Seharusnya yang dipajaki restoran besar saja
A
A
A
Sindonews.com – Rencana Pemerintah Kota Depok memberlakukan pajak 10 persen bagi pemilik usaha kuliner yang beromzet Rp10 juta per bulan, membuat para pemilik warung di Depok gelisah. Salah satunya diakui pemilik Warung Sunda Anggrek 3, Depok Jaya, Ratna Suminar.
Ia menilai rencana pemberlakuan pajak bagi restoran atau usaha kuliner tersebut memberatkan. Pasalnya, kebutuhan untuk sehari-hari naik secara drastis. Menurutnya, beras dan barang pokok lainnya tetap naik dan penghasilan tidak menentu.
“Jelas ini sangat memberatkan. Kalau yang dikenakan pajak hanya warung nasi saja, berarti tidak adil. Coba saja lihat pedagang di pasar, seperti pedagang ikan, ayam dan lainnya tiap bulan omzetnya bisa sampai puluhan juta,” tuturnya kepada wartawan, Jumat (6/1/12).
Ratna pun harus menggaji empat karyawan dan biaya lainnya. Belum lagi posisi warungnya yang tidak jauh dari pasar tradisional Depok Jaya, yang mewajibkannya membayar uang pungutan harian dan bulanan.
“Tapi, tetap saja pemberlakuan pajak itu sangat memberatkan di tengah banyaknya tuntutan kebutuhan. Apalagi, pemasukan juga tidak selalu ramai,” terangnya.
Tarifah pemillik Warung Tegal (Warteg) di Jalan Raya Sawangan juga tak setuju. Pasalnya, ia harus memutar uang untuk menjalankan usahanya di tengah banyaknya tuntutan kebutuhan. Dirinya mengaku masih mengontrak sebesar Rp12 juta per tahunnya.
Untuk menyiasatinya, ia terpaksa meminjam di bank dan menyicilnya setiap bulan. “Mau tidak mau yang penting bisa berputar. Kalau diberlakukan dari mana lagi kita harus membayarnya,” ujar Tarifah.
Pemilik Mie Ayam Langgeng Depok, Rukino menilai pemberlakuan pajak tersebut seharunya diberlakukan bagi restoran besar. Dirinya mengaku, dalam setiap hari omzet penjualannya bisa mencapai Rp700 ribu sampai Rp1,2 juta. Meski omzet yang dimilikinya di atas Rp10 juta per bulan, bukan berarti dengan mudah bisa membayar pajak.
“Soalnya biaya pengeluaran untuk usaha saya cukup banyak, penghasilan tidak menentu dan masih menyewa. Seharusnya yang diberlakukan pajak adalah restoran-restoran besar itu. Kalau kita harus membayar pajak, jelas cukup memberatkan. Kalau bisa janganlah, kita sudah susah jangan dibebani lagi,” tegas Rukino.
Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) kota Depok, Doddy Setiadi hanya meminta pemilik usaha makanan mengurus perizinan terlebih dahulu. Menurutnya, pihaknya tetap akan mengklasifikasi usaha kuliner dan mengategorikan wajib pajak.
Namun, bagi yang belum mencapai omzet Rp10 juta tetap harus izin dan dipantau. “Kita mendorong untuk mengurus izin terlebih dahulu. Nanti akan ada klasifikasi dan kategori wajib pajak,” tandas Doddy.
Ia menilai rencana pemberlakuan pajak bagi restoran atau usaha kuliner tersebut memberatkan. Pasalnya, kebutuhan untuk sehari-hari naik secara drastis. Menurutnya, beras dan barang pokok lainnya tetap naik dan penghasilan tidak menentu.
“Jelas ini sangat memberatkan. Kalau yang dikenakan pajak hanya warung nasi saja, berarti tidak adil. Coba saja lihat pedagang di pasar, seperti pedagang ikan, ayam dan lainnya tiap bulan omzetnya bisa sampai puluhan juta,” tuturnya kepada wartawan, Jumat (6/1/12).
Ratna pun harus menggaji empat karyawan dan biaya lainnya. Belum lagi posisi warungnya yang tidak jauh dari pasar tradisional Depok Jaya, yang mewajibkannya membayar uang pungutan harian dan bulanan.
“Tapi, tetap saja pemberlakuan pajak itu sangat memberatkan di tengah banyaknya tuntutan kebutuhan. Apalagi, pemasukan juga tidak selalu ramai,” terangnya.
Tarifah pemillik Warung Tegal (Warteg) di Jalan Raya Sawangan juga tak setuju. Pasalnya, ia harus memutar uang untuk menjalankan usahanya di tengah banyaknya tuntutan kebutuhan. Dirinya mengaku masih mengontrak sebesar Rp12 juta per tahunnya.
Untuk menyiasatinya, ia terpaksa meminjam di bank dan menyicilnya setiap bulan. “Mau tidak mau yang penting bisa berputar. Kalau diberlakukan dari mana lagi kita harus membayarnya,” ujar Tarifah.
Pemilik Mie Ayam Langgeng Depok, Rukino menilai pemberlakuan pajak tersebut seharunya diberlakukan bagi restoran besar. Dirinya mengaku, dalam setiap hari omzet penjualannya bisa mencapai Rp700 ribu sampai Rp1,2 juta. Meski omzet yang dimilikinya di atas Rp10 juta per bulan, bukan berarti dengan mudah bisa membayar pajak.
“Soalnya biaya pengeluaran untuk usaha saya cukup banyak, penghasilan tidak menentu dan masih menyewa. Seharusnya yang diberlakukan pajak adalah restoran-restoran besar itu. Kalau kita harus membayar pajak, jelas cukup memberatkan. Kalau bisa janganlah, kita sudah susah jangan dibebani lagi,” tegas Rukino.
Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) kota Depok, Doddy Setiadi hanya meminta pemilik usaha makanan mengurus perizinan terlebih dahulu. Menurutnya, pihaknya tetap akan mengklasifikasi usaha kuliner dan mengategorikan wajib pajak.
Namun, bagi yang belum mencapai omzet Rp10 juta tetap harus izin dan dipantau. “Kita mendorong untuk mengurus izin terlebih dahulu. Nanti akan ada klasifikasi dan kategori wajib pajak,” tandas Doddy.
()