Ini Alasan Bangun Cipta Tolak Klaim Utang Perusahaan Selandia Baru
A
A
A
JAKARTA - PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) membantah memiliki utang kepada H Infrastructure Limited Representative Office (HIL RO) di proyek panas bumi (Geothermal) Karaha, Jawa Barat.
Bantahan tersebut diungkapkan BCK di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang pada Senin (4/11/2019) ini memasuki agenda jawaban.
Sidang dengan agenda pemasukan jawaban ini sesungguhnya telah tertunda beberapa kali lantaran HIL belum dapat memenuhi legal standing yang diminta oleh majelis hakim. Ada beberapa faktor yang membuat BCK menolak klaim bahwa BCK memiliki utang kepada HIL RO.
Pertama yaitu karena HIL RO tidak memiliki legal standing atau kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apapun di Indonesia. Karena saat ini HIL RO tidak memiliki izin perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 9/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. Izin perwakilan badan usaha konstruksi asing yang dimiliki HIL RO sudah berakhir pada tanggal 31 Desember 2017.
HIL RO juga baru mengajukan permohonan izin perwakilan kepada instansi yang berwenang di Indonesia terkait dengan pergantian data alamat kantor perwakilan, dan kepala kantor perwakilan setelah permohonan pailit ini didaftarkan ke PN Jakpus pada 10 September 2019. Padahal hal ini disyaratkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri PUPR No. 10/PRT/M/2014.
Lalu faktor kedua yakni Kreditur Kedua yang diajukan oleh HIL RO di PN Jakpus, bukanlah kreditur BCK. Sebab tagihan yang diajukan tersebut merupakan biaya-biaya untuk keperluan offshore project yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab HIL RO sendiri, bukan BCK.
Sekadar informasi, Hawkins Infrastructure Limited (HIL) yang merupakan induk HIL RO adalah pemegang kontrak Engineering, Procurement, and Construction (EPC) untuk proyek Geothermal Karaha. Lalu proyek ini dipecah menjadi dua bagian, yaitu offshore project dan onshore project. Untuk offshore project terdiri dari engineering dan procurement yang seluruhnya atau 100% ditangani oleh HIL Singapore. Salah satu pekerjaan offshore project ini adalah membuat desain konstruksi.
Sedangkan untuk onshore project yang terdiri dari construction, disubkan kepada join operation (JO) BCK dan anak usaha HIL yakni Hawkins Infrastructure Limited Representative Office (HIL RO). Dimana porsi BCK hanya 30%, sedangkan HIL RO sebesar 70%.
"HIL RO dengan sengaja mencampur-adukkan biaya-biaya untuk keperluan offshore project yang 100% memang menjadi tanggung jawab HIL, ke dalam onshore project yang dilakukan oleh join operation HIL RO dengan BCK," ujar kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers, Senin (4/11/2019).
Terkait adanya kecurangan pencampuran biaya atau mixing cost itu, BCK telah melapor kepada Polres Jakarta Selatan dengan LP Nomor: LP/1206/VIII/2017 /PMJ/RJS pada 18 Agustus 2017. Namun sudah dua tahun, laporan tersebut terhambat lantaran dalam prosesnya para personil HIL RO sudah meninggalkan Indonesia dan tidak ada yang dapat dipanggil untuk dimintakan keterangan.
Faktor ketiga yang menjadi bantahan BCK adalah HIL RO yang menjadi Pemohon pailit di PN Jakpus saat ini, bukanlah HIL RO yang melakukan joint operation agreement (JOA) dengan BCK, melainkan perusahaan yang berbeda.
Sebab Hawkins Infrastucture Limited yang merupakan induk perusahaan HIL RO, yang melakukan JOA dengan BCK, telah dijual kepada perusahaan Australia yaitu Downer EDI Limited.
Sedangkan yang mengajukan permohonan pailit BCK saat ini adalah H Infrastucture Limited milik keluarga McConnel, yang baru didirikan setelah Hawkins Infrastructure Limited dijual oleh keluarga McConnel.
