Menghitung risiko pembatasan BBM bagi bank nasional

Kamis, 19 Januari 2012 - 09:09 WIB
Menghitung risiko pembatasan BBM bagi bank nasional
Menghitung risiko pembatasan BBM bagi bank nasional
A A A
Sindonews.com - Pemerintah serius akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan melakukan pembatasan bagi mobil pribadi per 1 April 2012. Hal itu untuk memenuhi titah Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2012.

Namun sejatinya pembatasan BBM itu bisa membawa potensi risiko bagi bank nasional. Bagaimana kisahnya? AgusMartowardojo, menteri keuangan, mengatakan bahwa realisasi subsidi BBM hingga Desember 2011 mencapai Rp165,2 triliun yakni 127,4 persen dibandingkan dengan anggaran subsidi BBM di APBN Perubahan 2011 sebesar Rp129,7 triliun.

Dalam UU APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp123,6 triliun. Pemerintah akan melaksanakan pembatasan konsumsi dengan dua langkah.

Pertama, mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi ke nonsubsidi. Mobil pelat hitam tidak boleh lagi menggunakan premium dan solar dan harus beralih ke bensin nonsubsidi. Kedua,melakukan konversi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas jenis compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas for vehicle (LGV) atau Vi-Gas. Ini berlaku juga untuk angkutan umum.

Indonesia tidak sendirian dalam upaya untuk menghapus subsidi BBM. Tengok saja Nigeria. Pada 3 Januari 2012, Nigeria dilanda aksi demonstrasi yang melibatkan lebih daripada 10 ribu orang untuk memprotes penghapusan subsidi BBM sejak awal 2012.

Penghapusan subsidi BBM itu mengakibatkan harga BBM terbang tinggi lebih daripada dua kali harga semula 65 naira (sekitar Rp4.050 per liter) menjadi 150 naira (sekitar Rp8.460).

Penghapusan itu diperkirakan akan menghemat pengeluaran 1 triliun naira (sekitar Rp54,9 triliun). Nigeria seperti Indonesia adalah negara eksportir minyak dan produsen minyak nomor 15 dunia setelah Arab Saudi, Rusia, Amerika Serikat, Iran, China, Kanada,Meksiko, Uni Emirat Arab, Kuwait, Venezuela, Norwegia, Brasil, Irak, dan Aljazair. Indonesia memang bukan Nigeria yang terletakdi Afrika Baratitu.

Namun, pemerintah harus belajar dari kerusuhan Nigeria. Dengan bahasa lebih lugas, penghapusan subsidi BBM itu bisa membawa bukan hanya madu berupa penghematan, melainkan juga menyimpan racun alias potensi risiko. Lantas, apa potensi risiko bagi bank nasional? Kini harga premium mencapai Rp4.500 per liter.

Manakala penghapusan subsidi BBM berlaku, pemilik mobil pribadi yang selama ini menggunakan premium akan mengeluarkan sekitar Rp8.900 per liter untuk mengonsumsi pertamax. Itu berarti ada pengeluaran dana tambahan Rp4.400 per liter.Pengeluaran untuk BBM per hari itu mencapai hampir dua kali lipat. Maka itu,penghapusan subsidi BBM itu dapat mendorong inflasi terkerek naik.

Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, kalau kebijakan itu tidak ada,inflasi hanya 4,5 persen. Kalau ada,tambahan paling rendah 0,72 persen dan paling tinggi 0,94 persen.

Maka inflasi masih ada pada angka 5,22 persen sampai 5,44 persen. Namun jangan lupa, pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada 2012. Akibat kenaikan TDL ini luput dari hitungan tersebut.

Dengan bahasa terang benderang, inflasi berpotensi lebih tinggi daripada 5,44 persen. Laju inflasi itu bahkan dapat mengakibatkan BI Rate kembali mendaki melewati posisi saat ini enam persen per 11 November 2011. Waktu itu BI berani menurunkan BI Rate dari 6,5 persen menjadi enam persen ketika inflasi mencapai 4,42 persen per Oktober 2011. Laju inflasi itu masih di bawah target inflasi lima persen plus minus satu persen.

Dengan menipisnya BI Rate menjadi enam persen, BI amat berharap bunga kredit akan ikut turun. Terutama mengingat BI sudah meluncurkan suku bunga dasar kredit (SBDK) (prime lending rate) yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah.

Selain itu, SBDK itu juga bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik.

Coba lirik hasil SBDK setelah berjalan delapan bulan sejak Maret 2011. Menurut BI, suku bunga rata-rata kredit korporasi menurun dari 10,51 persen per Maret 2011 menjadi 10,36 persen per November 2011 (turun 15 basis poin/bp).

Suku bunga rata-rata untuk KPR dari 11,16 persen menjadi 10,82 persen (34 bp) dan untuk kredit ritel dari 11,8 persen menjadi 11,78 persen (2 bp). SBDK memang menipis, namun sungguh tidak signifikan. Tidak ada satu jenis kredit pun yang menipis hingga 100 bp (satu persen) bahkan suku bunga rata- rata untuk kredit konsumer non-KPR justru menebal dari 11,56 persen menjadi 11,68 persen (12 bp) pada periode yang sama. Ehm, SBDK masih tumpul untuk mampu menurunkan bunga kredit.

Nah, tatkala inflasi kembali mendaki sebagai akibat penghapusan subsidi BBM dan kenaikan TDL, amat dicemaskan BI Rate bakal kembali gendut. Kondisi ini bisa membuat upaya BI untuk menipiskan bunga kredit menjadi tidak berotot. Bagaimana alternatif solusinya? Opsi penghapusan subsidi BBM diganti dengan kenaikan harga premium secara bertahap.

Kenaikan bertahap akan mampu meredam laju inflasi sehingga ujungnya tidak memengaruhi bunga kredit. Dengan demikian, manfaat ganda bakal dinikmati. Pemerintah sebagai regulator fiskal mampu menghemat anggaran subsidi BBM.BI sebagai regulator juga mampu menekan bunga kredit hingga kian terjangkau sektor riil.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4629 seconds (0.1#10.140)