Milenial Membunuh Perpustakaan

Sabtu, 14 Desember 2019 - 08:26 WIB
Milenial Membunuh Perpustakaan
Milenial Membunuh Perpustakaan
A A A
SAYA adalah book enthusiast. Ya, sebagai penulis saya harus membaca begitu banyak buku. Tiap minggu saya menulis kolom di koran, dan hampir setiap saat saya menulis untuk buku baru saya yang terbit sekitar 3-4 buku setahunnya.

Karena itu praktis hampir tiap minggu saya beli buku baru. Dan menjadi kebiasaan saya tiap akhir tahun saya menulis “Best Business Book of the Year” di blog saya yuswohady.com yang merupakan review buku-buku bisnis terbaik selama setahun.

Namun saya sudah lupa kapan terakhir mengunjungi perpustakaan. Walaupun sudah tidak ingat, tapi saya yakin sudah lebih dari lima tahun saya tak mengunjungi perpustakaan. Dulu saya punya kartu anggota di Perpustakaan PPM Manajemen yang kini sudah tak berlaku lagi karena tak sempat memperbarui.

Saya bukanlah kasus khusus dalam urusan tidak lagi mengunjungi perpustakaan.

Perpustakaan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin sepi pengunjung. Apalagi di kalangan milenial yang begitu internet-savvy dan informasi demikian mudah didapatkan hanya dengan meng-googling.

Saat informasi apapun kini berbentuk digital dan demikian mudah diakses melalui smartphone yang kita bawa anytime-anywhere, maka perpustakaan tidak lagi menjadi pilihan utama kalangan milenial dalam mencari buku dan informasi.

Apakah dengan demikian perpustakaan akan menjadi “korban pembunuhan” milenial berikutnya?

Survei di Amerika Serikat (AS) oleh Pew Research tahun 2016 menunjukkan bahwa milenial generasi yang paling banyak mengunjungi perpustakaan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Sekitar 53% milenial menggunakan perpustakaan umum dan bookmobile selama 12 bulan sebelumnya. Angka ini lebih tinggi dari Gen-X (45%), Baby Boomers (43%), dan generasi Silent (36%).

Tak hanya perpustakaan fisik, sekitar 41% milenial membuka website perpustakaan selama 12 bulan sebelumnya. Angka ini sekali lagi lebih tinggi dari Gen-X (33%) dan Baby Boomers (24%), dan generasi Silent (11%).

Tingginya minat milenial mengunjungi perpusakaan tak lepas dari perubahan dan langkah antisipasi yang dilakukan oleh perpustakaan di Amerika Serikat selama 20 tahun terakhir dalam merespons digitalisasi informasi. Perpustakaan-perpustakaan tersebut begitu intensif memperlengkapi diri dengan perangkat komputer dan koneksi internet.

Mereka juga memberikan layanan ekstra seperti: mengadakan program literasi untuk anak-anak, memberikan ruang publik untuk kumpul komunitas, hingga menyediakan perangkat teknologi seperti 3D printing. Semua upaya itu terbukti mampu memikat kaum milenial untuk berbondong-bondong mengunjungi ke perpustakaan.

Itu sebabnya judul tulisan di salah satu media bergengsi diberi judul: “Millennials may be killing marriage and manners, but they’re saving public libraries.”

Itu di AS, lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Perilaku milenial dalam mencari informasi dan buku tak beda banyak dengan di AS. Mereka adalah convenience-seeker yang mencari informasi di Google search melalui perangkat smartphone dan laptop mereka. Karena sejak kecil sudah terbiasa menggunakan internet, tradisi menjadi anggota perpustakaan dan secara rutin meminjam buku di perpustakaan umum tidak ada di dalam kamus hidup mereka.

Namun berbeda dengan di AS, perpusatakaan-perpustakaan di Indonesia tidak berbenah mengikuti zaman. Kondisi perpustakaan hari ini tak banyak berbeda dengan 30 tahun lalu.

Ketika perpustakaan tidak menawarkan manfaat lain selain pencarian buku dan informasi (seperti: community hub, tempat nongkrong dan ngopi, atau akses perangkat teknologi) maka tak terhindarkan lagi milenial mencari sumber informasi lain yang lebih praktis dan convenient yaitu internet.

Sesungguhnya tanpa kemajuan internet pun perpustakaan-perpustakaan di Tanah Air sudah makin sepi pengunjung karena minat baca generasi muda yang kian merosot. Pergeseran perilaku milenial dalam mencari informasi di atas tak dipungkiri lagi menjadi akselerator makin sepinya perpustakaan-perpustakaan di Tanah Air.

Agar tetap relevan, perpustakaan harus melakukan transformasi digital. Tanpa itu ia akan punah karena ditinggalkan milenial.

Yuswohady
Managing Partner Inventure
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3569 seconds (0.1#10.140)