Selangkah Lagi Menuju Indonesia Sehat
A
A
A
KUALITAS udara di kota-kota besar di Indonesia dinilai masih jauh dari indikator sehat bagi penduduknya. Pencemaran udara menjadi satu di antara persoalan yang hingga kini masih dihadapi oleh kota-kota seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Meskipun langit sedang mendung, tetapi tak mampu menahan suhu panas di Jakarta. Riki Thomas, 37, memacu motornya dengan kecepatan sedang membelah kemacetan Ibu Kota. Pria asal Semarang, Jawa Tengah itu sudah 12 tahun tinggal di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Profesi sebagai pengemudi ojek online sudah dilakoninya hampir lima tahun setelah pria yang memiliki dua anak itu berhenti sebagai tenaga lepas proyek bangunan.
Badannya yang kurus membuat dia lincah mengendalikan motor dan bermanuver di tengah kemacetan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. “Saya tidak tahan dengan asap dari knalpot mobil. Selain uap yang panas,juga kadang membuat susah bernafas,” ujarnya saat mengantar KORAN SINDO, kemarin. Setiap hari Riki mengelilingi Ibu Kota dengan motor Honda Supra bernopol B3594 BVU milik kerabatnya. Dalam sehari, Riki mampu mengumpulkan Rp150 ribu.
"Itu belum dikurangi pengeluaran untuk bensin dan uangma kan. Kadang saya isi Per talite. Tapi, jika antrean pan jang, isinya Pertamax,” ungkapnya. Alhasil, Riki hanya mampu membawa pulang Rp50.000 hingga Rp70.000.“Karena itu, keluarga saya pulangkan ke Semarang,” ucapnya.Bagi Riki, menjadi pengemudi ojek online bukan tanpa risiko. Yang paling sering dialaminya adalah penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA). Dia mengaku beberapa kali harus berobat ke puskesmas karena terserang batuk yang berkepanjangan. “Mungkin karenasaya jarang menggunakan masker. Dulu saat bekerja diproyek bangunan tidak pernahsakit seperti itu,” ucapnya.Jakarta memang menjadi satu di antara kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi. Sejak Agustus 2019, masyarakat Jakarta bahkan harus menghirup udara dengan kualitas udara yang buruk berdasarkan laporan kualitas udara di situsairvisual.com.
Polusi yang terjadi di Jakarta dinilai banyak pihak diakibatkan oleh gas buang kendaraan bermotor. Penilaian itu didasarkan oleh populasi kendaraan bermotor di Ibu Kota yang cukup besar. Belum lagi, kendaraan bermotor yang berasal dari daerah satelit Ibu Kota seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Jugakendaraan dari luar kota yangmasuk ke Jakarta.Mengutip data Statistik Transportasi DKI Jakarta, pada periode 2012 -2018 pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua di Jakarta mencapai 5,3%. Hingga akhir 2018 jumlah motor di Jakarta menembus 14,74 juta unit.Pemprov DKI Jakarta belum merilis populasi motor roda dua pada tahun ini. Sementara kendaraan roda empat populasinya hingga akhir 2018 mencapai 3,99 juta unit.
Tak hanya Riki yang kerap mengalami masalah akibat asap kendaraan bermotor. Octavia Almira, 27, juga merasakan hal yang sama. Wanita yang bekerjadi perusahaan perdagangan eceran di kawasan Klender,Jakarta Timur ini juga mengeluhkan buruknya kualitas udara. “Saya tinggal di Bekasi Timur, bekerja di Klender dan hampir setiap hari menggunakan motor. Saat macet, asap knalpot mobil bisa membuat mata perih,” ungkapnya kepada KORAN SINDO.Apalagi, lanjut dia, jika dirinya berhenti di belakang kendaraan jenis truk. Selain membuat matanya perih, asap mengepul dari cerobong knalpot meninggalkan bau tak sedap dipakaiannya. “Bau parfum pun tak bisa menutupi bau asap knalpot itu,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Komite Pembebasan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin menilai buruknya kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia satu di antaranyadisebabkan oleh emisi gas buang. “Meski pun bukan satu-satunya faktor, tetapi emisi gas buang paling dominan, sekitar70% penyebab polusi udara,” katanya.
