Ekonomi Internet Asia Tenggara Capai Rp4.200 Triliun pada 2025
A
A
A
SINGAPURA - Ekonomi internet Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai nilai USD300 miliar atau sekitar Rp4.200 triliun pada tahun 2025 seiring jutaan orang di kawasan ini mulai terbiasa melakukan belanja online dan memesan makanan melalui aplikasi jasa berbagi tumpangan.
Sebuah laporan dari Google, Temasek Holdings dan Konsultan Bisnis Global Bain & Company yang dikutip Reuters, Kamis (3/10/2019) menyebutkan, untuk mencapai target itu, industri online diperkirakan akan tumbuh sebesar 200% selama lima tahun ke depan dari perkiraan USD100 miliar tahun ini.
Laporan tahunan itu meningkatkan outlook-nya untuk tahun 2025 dari sebelumnya USD240 miliar, setelah pertumbuhan tiga kali lipat dalam empat tahun terakhir, ketika pengguna internet muda beralih ke ponsel mereka untuk melakukan semua hal, mulai dari layanan perbankan, bermain game sampai membeli tiket pesawat.
"Laju pertumbuhan ini telah melampaui semua perkiraan," ungkap laporan setebal 64 halaman itu. "Akses internet sekarang terjangkau untuk segmen besar populasi dan kepercayaan konsumen pada layanan digital telah meningkat secara signifikan."
Laporan itu menyebutkan, lebih dari USD37 miliar telah diinvestasikan pada perusahaan online di Asia Tenggara selama empat tahun terakhir, yang mayoritas masuk ke perusahaan e-commerce seperti ritel fesyen Zilingo dan transportasi online seperti Grab dan Gojek.
Perusahaan transportasi online di kawasan ini saja saat ini bernilai USD13 miliar, empat kali lipat dari nilainya sejak 2015, dan diperkirakan akan mencapai USD40 miliar pada tahun 2025, ketika jasa pengiriman makanan melalui aplikasi ini nilai transaksinya akan sebanyak transportasi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata Asia Tenggara yang sebesar 5% per tahun sejak 2014 menempatkan kawasan ini jauh di atas rata-rata global dan menjadikannya sebagai tujuan investasi yang menarik, setelah ekonomi China tertatih-tatih oleh perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Laporan itu menyebutkan, ada 360 juta pengguna internet di seluruh negara yang tercakup dalam laporan ini - Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura dan Filipina - naik dari 260 juta pada empat tahun sebelumnya. Jumlah tersebut cukup besar dibandingkan dengan sekitar 4,4 miliar pengguna internet di seluruh dunia, naik 9% pada tahun lalu, menurut layanan pemantauan digital wearesocial.com.
Namun, di tengah pertumbuhan pesat itu, laporan tersebut mengungkapkan pula beberapa hambatan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi internet regional Asia Tenggara, yakni risiko regulasi dan kurangnya tenaga kerja terampil.
Regulator persaingan usaha di Malaysia misalnya, pada hari ini mengusulkan denda lebih dari 86 juta ringgit (USD20,53 juta) pada Grab karena melanggar undang-undang persaingan negara dengan mencegah pengemudinya mempromosikan layanan saingan. Grab memiliki waktu satu bulan untuk mengajukan banding sebelum keputusan akhir.
Sementara itu, Singapura minggu ini menerapkan undang-undang yang mewajibkan situs media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk melakukan koreksi atau menghapus konten yang dianggap palsu oleh pemerintah. Kelompok-kelompok HAM telah menyatakan keprihatinannya bahwa undang-undang "berita palsu" itu akan mengekang kebebasan internet.
Industri ini juga masih berjuang untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja, dengan permintaan akan pekerja teknologi terampil yang jauh melebihi pasokan. Bahkan Singapura, yang memiliki pembatasan ketat pada tenaga kerja asing, telah mengatakan akan mengejar lebih banyak tenaga kerja dari luar negeri dalam upaya untuk menumbuhkan sektor ini.
