Keberadaan PLTU Tak Pengaruhi Kesehatan Warga di Sekitar Area PLTU

Senin, 23 Maret 2020 - 17:15 WIB
Keberadaan PLTU Tak...
Keberadaan PLTU Tak Pengaruhi Kesehatan Warga di Sekitar Area PLTU
A A A
JAKARTA - Menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) studi pengaruh keberadaan PLTU terhadap kesehatan warga di sekitar Area Kerja PLTU, dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara keberadaan PLTU dengan kesehatan masyarakat. Bahkan di sejumlah tempat ditemukan bahwa adanya PLTU dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya.

Kesimpulan tersebut didapatkan dari studi yang dilakukan oleh Litbang SINDO untuk mengetahui bagaimana situasi kesehatan di wilayah kerja PLTU sekaligus mengetahui dampak ekonomi yang muncul terhadap masyarakat dengan adanya pembangunan PLTU. Studi ini dilakukan di sekitar area PLTU yaitu Tambak Lorok (Semarang), Cirebon serta Labuan (Pandeglang).

Khusus untuk Tambak Lorok saat ini statusnya sudah berubah menjadi PLTGU. Perubahan ini membuat operasional pembangkit listrik di wilayah tersebut lebih cepat dibandingkan dengan PLTU. Operasional PLTU bisa membutuhkan waktu 8 sampai 12 jam, sedangkan PLTGU bisa beroperasi hanya dalam hitungan menit.

Pemenuhan pasokan listrik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Terlebih di era saat ini dimana kebutuhan terhadap energi listrik semakin bertambah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan menjadi hal yang krusial. Pembangunan PLTU ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai misi tersebut.

Ketersediaan batubara yang melimpah membuat PLTU menjadi salah satu andalan untuk melistriki Indonesia. Tak hanya kemampuannya dalam mengakomodir kebutuhan energi listrik, namun juga keandalannya dapat mendongkrak perekonomian warga sekitar. Meski demikian, tak dapat dielakkan juga bahwa ada kekhawatiran sebagian orang akan dampak negatif keberadaan PLTU terhadap masyarakat di sekitar area kerja PLTU, khususnya terkait kondisi kesehatan masyarakat saat ini maupun di masa datang.

Dari hasil FGD di tiga wilayah tersebut dapat disimpulkan hasil bahwa penyebab gangguan kesehatan warga sekitar ditentukan oleh banyak faktor dan jika ditarik kesimpulan secara umum maka faktor gaya hidup-lah yang menjadi faktor paling signifikan dalam mempengaruhi kualitas kesehatan di wilayah tersebut. Keluhan kesehatan yang banyak dialami oleh warga di area sekitar PLTU diakui merupakan hasil dari kurangnya kesadaran dalam menerapkan pola hidup sehat.

Mengonsumsi makanan secara sembarang tanpa memperhatikan kadar gizi adalah beberapa persoalan gaya hidup yang sering ditemui dalam keseharian warga. Kesadaran warga untuk berolahraga juga menjadi faktor pemicu yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit, seperti jantung serta hipertensi. Begitupun gaya hidup seperti merokok, kurang tidur hingga stres menjadi faktor pemicu munculnya gangguan kesehatan. Terlebih dalam situasi saat ini, dimana beban hidup makin bertambah, maka resiko stres pun semakin meningkat.

Para kader juga mengakui bahwa warganya belum sepenuhnya memiliki kesadaran penuh untuk memeriksakan diri secara rutin. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya penyakit-penyakit tertentu yang sebenarnya bisa dicegah jika dilakukan cek kesehatan secara rutin. Faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan anak-anak dan ibu hamil juga diakui lebih banyak disebabkan karena gaya hidup sang Ibu yang tidak memperhatikan kualitas kesehatan janin selama masa kehamilan seperti kurang asupan makanan serta pengecekan rutin.

Selain gaya hidup, persoalan lingkungan turut berkontribusi pada terjadinya gangguan kesehatan. Kader kesehatan di dua kota, mengaku bahwa pengelolaan sampah di sekitar perumahan masih menjadi masalah krusial yang menimbulkan gangguan kesehatan. Sistem drainase yang terbuka dan sempit menjadi masalah baik di musim hujan maupun musim kering.

Di beberapa wilayah lain, masih banyaknya rumah yang tidak dilengkapi dengan septi tank juga menimbulkan persoalan tersendiri bagi kesehatan warga. Belum optimalnya pengelolaan sampah juga menjadi problematika tersendiri yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, khususnya pada kelompok masyarakat rentan seperti ibu hamil, bayi dan balita diantaranya adalah gangguan pertumbuhan pada anak (stunting).

Situasi sosial ekonomi penduduk di lokasi juga berkontribusi terhadap pola penyakit yang terjadi di wilayah tersebut. Sebagai contoh, di Kota Semarang, dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih urban, keluhan gangguan kesehatan tidak hanya didominasi oleh penyakit seperti TB Paru dan ISPA, namun juga penyakit tidak menular seperti diabetes serta jantung yang mayoritas diderita oleh warga dengan status sosial ekonomi menengah

Temuan dari hasil FGD ini sejalan dengan pendekatan klasik oleh H.L Blum yang menjelaskan bahwa status kesehatan seseorang diperngaruhi oleh 4 (empat) elemen utama. Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku /gaya hidup, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan serta faktor genetik. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan individu sekaligus derajat kesehatan masyarakat di suatu tempat.

Terkait dengan pengaruh PLTU sendiri terhadap kualitas kesehatan, para kader kesehatan dari tiga kota memberi pendapat yang berbeda-beda. Para kader kesehatan di Semarang mengaku bahwa pengelolaan PLTGU saat ini sudah lebih baik. Terkait dengan dampak langsung terhadap penyakit, para kader wilayah Semarang mengakui, gangguan kesehatan yang muncul di wilayahnya tidak berkaitan langsung dengan kehadiran PLTU.

Di PLTU di Labuan Pandeglang, sama halnya dengan Semarang, para kader kesehatan di wilayah Cirebon dan Labuan Pandeglang juga sama –sama menunjukkan bahwa selama ini keluhan kesehatan yang dialami warga yang tinggal di wilayah kerja PLTU tidak memperlihatkan adanya keterkaitan langsung antara PLTU dengan munculnya gangguan penyakit tersebut.
(akn)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6664 seconds (0.1#10.140)