Kenapa Nadiem, Risa, atau Putri Tanjung Harus Pegang Kendali? (Bagian 2)
A
A
A
MINGGU lalu saya telah menguraikan bahwa era VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity; Disruption”; dan Revolusi Industri 4.0 menuntut pemimpin generasi milenial seperti sosok Nadiem Makarim atau Risa Santoso (rektor wanita termuda) mulai ambil peran di posisi kunci pemerintahan, perusahaan, dan organisasi nirlaba.
Era perubahan “patahan” (tectonicshift), tak lagi linier/inkremental, menjadikan pemimpin Boomers dan Gen-X yang begitu mumpuni bergumul dengan tantangan-tantangan era lama menjadi tak relevan lagi di era baru yang kini kita hadapi.
Di tulisan bagian pertama (bisa di akses di: www.yuswohady.com), saya sudah menguraikan alasan pertama kenapa pemimpin era lama yaitu pemimpin Boomers/Gen-X harus menyerahkan “tampuk kekuasaan”-nya kepada pemimpin milenial. Berikut adalah dua alasan yang lain.
Mereka Bagian dari Masalah
Inilah handicap terbesar pemimpin generasi tua: Mereka merasa tahu dan berpengalaman karena puluhan tahun makan asam-garam.
Ketika perubahannya kontinuitas maka pengalaman puluhan tahun itu memang menjadi aset (keuntungan). Namun jika perubahan berupa patahan maka justru menjadi liabilitas (beban). Ya, karena dengan adanya decoupling, pengalaman panjang itu kini tidak relevan dan tidak terpakai lagi di era yang baru.
Nah, masalah peliknya justru di situ. Skill terpenting seorang pemimpin di era perubahan patahan adalah “unlearn” yaitu melupakan seluruh warisan (pengetahuan, pengalaman, resep sukses) masa lampau. Ya, karena dengan begitu seorang pemimpin bisa cepat move-on dan lebih agile menghadapi persoalan era baru yang sama sekali berbeda.
Persoalan terbesar pemimpin Boomers/Gen-X adalah, mereka masih terobsesi dengan pengalaman dan resep sukses masa lampau sehingga sulit unlearndan move-on. Sebagai pemimpin, Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya.
Tak heran jika kini banyak organisasi yang diam saja jalan di tempat tak melakukan action apa-apa menghadapi disrupsi karena pemimpin-pemimpinnya banyak didominasi oleh pemimpin Boomers/Gen-X yang gagal unlearn dan move-on.
Survei McKinsey Global Institute (2018) menemukan bahwa kunci sukses transformasi digital sebuah organisasi ditentukan oleh pemimpin yang agile bergerak dan cakap merespons disrupsi digital. Sekitar 70% responden mengatakan digital savvy leaders yang pola pikir, pola tindak, dan kecepatan responsnya fit dengan era digital menjadi faktor penentu kesuksesan transformasi.
Pertanyaannya, kalau pemimpin Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya, bagaimana mungkin mereka cakap memimpin orang lain. Kalau pemimpin Boomers/Gen-X adalah masalah terbesar bagi organisasi yang butuh agile berubah, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi solusi terhadap persoalan-persoalan disrupsi yang menjadi keseharian era baru. Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
“Lead by Fear” vs “Lead by Optimism”
Beginilah perbedaan pola respons antara pemimpin Boomers/Gen-X dan pemimpin milenial:
Pemimpin Boomers/Gen-X melihat ontran-ontran disrupsi sebagai ancaman (threat), karena itu mereka meresponsnya dengan mindset ketakutan.
Sebaliknya, pemimpin milenial melihatnya sebagai peluang (opportunity) dan meresponsnya dengan optimisme luar biasa untuk memasuki era baru yang penuh kejayaan.
Sosok pemimpin milenial seperti Nadiem Makarim (GoJek), William Tanuwijaya (Tokopedia), atau Ferry Unardi (Traveloka) melihat gelombang disrupsi dengan mindsetoptimisme untuk menghasilkan perusahaan-perusahaan hebat yang belum pernah ada sebelumnya dan untuk mencipta value yang luar biasa besar di era baru.
Sementara para pemimpin Boomers/Gen-X yang perusahaannya terdisrupsi melihatnya dengan ketakutan karena perusahaannya bakal tergerus.
Kepemimpinan yang sarat diwarnai ketakutan akan menghasilkan kecemasan, kebimbangan, kebingungan, kekacauan, ketegangan, keputusasaan, dan akhirnya kesalahurusan dan keblunderan. Saya menyebutnya: “lead by fear”.
Kini sebagian besar perusahaan inkumben (perusahaan besar yang sudah beroperasi belasan-puluhan tahun) yang umumnya dinakhodai oleh pemimpin Boomers/Gen-X dikelola dengan perspektif lead by fear. Karena pemimpinnya dipenuhi ketakutan, kecemasan, dan kebimbangan, maka organisasi hanya bisa diam menunggu digerus disrupsi.
Banyak juga perusahaan inkumben lain yang kelola dengan perspektif “lead by ignorance” di mana pemimpin Boomers/Gen-X gagal paham terhadap disrupsi yang terjadi. Karena menurut si pemimpin everything is ok, maka organisasi pun ademayem berjalan seperti biasa tanpa sadar disrupsi akan menelan mereka.
Semoga penunjukkan Nadiem, Risa, dan tujuh stafsus Jokowi menjadi momentum baik penyerahaan “tampuk kekuasaan” dari pemimpin Boomers/Gen-X ke pemimpin milenial.
