik dan terintegrasi agar Indonesia tidak seterusnya hanya menjadi pasar bagi produk halal dari luar negeri.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menuturkan, saat ini halal dan industri halal bukan lagi sekadar urusan agama, melainkan telah menjadi gaya hidup kaum milenial. Terlebih lagi, kata dia, Indonesia merupakan negara yang membelanjakan produk makanan halal terbesar di dunia dengan nilai Rp2.400 triliun lebih.

"Jadi kalau kita enggak aware, kita ini begini saja setiap tahun," kata Ikhsan dalam talkshow bertajuk “Mendongkrak Industri Halal dan Ekonomi Syariah Indonesia” yang digelar KORAN SINDO dan SINDOnews di Hotel Ashley, Menteng, Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, jika negara mau memaksimalkan industri halal, potensi keuntungan yang dapat diraih negara dalam membantu pembangunan nasional cukup besar. Menurutnya, halal bukanlah isu baru, hanya pengelolaannya yang perlu diperbaiki.

“Apabila ini (industri halal didongkrak) dikelola dengan baik, itu akan membantu perekomonian kita," ungkapnya.

Perlu Lembaga Setingkat Kementerian
Ikhsan menambahkan, masalah yang dihadapi industri halal saat ini adalah lembaga yang mengelolanya. Untuk itu, dia berharap ada lembaga khusus yang bisa berperan penuh dalam mengembangkan industri halal secara menyeluruh. Idealnya, kata dia, ada lembaga setingkat menteri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk mengurus industri halal.

"Persoalaan yang saya lihat belum terintegrasinya industi halal dengan sistem keuangan syariah. Jadi, antara industri dan keuangan syariah itu ada di rel yang berbeda-beda. Ada yang ke kanan ada yang ke kiri, dia jalan sendiri-sendiri. Makanya ini yang perlu didongkrak," tandasnya.

Dia mencontohkan, ekonomi kreatif yang pengembangannya kini dikelola Badan Ekonomi Kreatif yang dibentuk beberapa tahun lalu, dinilai berhasil mengakomodasi para pelaku usaha ekonomi kreatif sehingga berkontribusi positif terhadap produk domestik bruto nasional.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim Lukman sepakat apabila ke depan industri halal dan keungan syariah harus terus ditingkatkan perannya. Hanya, dia berpesan agar semua pemangku kepentingan mengetahui ekosistem dari industri halal tersebut.

"Kita mau ke mana arahnya. Sesuai UU JPH (Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal), barang yang beredar di Indonesia dari luar itu harus bersertifikasi halal, bukan halal," ujarnya.

Dia mengungkapkan, soal halal bukan hal baru di Tanah Air. MUI sudah menjalankan sertifikasi halal sejak 30 tahun lalu. Menurut pria yang akrab disapa Lukman ini, industri halal ke depan akan mengarah pada pembangunan ekonomi Indonesia, meski landasan yang diatur dalam UU JPH dianggap masih belum memberikan jaminan kepada masyarakat sebagai konsumen.

"MUI berperan dalam sertifikasi, karena MUI volunter posisinya maka menunggu perintah dari pemerintah. Jadi peran LPPOM sudah 30 tahun, kita volunteri tanpa kehadiran pemerintah," ujar Lukman.

Di sisi lain, ujar Lukman, MUI menghadapi tantangan dan pertanyaan yang tidak gampang dalam memberikan sertifikasi halal. Dia menyebut lembaga itu kesulitan jika dihadapkan pada kepentingan bisnis. Namun, melalui sertifikasi halal, MUI bisa memberikan jaminan kepada konsumen.

"Kalau kita bicara industri, memang kita kalah oleh beberapa negara. Pakistan dan Turki masih di atas kita. Tapi untuk halal dan keungan syariah, ini (semua) persaingan," katanya.

Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional MUI Adiwarman A Karim meyakini, Indonesia mempunyai prospek yang besar terhadap pengembangan industri halal. Bahkan, dia yakin Indonesia mampu menjadi kiblat pasar halal di dunia.

"Kita sangat yakin bahwa pasar halal di Indonesia akan semakin menggurita bahkan menjadi kiblat dunia. Lihat saja industri busana muslim kita mampu menjadi kiblat dunia. Kemudian industri makanan, industri yang berhubungan dengan entertainment juga. Energi umat Islam di Indonesia besar, tinggal apa yang bisa dilakukan pemerintah, BI (Bank Indonesia), dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," ujarnya.

Dia memperkirakan, dari sisi industri keuangan, perbankan syariah ke depan akan semakin maju. Ini didorong oleh adanya regulasi UU No 21 Tahun 2017 tentang Perbankan Syariah. Beleid tersebut mewajibkan unit usaha syariah (UUS) dari bank umum untuk melepaskan dari dari induk usahanya.

Saat ini ada 20 UUS yang terdiri atas tujuh dalam bentuk UUS dari bank umum dan 13 UUS dari bank pembangunan daerah.

“Kajian kita, pada 2030, populasi di Indonesia akan mencapai 296 juta jiwa dengan jumlah kelas menengah sebanyak 165 juta jiwa. Seiring dengan itu, aset perbankan syariah diprediksi meningkat menjadi sekitar 16,7% dibanding 9,1% pada 2020,” kata Adiwarman.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha menilai bahwa sertifikasi halal pada produk yang dibuat di dalam negeri susah diterapkan. Apalagi, ada banyak produk yang bahan bakunya berasal dari luar negeri sehingga sulit terdekteksi asal-muasalnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan, industri farmasi memiliki rantai pasokan yang sangat rumit. Hampir 95–96% bahan baku industri farmasi masih impor sehingga sangat sulit untuk menerapkan sertifikasi halal di dalam negeri.

"Hampir seluruh bahan baku obat masih diimpor sehingga sumbernya tidak jelas apakah halal atau tidak. Industri farmasi juga dipenuhi peraturan yang sangat ketat dan tinggi," ungkapnya.

Demikian pula dalam industri busana. CEO Kami Istafiana Candarini mengatakan, selama ini untuk pakaian masih belum diwajibkan sertifikasi halal. Namun apabila diharuskan sertifikasi halal, pemerintah harus melakukan sosialisasi.

"Sampai saat ini, halal pakaian belum diwajibkan karena proses produksi baju sangat panjang. Kalau pakaian menjadi salah satu yang wajib, alangkah baiknya semua industri disosialisasikan," tuturnya.

Istafiana mengaku pihaknya sangat mendorong industri halal berkembang di Indonesia. Namun, dia juga menginginkan agar kebijakan yang menyertai industri halal itu bersifat adil. Dia juga meminta agar para pemangku kepentingan dapat memberikan jaminan kepada pelaku usaha dan konsumen dalam kelayakan produk yang mereka nikmati. (Oktiani Endarwati/Rahmatulloh)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3447 seconds (0.1#10.140)