Emisi gas buang tersebut dikarenakan kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang ada di dalam negeri masih belum memenuhi kualifikasi BBM ramah lingkungan. Apalagi, jenis BBM solar yang masih memiliki kadar sulfur yang tinggi. “Tentunya ini menjadipe kerjaan bersama antara penyedia BBM dan pabrikan pembuat kendaraan bermotor,”ucapnya.
Menurut Ahmad,antara penyedia BBM khususnya Pertamina harus melakukan sinergi dengan pabrikan automotif untuk mencari solusi. Misalnya bersama-sama melakukan uji emisi terhadap kendaraan bermotor dua kali dalam setahun. Hal itu dinilai penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat polusi yang dibawa oleh sebuah kendaraan bermotor. Tentunya hal itu juga untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih.
Menuju Indonesia Sehat
Direktur Eksekutif EnergyWatch Mamit Setiawan menilai, dalam waktu dekat apa yang dialami Riki dan Octavia tersebut bisa diminimalkan. Saat ini pemerintah dan PT Pertamina (Persero) tengah mempercepat pengembangan kilang pengolahan BBM ramah lingkungan. "Saya melihat itu sebagai komitmen luar biasa pemerintah dan Pertamina untuk menghadirkan cleanenergy bagi kehidupan masyarakat," ungkapnya.
Dia menilai, perlu adanya inovasi yang berkesinambungan dalam memproduksi bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan. Sebab, polusi akibat BBM, bisa menurunkan harapan hidup masyarakat Indonesia. Masyarakat sangat berharap, BBM yang dihasilkan Pertamina di kemudian hari, berasal dari energi terbarukan sehingga tingkat polusi yang dihasilkan akan rendah.
Pertamina sendiri telah menegaskan terus melakukan beragam terobosan untuk mengupayakan percepatan pembangunan kilang demi mewujudkan sejarah baru sebagai negara swasembada energi.
Satu di antaranya melalui Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan GrassRoof Refinery (GRR) yang sedang dijalankan Pertamina menjadi kunci dalam membangun tonggak sejarah baru tersebut. Sehingga Indonesia mampu memenuhi kebutuhan BBM dari kilang sendiri tanpa bergantung impor.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Talullembang dalam keterangan resminya menyatakan, proyek RDMP dan GRR akan meningkatkan kapasitas kilang terpasang menjadi dua kali lipat dari 1 juta barel pada saat ini menjadi 2 juta barel. Dengan peningkatan signifikan, seluruh kebutuhan BBM bisa dipenuhi oleh kilang sendiri.
“Pertamina melakukan sejumlah akselerasi agar proyek yang ditetapkan Presiden Jokowi sebagai proyek strategis nasional ini, bisa segera terwujud. Inilah impian besar kita dalam membangun ketahanan dan sekaligus kemandirian energi,” ujar Ignatius.
Pertamina, telah melakukan berbagai akselerasi yang terintegrasi sehingga target-target pelaksanaan proyek bisa terlaksana tepat waktu atau bahkan lebih cepat dari jadwalyang ditetapkan.
Selesainya Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) juga menjadi era baru bagi Pertamina untuk memproduksi BBM kelas dunia standar Euro 4. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan penggunaan BBM berkualitas tinggi dan ramah lingkungan demi menuju Indonesia sehat.
Secara resmi pengoperasian PLBC telah diintegrasikan dengan Refinery Unit IV Cilacap sehingga produksi BBM berkualitas meningkat signifikan.