Meskipun memiliki nama yang berbeda, namun singkatan dari keduanya tetap sama, yakni HIL. "Kami melakukan JOA dengan Hawkins Infrastructure Limited, bukan H Infrastructure Limited," kata Hendry.
Meskipun di Selandia Baru ada dokumen yang menyatakan bahwa Hawkins Infrastructure Limited berganti nama menjadi H Infrastructure Limited, namun secara faktual dan yuridis badan hukum yang mengadakan JOA dengan BCK adalah Hawkins Infrastructure Limited. Yang mana saat ini perusahaan tersebut masih ada, dan bukan H Infrastructure Limited milik keluarga McConnel. Sesuai dengan JOA, maka apabila ada perubahan harus atas persetujuan dari kedua belah pihak dan diadakan novasi.
"Pergantian pihak dalam JOA harus disetujui oleh BCK. Dan karena BCK tidak pernah dimintakan persetujuannya, maka jelas bahwa HIL RO selaku Pemohon di PN Pusat ini bukanlah HIL RO yang ada dalam JOA," tegas Hendry.
Oleh karena sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian JOA ini sifatnya sangat kompleks dan tidak sederhana pembuktiannya, BCK meminta majelis hakim untuk menolak permohonan HIL RO tersebut.
"Sengketa ini harus diperiksa serta diputuskan terlebih dahulu melalui Arbitrase di SIAC, sesuai dengan pilihan penyelesaian sengketa yang telah disepakati di dalam JOA," pungkas Hendry.
Majelis Hakim mengatakan menerima seluruh jawaban dari BCK tersebut. "Jadi sudah dibacakan ya (jawaban)," kata Ketua Majelis Abdul Kohar.
Sedangkan, kuasa hukum HIL RO, Ian Siregar mengatakan akan menanggapi jawaban dari BCK pada Selasa (12/11/2019) pekan depan. "Kami pasti menanggapi dan perlu waktu satu minggu," katanya.
Dalam persidangan, majelis hakim juga kembali mengingatkan agar HIL RO segera melengkapi legalitas standing. "Dokumennya sudah ada, dan dibawakah?," kata Abdul Kohar. "Masih proses Yang Mulia," jawab Ian Siregar.
Bantahan tersebut diungkapkan BCK di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang pada Senin (4/11/2019) ini memasuki agenda jawaban.
Sidang dengan agenda pemasukan jawaban ini sesungguhnya telah tertunda beberapa kali lantaran HIL belum dapat memenuhi legal standing yang diminta oleh majelis hakim. Ada beberapa faktor yang membuat BCK menolak klaim bahwa BCK memiliki utang kepada HIL RO.
Pertama yaitu karena HIL RO tidak memiliki legal standing atau kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apapun di Indonesia. Karena saat ini HIL RO tidak memiliki izin perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 9/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. Izin perwakilan badan usaha konstruksi asing yang dimiliki HIL RO sudah berakhir pada tanggal 31 Desember 2017.
HIL RO juga baru mengajukan permohonan izin perwakilan kepada instansi yang berwenang di Indonesia terkait dengan pergantian data alamat kantor perwakilan, dan kepala kantor perwakilan setelah permohonan pailit ini didaftarkan ke PN Jakpus pada 10 September 2019. Padahal hal ini disyaratkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri PUPR No. 10/PRT/M/2014.
Lalu faktor kedua yakni Kreditur Kedua yang diajukan oleh HIL RO di PN Jakpus, bukanlah kreditur BCK. Sebab tagihan yang diajukan tersebut merupakan biaya-biaya untuk keperluan offshore project yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab HIL RO sendiri, bukan BCK.
Sekadar informasi, Hawkins Infrastructure Limited (HIL) yang merupakan induk HIL RO adalah pemegang kontrak Engineering, Procurement, and Construction (EPC) untuk proyek Geothermal Karaha. Lalu proyek ini dipecah menjadi dua bagian, yaitu offshore project dan onshore project. Untuk offshore project terdiri dari engineering dan procurement yang seluruhnya atau 100% ditangani oleh HIL Singapore. Salah satu pekerjaan offshore project ini adalah membuat desain konstruksi.
