Turn-around Garuda di 2011

Senin, 23 Januari 2012 - 09:34 WIB
Turn-around Garuda di...
Turn-around Garuda di 2011
A A A
Sindonews.com - Awal Desember tahun lalu, saya melakukan perjalanan ke Palangka Raya memenuhi undangan Bank Indonesia.Pada perjalanan menuju Palangkaraya, penerbangan Garuda dari Jakarta menggunakan pesawat Boeing 737 “klasik”, yaitu 737- 400.

Pesawat ini, dalam konfigurasi Garuda, memiliki 136 tempat duduk. Saya menyaksikan semua tempat duduk untuk kelas ekonomi maupun kelas bisnis seluruhnya terisi. Load faktor 100 persen semacam itu bukan suatu hal yang jarang dialami perusahaan penerbangan pelat merah tersebut.

Dalam perjalanan kembali, saya menyaksikan peristiwa kecil yang menarik, yaitu peresmian penerbangan perdana Garuda dengan menggunakan pesawat yang lebih besar, yaitu Boeing 737-800, yang dalam konfigurasi Garuda memiliki 162 tempat duduk. Sekali lagi, semua tempat duduk di pesawat juga penuh.

Perkembangan semacam ini menunjukkan terjadinya “kenaikan kelas” rute Jakarta–Palangkaraya bagi perusahaan penerbangan tersebut. Penambahan kapasitas penerbangan memang bisa dilakukan dengan menambah jumlah kapasitas pesawat. Jika itu sudah tidak memadai, jumlah penerbanganlah yang kemudian akan ditambah.

Dalam hal ini saya sering mempergunakan contoh rute Jakarta– Pontianak yang mengalami perkembangan sangat progresif, yaitu dimulai dengan satu penerbangan pada 2007, lantas meningkat menjadi tiga penerbangan pada tahun yang sama sebelum kemudian meningkat menjadi empat penerbangan pada tahun berikutnya.

Tahun 2011 lalu Garuda secara resmi meningkatkan jumlah penerbangannya menjadi lima penerbangan, melampaui perusahaan penerbangan swasta lainnya yang semula mendominasi rute tersebut.

Perkembangan ini menggambarkan kekuatan daya beli masyarakat Indonesia yang sudah mampu untuk menggunakan jasa penerbangan, bukan hanya pada penerbangan yang berbiaya murah,tetapi bahkan pada tingkat di atasnya.

Jika masyarakat melakukan “migrasi” dari penerbangan yang berbiaya murah pada penerbangan Garuda, bahkan pada kelas ekonomi sekalipun, para penumpang tersebut sudah mengalami kenaikan kelas atau graduation. Kenaikan kelas menjadi lebih tinggi lagi akan terjadi jika anggota masyarakat tersebut mempergunakan kelas bisnis dalam penerbangan mereka.

Dan seperti yang semakin sering saya saksikan dalam banyak penerbangan Garuda, tempat duduk kelas bisnis semakin lama semakin penuh. Beberapa bulan lalu saya menyaksikan direktur utama sebuah bank besar yang terpaksa menggunakan kelas ekonomi dari Denpasar ke Jakarta karena kelas bisnis di penerbangan tersebut sudah tidak bisa menampung tambahan penumpang lagi.

Dengan gambaran semacam ini, tidaklah mengherankan jika perusahaan penerbangan Garuda Indonesia mengalami pasang naik pada 2011.

Jika pada paruh (semester) pertama tahun 2011 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian hampir sebesar Rp200 miliar, pada triwulan ketiga tahun tersebut terjadi pembalikan (turn around) keuangan perusahaan tersebut, yaitu dari kerugian yang cukup besar menjadi keuntungan.

Bahkan pada triwulan ketiga 2011, laba Garuda mencapai sekitar Rp500 miliar sehingga sepanjang tahun sampai September 2011 Garuda membukukan keuntungan bersih Rp308,61 miliar.

Bulan Oktober 2011, Garuda mencatatkan lagi keuntungan yang cukup besar,sebagian karena sumbangan dari penerbangan haji, sehingga laba sampai bulan Oktober tersebut mencapai Rp600 miliar. Pada November, Dirut Garuda juga melaporkan kenaikan labanya menjadi Rp725 miliar.