BBM yang diproduksi adalah BBM jenis Pertamax atau setara dengan Euro 4 sesuai standar internasional dan sesuai dengan yang disyaratkan oleh Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup (KLHK) untuk kandungan Reseacrh Octane Number(RON) BBM yang ramah lingkungan. Produksi BBM standar Euro 4 ini juga men -jawab kebutuhan industri automotif yang memproduksi kendaraan bermotor mutakhir dengan engine system sesuai spesifikasi BBM standar Euro 4.
Dengan demikian, lanjut Ignatius, beroperasinya PLBC ini telah mempercepat Kilang Cilacap untuk memproduksi BBM kelas dunia. Beroperasinya PLBC juga akan mengurangi impor high octane mogas component (HOMC) sebagai komponen blending produk gas olin secara signifikan sehingga berdampak positif pada upaya pemerintah memperkuat cadangan devisa negara.
Pertamina juga menggenjot produksi bahan bakar nabati (BBN) yang lebih ramah lingkungan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional sekaligus mendukung energi hijau untuk mewujudkan Indonesia sehat. Pengembangan BBN sekaligus mendukung program bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah sebesar 23% pada 2025.
Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif mengatakan, Pertamina terus melakukan terobosan mengembangkan energi terbarukan dengan Program B20 yang akan dilanjutkan dengan B30 pada 2020. “Sejalan dengan program perluasan penggunaan B20, penyerapan FAME dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan signifikan. Pertamina terus memperluas pasokan B20 tidak hanya untuk kendaraan bermotor, tetapi juga untuk kebutuhan industri,” terang Budi.
Pertamina, juga telah melakukan uji coba Biorefinery pertama di Indonesia melalui metode Co-Processing pada kilang Dumai dan Plaju. Keberhasilan dalam uji coba penerapan teknologi inimenjadikan Pertamina siap mengembangkan bahan bakar nabati dengan bahan baku juga siap mengadopsi teknologi Standalone untuk pengolahan CPO menjadi bahan bakar nabati.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TM-MIN) Bob Azam mengapresiasi langkah cepat Pertamina dalam menyongsong era clean energy. “Harapan kami dari industri tentu Pertamina perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan para stakeholder lainnya,“ ucapnya. (Anton C)
Meskipun langit sedang mendung, tetapi tak mampu menahan suhu panas di Jakarta. Riki Thomas, 37, memacu motornya dengan kecepatan sedang membelah kemacetan Ibu Kota. Pria asal Semarang, Jawa Tengah itu sudah 12 tahun tinggal di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Profesi sebagai pengemudi ojek online sudah dilakoninya hampir lima tahun setelah pria yang memiliki dua anak itu berhenti sebagai tenaga lepas proyek bangunan.
Badannya yang kurus membuat dia lincah mengendalikan motor dan bermanuver di tengah kemacetan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. “Saya tidak tahan dengan asap dari knalpot mobil. Selain uap yang panas,juga kadang membuat susah bernafas,” ujarnya saat mengantar KORAN SINDO, kemarin. Setiap hari Riki mengelilingi Ibu Kota dengan motor Honda Supra bernopol B3594 BVU milik kerabatnya. Dalam sehari, Riki mampu mengumpulkan Rp150 ribu.
"Itu belum dikurangi pengeluaran untuk bensin dan uangma kan. Kadang saya isi Per talite. Tapi, jika antrean pan jang, isinya Pertamax,” ungkapnya. Alhasil, Riki hanya mampu membawa pulang Rp50.000 hingga Rp70.000.“Karena itu, keluarga saya pulangkan ke Semarang,” ucapnya.Bagi Riki, menjadi pengemudi ojek online bukan tanpa risiko. Yang paling sering dialaminya adalah penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA). Dia mengaku beberapa kali harus berobat ke puskesmas karena terserang batuk yang berkepanjangan. “Mungkin karenasaya jarang menggunakan masker. Dulu saat bekerja diproyek bangunan tidak pernahsakit seperti itu,” ucapnya.Jakarta memang menjadi satu di antara kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi. Sejak Agustus 2019, masyarakat Jakarta bahkan harus menghirup udara dengan kualitas udara yang buruk berdasarkan laporan kualitas udara di situsairvisual.com.