"Bakat tetap menjadi kendala yang mendesak meskipun semua upaya oleh perusahaan ekonomi internet untuk mengisi kesenjangan itu," ungkap laporan tersebut.
Sebuah laporan dari Google, Temasek Holdings dan Konsultan Bisnis Global Bain & Company yang dikutip Reuters, Kamis (3/10/2019) menyebutkan, untuk mencapai target itu, industri online diperkirakan akan tumbuh sebesar 200% selama lima tahun ke depan dari perkiraan USD100 miliar tahun ini.
Laporan tahunan itu meningkatkan outlook-nya untuk tahun 2025 dari sebelumnya USD240 miliar, setelah pertumbuhan tiga kali lipat dalam empat tahun terakhir, ketika pengguna internet muda beralih ke ponsel mereka untuk melakukan semua hal, mulai dari layanan perbankan, bermain game sampai membeli tiket pesawat.
"Laju pertumbuhan ini telah melampaui semua perkiraan," ungkap laporan setebal 64 halaman itu. "Akses internet sekarang terjangkau untuk segmen besar populasi dan kepercayaan konsumen pada layanan digital telah meningkat secara signifikan."
Laporan itu menyebutkan, lebih dari USD37 miliar telah diinvestasikan pada perusahaan online di Asia Tenggara selama empat tahun terakhir, yang mayoritas masuk ke perusahaan e-commerce seperti ritel fesyen Zilingo dan transportasi online seperti Grab dan Gojek.
Perusahaan transportasi online di kawasan ini saja saat ini bernilai USD13 miliar, empat kali lipat dari nilainya sejak 2015, dan diperkirakan akan mencapai USD40 miliar pada tahun 2025, ketika jasa pengiriman makanan melalui aplikasi ini nilai transaksinya akan sebanyak transportasi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata Asia Tenggara yang sebesar 5% per tahun sejak 2014 menempatkan kawasan ini jauh di atas rata-rata global dan menjadikannya sebagai tujuan investasi yang menarik, setelah ekonomi China tertatih-tatih oleh perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Laporan itu menyebutkan, ada 360 juta pengguna internet di seluruh negara yang tercakup dalam laporan ini - Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura dan Filipina - naik dari 260 juta pada empat tahun sebelumnya. Jumlah tersebut cukup besar dibandingkan dengan sekitar 4,4 miliar pengguna internet di seluruh dunia, naik 9% pada tahun lalu, menurut layanan pemantauan digital wearesocial.com.
Namun, di tengah pertumbuhan pesat itu, laporan tersebut mengungkapkan pula beberapa hambatan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi internet regional Asia Tenggara, yakni risiko regulasi dan kurangnya tenaga kerja terampil.
Regulator persaingan usaha di Malaysia misalnya, pada hari ini mengusulkan denda lebih dari 86 juta ringgit (USD20,53 juta) pada Grab karena melanggar undang-undang persaingan negara dengan mencegah pengemudinya mempromosikan layanan saingan. Grab memiliki waktu satu bulan untuk mengajukan banding sebelum keputusan akhir.
Sementara itu, Singapura minggu ini menerapkan undang-undang yang mewajibkan situs media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk melakukan koreksi atau menghapus konten yang dianggap palsu oleh pemerintah. Kelompok-kelompok HAM telah menyatakan keprihatinannya bahwa undang-undang "berita palsu" itu akan mengekang kebebasan internet.
Industri ini juga masih berjuang untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja, dengan permintaan akan pekerja teknologi terampil yang jauh melebihi pasokan. Bahkan Singapura, yang memiliki pembatasan ketat pada tenaga kerja asing, telah mengatakan akan mengejar lebih banyak tenaga kerja dari luar negeri dalam upaya untuk menumbuhkan sektor ini.
"Bakat tetap menjadi kendala yang mendesak meskipun semua upaya oleh perusahaan ekonomi internet untuk mengisi kesenjangan itu," ungkap laporan tersebut.
(fjo)