Dengan perkembangan semacam itu,saya merasa adanya “kehausan” untuk menunggu informasi mengenai kinerja mereka pada Desember. Ternyata, sebagaimana yang saya duga, Garuda melaporkan kinerja yang sangat membanggakan sepanjang 2011.

Meskipun kemungkinan data tersebut bersumber dari laporan keuangan yang belum diaudit,kredibilitas dari Dirut Garuda tentu meyakinkan kita akan kebenaran data-data tersebut.

Laba secara keseluruhan dari perusahaan penerbangan tersebut sepanjang tahun 2011 mencapai Rp900 miliar (Kompas, 13 Desember 2011) atau kurang lebih sebesar USD100 juta. Laba sebesar itu untuk ukuran saat ini bukanlah jumlah kecil. Malaysian Airlines bahkan harus menutup beberapa rutenya untuk mengurangi kerugian yang mereka derita beberapa waktu terakhir ini.

Sebagian besar perusahaan penerbangan di India juga mengalami kerugian besar. Bahkan Kingfisher Airlines, yang merupakan perusahaan penerbangan bintang lima versi Skytrax, dewasa ini harus menutup banyak rutenya untuk mengurangi kerugian.

Perusahaan tersebut bahkan harus membayar secara tunai setiap pembelian avtur yang mereka lakukan.Jet Airways, perusahaan penerbangan dengan jumlah penumpang terbanyak di India,bahkan terpaksa menunda pembayaran gaji karyawannya pada Januari 2012 ini karena adanya kesulitan keuangan.

Bahkan Singapore Airlines sekalipun mengalami penurunan keuntungan secara drastis pada 2011. Bagaimana turn-around Garuda tersebut dapat terjadi? Yang jelas kerugian Garuda pada semester pertama tahun 2011 yang lalu untuk sebagian besar disebabkan harga avtur yang sangat mahal.

Ternyata proses pembalikan yang dilakukan Garuda memanfaatkan kebangkitan kelas menengah yang dewasa ini menjadi perbincangan di mana-mana. Kelas menengah Indonesia semakin banyak yang mengalami “kenaikan kelas”sehingga mereka mengalami peningkatan daya beli untuk menggunakan penerbangan full service sebagaimana yang dilakukan Garuda.

Itulah sebabnya, jumlah penumpang domestik dari Garuda mengalami kenaikan sebesar 36 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan penerbangan lain.Dengan perkembangan tersebut, pangsa pasar penumpang domestik dari Garuda mengalami kenaikan sekitar lima persen sehingga menjadi 28 persen.

Peningkatan jumlah penumpang tersebut terjadi bersamaan dengan kenaikan kapasitas yang dimiliki yang diukur dari availability seat kilometer (ASK) yang mengalami peningkatan sebesar 26 persen sehingga menjadi 32,5 miliar seat kilometer.

Kenaikan kapasitas tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan jumlah penumpang yang sebesar 36 persen. Ini berarti terjadi kenaikan tingkat keterisian pesawat (load factor).Ternyata Garuda melaporkan load factor 74,7 persen, naik dari 71 persen tahun sebelumnya.

Hal-hal inilah yang akhirnya mampu meningkatkan pendapatan Garuda menjadi Rp27,1 triliun,naik 39 persen dibandingkan pendapatan tahun sebelumnya yang sebesar Rp19,5 triliun. Peningkatan tersebut melampaui kenaikan biayanya sehingga akhirnya menghasilkan keuntungan yang tidak kecil tersebut.

Dengan melihat perkembangan itu, kita menyaksikan prospek yang dimiliki perusahaan penerbangan Garuda sungguh cerah dewasa ini. Dengan pengembangan unit usahanya, yaitu Citilink, yang mengisi pasar low cost airlines, Garuda akan mampu mengcover seluruh pasar penerbangan di Indonesia. Bravo, Garuda. Saya yakin kepak sayapmu akan membawamu semakin terbang tinggi.

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7656 seconds (0.1#10.140)