Polusi yang terjadi di Jakarta dinilai banyak pihak diakibatkan oleh gas buang kendaraan bermotor. Penilaian itu didasarkan oleh populasi kendaraan bermotor di Ibu Kota yang cukup besar. Belum lagi, kendaraan bermotor yang berasal dari daerah satelit Ibu Kota seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Jugakendaraan dari luar kota yangmasuk ke Jakarta.Mengutip data Statistik Transportasi DKI Jakarta, pada periode 2012 -2018 pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua di Jakarta mencapai 5,3%. Hingga akhir 2018 jumlah motor di Jakarta menembus 14,74 juta unit.Pemprov DKI Jakarta belum merilis populasi motor roda dua pada tahun ini. Sementara kendaraan roda empat populasinya hingga akhir 2018 mencapai 3,99 juta unit.
Tak hanya Riki yang kerap mengalami masalah akibat asap kendaraan bermotor. Octavia Almira, 27, juga merasakan hal yang sama. Wanita yang bekerjadi perusahaan perdagangan eceran di kawasan Klender,Jakarta Timur ini juga mengeluhkan buruknya kualitas udara. “Saya tinggal di Bekasi Timur, bekerja di Klender dan hampir setiap hari menggunakan motor. Saat macet, asap knalpot mobil bisa membuat mata perih,” ungkapnya kepada KORAN SINDO.Apalagi, lanjut dia, jika dirinya berhenti di belakang kendaraan jenis truk. Selain membuat matanya perih, asap mengepul dari cerobong knalpot meninggalkan bau tak sedap dipakaiannya. “Bau parfum pun tak bisa menutupi bau asap knalpot itu,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Komite Pembebasan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin menilai buruknya kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia satu di antaranyadisebabkan oleh emisi gas buang. “Meski pun bukan satu-satunya faktor, tetapi emisi gas buang paling dominan, sekitar70% penyebab polusi udara,” katanya.
Emisi gas buang tersebut dikarenakan kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang ada di dalam negeri masih belum memenuhi kualifikasi BBM ramah lingkungan. Apalagi, jenis BBM solar yang masih memiliki kadar sulfur yang tinggi. “Tentunya ini menjadipe kerjaan bersama antara penyedia BBM dan pabrikan pembuat kendaraan bermotor,”ucapnya.
Menurut Ahmad,antara penyedia BBM khususnya Pertamina harus melakukan sinergi dengan pabrikan automotif untuk mencari solusi. Misalnya bersama-sama melakukan uji emisi terhadap kendaraan bermotor dua kali dalam setahun. Hal itu dinilai penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat polusi yang dibawa oleh sebuah kendaraan bermotor. Tentunya hal itu juga untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih.
Menuju Indonesia Sehat
Direktur Eksekutif EnergyWatch Mamit Setiawan menilai, dalam waktu dekat apa yang dialami Riki dan Octavia tersebut bisa diminimalkan. Saat ini pemerintah dan PT Pertamina (Persero) tengah mempercepat pengembangan kilang pengolahan BBM ramah lingkungan. "Saya melihat itu sebagai komitmen luar biasa pemerintah dan Pertamina untuk menghadirkan cleanenergy bagi kehidupan masyarakat," ungkapnya.
Dia menilai, perlu adanya inovasi yang berkesinambungan dalam memproduksi bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan. Sebab, polusi akibat BBM, bisa menurunkan harapan hidup masyarakat Indonesia. Masyarakat sangat berharap, BBM yang dihasilkan Pertamina di kemudian hari, berasal dari energi terbarukan sehingga tingkat polusi yang dihasilkan akan rendah.
Pertamina sendiri telah menegaskan terus melakukan beragam terobosan untuk mengupayakan percepatan pembangunan kilang demi mewujudkan sejarah baru sebagai negara swasembada energi.