Sedangkan untuk onshore project yang terdiri dari construction, disubkan kepada join operation (JO) BCK dan anak usaha HIL yakni Hawkins Infrastructure Limited Representative Office (HIL RO). Dimana porsi BCK hanya 30%, sedangkan HIL RO sebesar 70%.
"HIL RO dengan sengaja mencampur-adukkan biaya-biaya untuk keperluan offshore project yang 100% memang menjadi tanggung jawab HIL, ke dalam onshore project yang dilakukan oleh join operation HIL RO dengan BCK," ujar kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers, Senin (4/11/2019).
Terkait adanya kecurangan pencampuran biaya atau mixing cost itu, BCK telah melapor kepada Polres Jakarta Selatan dengan LP Nomor: LP/1206/VIII/2017 /PMJ/RJS pada 18 Agustus 2017. Namun sudah dua tahun, laporan tersebut terhambat lantaran dalam prosesnya para personil HIL RO sudah meninggalkan Indonesia dan tidak ada yang dapat dipanggil untuk dimintakan keterangan.
Faktor ketiga yang menjadi bantahan BCK adalah HIL RO yang menjadi Pemohon pailit di PN Jakpus saat ini, bukanlah HIL RO yang melakukan joint operation agreement (JOA) dengan BCK, melainkan perusahaan yang berbeda.
Sebab Hawkins Infrastucture Limited yang merupakan induk perusahaan HIL RO, yang melakukan JOA dengan BCK, telah dijual kepada perusahaan Australia yaitu Downer EDI Limited.
Sedangkan yang mengajukan permohonan pailit BCK saat ini adalah H Infrastucture Limited milik keluarga McConnel, yang baru didirikan setelah Hawkins Infrastructure Limited dijual oleh keluarga McConnel.
Meskipun memiliki nama yang berbeda, namun singkatan dari keduanya tetap sama, yakni HIL. "Kami melakukan JOA dengan Hawkins Infrastructure Limited, bukan H Infrastructure Limited," kata Hendry.
Meskipun di Selandia Baru ada dokumen yang menyatakan bahwa Hawkins Infrastructure Limited berganti nama menjadi H Infrastructure Limited, namun secara faktual dan yuridis badan hukum yang mengadakan JOA dengan BCK adalah Hawkins Infrastructure Limited. Yang mana saat ini perusahaan tersebut masih ada, dan bukan H Infrastructure Limited milik keluarga McConnel. Sesuai dengan JOA, maka apabila ada perubahan harus atas persetujuan dari kedua belah pihak dan diadakan novasi.
"Pergantian pihak dalam JOA harus disetujui oleh BCK. Dan karena BCK tidak pernah dimintakan persetujuannya, maka jelas bahwa HIL RO selaku Pemohon di PN Pusat ini bukanlah HIL RO yang ada dalam JOA," tegas Hendry.
Oleh karena sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian JOA ini sifatnya sangat kompleks dan tidak sederhana pembuktiannya, BCK meminta majelis hakim untuk menolak permohonan HIL RO tersebut.
"Sengketa ini harus diperiksa serta diputuskan terlebih dahulu melalui Arbitrase di SIAC, sesuai dengan pilihan penyelesaian sengketa yang telah disepakati di dalam JOA," pungkas Hendry.
Majelis Hakim mengatakan menerima seluruh jawaban dari BCK tersebut. "Jadi sudah dibacakan ya (jawaban)," kata Ketua Majelis Abdul Kohar.
Sedangkan, kuasa hukum HIL RO, Ian Siregar mengatakan akan menanggapi jawaban dari BCK pada Selasa (12/11/2019) pekan depan. "Kami pasti menanggapi dan perlu waktu satu minggu," katanya.
Dalam persidangan, majelis hakim juga kembali mengingatkan agar HIL RO segera melengkapi legalitas standing. "Dokumennya sudah ada, dan dibawakah?," kata Abdul Kohar. "Masih proses Yang Mulia," jawab Ian Siregar.
(ven)