Karena disrupsi dan perubahan ekstrim memang menuntut pemimpin Boomers/Gen-X lengser. Dan pemimpin milenial pegang kendali.
Yuswohady
Managing Partner
Era perubahan “patahan” (tectonicshift), tak lagi linier/inkremental, menjadikan pemimpin Boomers dan Gen-X yang begitu mumpuni bergumul dengan tantangan-tantangan era lama menjadi tak relevan lagi di era baru yang kini kita hadapi.
Di tulisan bagian pertama (bisa di akses di: www.yuswohady.com), saya sudah menguraikan alasan pertama kenapa pemimpin era lama yaitu pemimpin Boomers/Gen-X harus menyerahkan “tampuk kekuasaan”-nya kepada pemimpin milenial. Berikut adalah dua alasan yang lain.
Mereka Bagian dari Masalah
Inilah handicap terbesar pemimpin generasi tua: Mereka merasa tahu dan berpengalaman karena puluhan tahun makan asam-garam.
Ketika perubahannya kontinuitas maka pengalaman puluhan tahun itu memang menjadi aset (keuntungan). Namun jika perubahan berupa patahan maka justru menjadi liabilitas (beban). Ya, karena dengan adanya decoupling, pengalaman panjang itu kini tidak relevan dan tidak terpakai lagi di era yang baru.
Nah, masalah peliknya justru di situ. Skill terpenting seorang pemimpin di era perubahan patahan adalah “unlearn” yaitu melupakan seluruh warisan (pengetahuan, pengalaman, resep sukses) masa lampau. Ya, karena dengan begitu seorang pemimpin bisa cepat move-on dan lebih agile menghadapi persoalan era baru yang sama sekali berbeda.
Persoalan terbesar pemimpin Boomers/Gen-X adalah, mereka masih terobsesi dengan pengalaman dan resep sukses masa lampau sehingga sulit unlearndan move-on. Sebagai pemimpin, Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya.
Tak heran jika kini banyak organisasi yang diam saja jalan di tempat tak melakukan action apa-apa menghadapi disrupsi karena pemimpin-pemimpinnya banyak didominasi oleh pemimpin Boomers/Gen-X yang gagal unlearn dan move-on.
Survei McKinsey Global Institute (2018) menemukan bahwa kunci sukses transformasi digital sebuah organisasi ditentukan oleh pemimpin yang agile bergerak dan cakap merespons disrupsi digital. Sekitar 70% responden mengatakan digital savvy leaders yang pola pikir, pola tindak, dan kecepatan responsnya fit dengan era digital menjadi faktor penentu kesuksesan transformasi.
Pertanyaannya, kalau pemimpin Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya, bagaimana mungkin mereka cakap memimpin orang lain. Kalau pemimpin Boomers/Gen-X adalah masalah terbesar bagi organisasi yang butuh agile berubah, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi solusi terhadap persoalan-persoalan disrupsi yang menjadi keseharian era baru. Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
“Lead by Fear” vs “Lead by Optimism”
Beginilah perbedaan pola respons antara pemimpin Boomers/Gen-X dan pemimpin milenial:
Pemimpin Boomers/Gen-X melihat ontran-ontran disrupsi sebagai ancaman (threat), karena itu mereka meresponsnya dengan mindset ketakutan.
Sebaliknya, pemimpin milenial melihatnya sebagai peluang (opportunity) dan meresponsnya dengan optimisme luar biasa untuk memasuki era baru yang penuh kejayaan.
Sosok pemimpin milenial seperti Nadiem Makarim (GoJek), William Tanuwijaya (Tokopedia), atau Ferry Unardi (Traveloka) melihat gelombang disrupsi dengan mindsetoptimisme untuk menghasilkan perusahaan-perusahaan hebat yang belum pernah ada sebelumnya dan untuk mencipta value yang luar biasa besar di era baru.
Sementara para pemimpin Boomers/Gen-X yang perusahaannya terdisrupsi melihatnya dengan ketakutan karena perusahaannya bakal tergerus.
Kepemimpinan yang sarat diwarnai ketakutan akan menghasilkan kecemasan, kebimbangan, kebingungan, kekacauan, ketegangan, keputusasaan, dan akhirnya kesalahurusan dan keblunderan. Saya menyebutnya: “lead by fear”.
Kini sebagian besar perusahaan inkumben (perusahaan besar yang sudah beroperasi belasan-puluhan tahun) yang umumnya dinakhodai oleh pemimpin Boomers/Gen-X dikelola dengan perspektif lead by fear. Karena pemimpinnya dipenuhi ketakutan, kecemasan, dan kebimbangan, maka organisasi hanya bisa diam menunggu digerus disrupsi.
Banyak juga perusahaan inkumben lain yang kelola dengan perspektif “lead by ignorance” di mana pemimpin Boomers/Gen-X gagal paham terhadap disrupsi yang terjadi. Karena menurut si pemimpin everything is ok, maka organisasi pun ademayem berjalan seperti biasa tanpa sadar disrupsi akan menelan mereka.
Semoga penunjukkan Nadiem, Risa, dan tujuh stafsus Jokowi menjadi momentum baik penyerahaan “tampuk kekuasaan” dari pemimpin Boomers/Gen-X ke pemimpin milenial.
Karena disrupsi dan perubahan ekstrim memang menuntut pemimpin Boomers/Gen-X lengser. Dan pemimpin milenial pegang kendali.
Yuswohady
Managing Partner
(nfl)