Satu di antaranya melalui Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan GrassRoof Refinery (GRR) yang sedang dijalankan Pertamina menjadi kunci dalam membangun tonggak sejarah baru tersebut. Sehingga Indonesia mampu memenuhi kebutuhan BBM dari kilang sendiri tanpa bergantung impor.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Talullembang dalam keterangan resminya menyatakan, proyek RDMP dan GRR akan meningkatkan kapasitas kilang terpasang menjadi dua kali lipat dari 1 juta barel pada saat ini menjadi 2 juta barel. Dengan peningkatan signifikan, seluruh kebutuhan BBM bisa dipenuhi oleh kilang sendiri.
“Pertamina melakukan sejumlah akselerasi agar proyek yang ditetapkan Presiden Jokowi sebagai proyek strategis nasional ini, bisa segera terwujud. Inilah impian besar kita dalam membangun ketahanan dan sekaligus kemandirian energi,” ujar Ignatius.
Pertamina, telah melakukan berbagai akselerasi yang terintegrasi sehingga target-target pelaksanaan proyek bisa terlaksana tepat waktu atau bahkan lebih cepat dari jadwalyang ditetapkan.
Selesainya Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) juga menjadi era baru bagi Pertamina untuk memproduksi BBM kelas dunia standar Euro 4. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan penggunaan BBM berkualitas tinggi dan ramah lingkungan demi menuju Indonesia sehat.
Secara resmi pengoperasian PLBC telah diintegrasikan dengan Refinery Unit IV Cilacap sehingga produksi BBM berkualitas meningkat signifikan.
BBM yang diproduksi adalah BBM jenis Pertamax atau setara dengan Euro 4 sesuai standar internasional dan sesuai dengan yang disyaratkan oleh Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup (KLHK) untuk kandungan Reseacrh Octane Number(RON) BBM yang ramah lingkungan. Produksi BBM standar Euro 4 ini juga men -jawab kebutuhan industri automotif yang memproduksi kendaraan bermotor mutakhir dengan engine system sesuai spesifikasi BBM standar Euro 4.
Dengan demikian, lanjut Ignatius, beroperasinya PLBC ini telah mempercepat Kilang Cilacap untuk memproduksi BBM kelas dunia. Beroperasinya PLBC juga akan mengurangi impor high octane mogas component (HOMC) sebagai komponen blending produk gas olin secara signifikan sehingga berdampak positif pada upaya pemerintah memperkuat cadangan devisa negara.
Pertamina juga menggenjot produksi bahan bakar nabati (BBN) yang lebih ramah lingkungan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional sekaligus mendukung energi hijau untuk mewujudkan Indonesia sehat. Pengembangan BBN sekaligus mendukung program bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah sebesar 23% pada 2025.
Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif mengatakan, Pertamina terus melakukan terobosan mengembangkan energi terbarukan dengan Program B20 yang akan dilanjutkan dengan B30 pada 2020. “Sejalan dengan program perluasan penggunaan B20, penyerapan FAME dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan signifikan. Pertamina terus memperluas pasokan B20 tidak hanya untuk kendaraan bermotor, tetapi juga untuk kebutuhan industri,” terang Budi.
Pertamina, juga telah melakukan uji coba Biorefinery pertama di Indonesia melalui metode Co-Processing pada kilang Dumai dan Plaju. Keberhasilan dalam uji coba penerapan teknologi inimenjadikan Pertamina siap mengembangkan bahan bakar nabati dengan bahan baku juga siap mengadopsi teknologi Standalone untuk pengolahan CPO menjadi bahan bakar nabati.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TM-MIN) Bob Azam mengapresiasi langkah cepat Pertamina dalam menyongsong era clean energy. “Harapan kami dari industri tentu Pertamina perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan para stakeholder lainnya,“ ucapnya. (Anton C)
(nfl)