Harga BBM RI Harus Turun Saat Minyak Dunia Anjlok, B30 Dinilai Tak Relevan

Rabu, 18 Maret 2020 - 15:20 WIB
Harga BBM RI Harus Turun Saat Minyak Dunia Anjlok, B30 Dinilai Tak Relevan
Harga BBM RI Harus Turun Saat Minyak Dunia Anjlok, B30 Dinilai Tak Relevan
A A A
JAKARTA - Pemerintah diminta segera menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), baik subsidi maupun nonsubsidi menyusul penurunan harga minyak dunia untuk membantu sektor riil menghadapi dampak virus corona (Covid-19). Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur (Jatim) Bambang Haryo Soekartono menegaskan, harga energi khususnya bahan bakar minyak harus segera disesuaikan dan ditetapkan secara transparan.

"Selama ini biaya logistik Indonesia tinggi, salah satu penyebab adalah tidak ada transparansi harga BBM. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan harga barang menjadi lebih mahal," katanya.

Menurutnya sektor riil saat ini semestinya menikmati harga energi yang lebih murah seiring dengan merosotnya harga minyak dunia hingga diatas 50% menjadi dibawah USD30 per barel.

"Seharusnya harga BBM turun, baik yang subsidi maupun nonsubsidi. Dalam ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini akibat Covid-19, harga energi yang murah bisa menjadi stimulus bagi sektor riil supaya ekonomi bergerak," kata anggota DPR RI periode 2014-2019 ini.

Dia juga mendesak pemerintah tidak memaksakan lagi penggunaan biosolar B30 dengan dalih untuk menurunkan biaya impor yang signifikan, apalagi ketika harga BBM lebih murah. Selain tidak signifikan memangkas impor migas, B30 justru dapat menghambat logistik dan membahayakan keselamatan transportasi.

Mengutip data BPS, papar Bambang Haryo, adapun impor migas senilai USD29,81 miliar dibandingkan dengan total impor nonmigas yang tercatat USD158 miliar itu kurang dari 20%, yakni sekitar 18%. Sehingga porsi impor solar terhadap impor total migas dan nonmigas hanya 1,6%.

Padahal jumlah substitusi impor bahan bakar solar dibanding kelapa sawit hanya 30% dari 1,6% atau sekitar 0,5% dari total biaya impor migas dan nonmigas. Berarti dampak biodiesel untuk penghematan biaya devisa impor sangat kecil.

"Sektor transportasi sendiri hanya menggunakan sekitar 50% dari impor solar itu. Berarti nilainya lebih kecil lagi sehingga tidak signifikan mengurangi impor migas untuk menghemat devisa," jelas Bambang Haryo.

Dia mengingatkan Presiden Joko Widodo agar mengecek kembali informasi yang disampaikan para pembantunya bahwa B30 bisa mengurangi impor secara signifikan dan menghemat devisa hingga Rp63 triliun.

"Presiden harus tahu dampak buruk B30 terhadap sektor transportasi dan industri, jangan mau menerima begitu saja informasi Asal Bapak Senang bahwa B30 mengurangi impor migas dan menghemat devisa," ujarnya.

Kerugian Lainnya


Hingga saat ini negara-negara lain yang menerapkan biosolar masih di bawah B10, seperti Argentina dan China maksimal B7, bahkan Malaysia, Australia dan Kanada hanya menerapkan B5. Mereka mampu memproduksi B30, tetapi tidak gegabah karena B30 sangat rentan menyebabkan kerusakan mesin alat transportasi.

"Muncul viskositas lebih dan slag yang tinggi, nozel dan filter injector mesin menjadi cepat rusak, sehingga mesin dapat gagal berfungsi. Kapal mogok di tengah laut akibat mesin mati bisa mengakibatkan perubahan stabilitas negatif dan berujung terjadinya tenggelam. Kejadian ini pernah dialami KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006," ungkap Bambang Haryo yang pernah menjadi senior investigator KNKT.

Oleh karena itu, Ketua Dewan Pembina Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) ini menolak mandatory B30 untuk sektor transportasi. Apabila tetap dipaksakan, akan terjadi kerusakan alat transportasi secara massal sehingga angkutan publik dan logistik lumpuh serta marak kecelakaan. Ekonomi nasional pun semakin terpuruk.

"Pemerintah jangan mengobankan sektor transportasi dan ekonomi nasional, bahkan nyawa publik, untuk mengakomodasi kepentingan konglomerat kelapa sawit dengan tidak realistis meningkatkan kandungan biodiesel pada solar menjadi di atas 30% bahkan 100%. Itu tidak masuk akal dan berbahaya," tegasnya.

Bambang Haryo juga mempertanyakan subsidi biodiesel Rp10,3 triliun kepada 19 perusahaan sawit pada 2017. Berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, lima perusahaan sawit terbesar menerima 76,87% dari dana itu atau Rp7,92 triliun dan sisanya untuk 14 perusahaan lainnya.

"Seharusnya subsidi itu diberikan kepada perusahaan transportasi yang dirugikan akibat B30 karena banyak dan seringnya mesin yang di overhaul, tentu membutuhkan SDM yang berjumlah besar padahal jumlahnya terbatas apalagi adanya wabah virus corona. Jadi bukan pengusaha kelapa sawit yang mendapatkan subsidi," tegasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8354 seconds (0.1#10.140)