Industri telekomunikasi jenuh

Rabu, 25 Januari 2012 - 09:28 WIB
Industri telekomunikasi jenuh
Industri telekomunikasi jenuh
A A A


Sindonews.com - Satu dekade lalu dan dalam pandangan banyak pengamat industri telekomunikasi, Indonesia tak ubahnya gadis yang sangat seksi, densitas masih rendah dengan jumlah penduduk yang besar di tengah tren pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus.

Kemudian berlomba-lombalah para pemain baru berebut kue bisnis telekomunikasi yang masih menggiurkan. Tidak kurang dari 11 operator lalu mengadu untung mencicipi lezatnya kue industri telekomunikasi yang masih berlimpah. Meski pengguna seluler di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 250 juta –lebih dari 100% populasi penduduk negeri ini– sehingga melampaui jumlah penduduk yang saat ini ada di kisaran 240 juta namun tidak berarti para operator bisa bernapas lega.

Pada kenyataannya banyak operator yang mengalami peningkatan dari sisi pelanggan (subscribers) tetapi dari sisi tingkat pendapatan rata-rata per pengguna (average revenue per user/ARPU) turun. Itu juga dialami oleh operator-operator besar sekelas Telkomsel, Indosat, dan juga XL.

Seperti pernah disampaikan beberapa praktisi seluler, misalnya para petinggi yang tergabung dalam Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) di dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini, Indonesia sudah bisa dibilang sukses sekali dalam penetrasi jumlah pelanggan seluler.

Sekarang Indonesia sudah mengalami saturasi (kejenuhan) untuk layanan telekomunikasi, terutama voice dan SMS sehingga industri perlu mewaspadai fenomena tersebut. Antisipasi yang kemudian muncul, sekarang semua operator berbondong- bondong berpindah portofolio bisnis ke data, gambar/video yang pertumbuhan bisnisnya masih relatif tinggi sehingga promosi yang muncul memasuki “perang” data dan mulai meninggalkan “perang” voice dan SMS.

Tren menurun
Di segmen telepon tetap kabel (fixed wireline) yang berbasis PSTN (public switch telephone network), kondisinya tidak lebih baik. Para operator telekomunikasi di seluruh dunia mengalami persoalan yang cukup pelik dalam pemanfaatan infrastruktur telepon kabel di tengah anjloknya pemakaian telepon kabel. Telkom sebagai operator yang menguasai market share lebih dari 90 persen sudah merasakan trend penurunan pendapatan dari telepon kabel sejak beberapa tahun lalu.

Sejatinya, trend penurunan pendapatan maupun jumlah pelanggan telepon tetap kabel (fixed wireline) praktis telah menjadi kecenderungan global yang melanda hampir semua operator telekomunikasi di manapun seiring dengan perubahan gaya hidup (life style) masyarakat yang diwarnai mobilitas tinggi. Tingginya densitas telepon semakin memperkecil ruang operator untuk meraih pasar baru.

Di sisi lain jumlah operator yang sangat banyak memicu perang tarif besar-besaran dengan konsekuensi margin yang bisa diharapkan operator juga semakin tidak menarik. Pada 2011, mungkin tak akan ada satu pun operator yang mampu membukukan pertumbuhan laba lebih dari satu digit. Bisnis telekomunikasi sudah tidak lukratif (menguntungkan/menarik)?

Bagi sebagian masyarakat jawabannya mungkin tidak, artinya bisnis telekomunikasi tetap merupakan bisnis yang sangat menguntungkan tetapi kenyataannya sekarang,tidak semua operator telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia mampu mencatat hasil menggembirakan. Salah satu sebab yang mungkin menimbulkan “salah persepsi” adalah tingginya eksposur iklan-iklan promo operator yang bertaburan di televisi dan berbagai media massa lain, boleh jadi semakin meneguhkan pandangan ini.

Iklan tak terhindarkan
Koran SINDO edisi 9 Mei 2011 bahkan pernah mengangkat judul “Telekomunikasi, Rajanya Belanja Iklan”. Dipaparkan bahwa berdasarkan survei Nielsen, pada posisi kuartal pertama 2011 belanja iklan perusahaan telekomunikasi di semua media baik cetak maupun elektronik mencapai Rp1,211 triliun. Meski jumlah ini mengalami sedikit penurunan (7%) dibandingkan kuartal pertama 2010 yang mencapai Rp1,303 triliun namun seperti diakui pihak Nielsen jumlah biaya iklan yang dikeluarkan sektor telekomunikasi jauh lebih besar daripada perusahaan di sektor lain.

Desember 2011 Nielsen, sebagaimana dikutip www.antaranews.com, juga memaparkan hasil observasi belanja iklan yang dilakukan pada media televisi, surat kabar dan majalah yang menunjukkan bahwa sektor telekomunikasi masih menjadi pebelanja iklan paling besar selama kuartal III/2011, yaitu pertumbuhannya mencapai 89% dibanding pencapaian periode yang sama tahun lalu. Gencarnya operator beriklan belum tentu mengindikasikan bahwa operator dimaksud untung besar.

Pilihannya bisa saja, advertise or die. Dalam banyak kasus banyak beriklan belum tentu mendorong konsumsi. Beriklan dalam konteks persaingan antaroperator yang amat sengit di tengah pasar yang sangat volatil seperti sekarang merupakan jalan untuk menghindari produk/jasa operator dari kematian karena tidak lagi diingat orang. Iklan memang memicu overhead tapi sulit dihindari karena dalam situasi hiperkompetitif promo melalui iklan bisa menjadi semacam syarat hidup produk.

Liberalisasi dan infrastruktur
Liberalisasi di sektor telekomunikasi berhasil menurunkan harga jasa telekomunikasi sehingga terjangkau oleh masyarakat dari segala lapisan. Liberalisasi memicu masuknya operator-operator baru. Jumlah mereka sangat banyak bila dibanding dengan jumlah penduduk yang akan dilayaninya. Jumlah yang banyak memicu perang tarif sampai pada batas yang membuat daya tarik industri ini turun drastis agar tidak terjadi demotivasi di kalangan operator, pemerintah seharusnya tidak lagi menambah lisensi bagi munculnya operator-operator baru.

Ketika cita-cita telepon murah sudah menjadi kenyataan, regulator sebaiknya juga berpikir tentang kelangsungan industri serta mutu layanannya. Banyak kajian menunjukkan bahwa meningkatnya persaingan tidak menjamin peningkatan baik dari sisi produktivitas (Boylaud & Nicoletti,2000; Li & Xu, 2002) maupun kualitas layanan (Uri, 2003) dan seiring dengan terus turunnya harga, keuntungan juga terus berkurang (Bortolotti et al, 2002), pendapatan operator tergerus, demikian juga kemungkinan investasi,makin menciut.

Peluang bisnis telekomunikasi tentu saja masih terbuka seiring makin berkembangnya lifestyle masyarakat terkait pemanfaatan layanan telekomunikasi. Konten semakin penting tetapi konten akan berkembang jika didukung ketersediaan infrastruktur yang cukup sebagai enabler. Bandwidth menjadi kata kunci. Sebagai operator dengan jaringan terluas dan terlengkap,Telkom menyadari pentingnya mengantisipasi kebutuhan akan bandwidthyang terus melonjak dengan menetapkan target pada 2015 sebanyak 85% akses pita lebar adalah true broadband yang berkecepatan 20-100 Mbps.

Infrastruktur butuh investasi maka operator harus punya ruang untuk mendapatkan margin keuntungan yang memadai agar mampu berinvestasi di infrastruktur yang sangat mahal. Harus diingat bahwa Indonesia bukan sebatas pulau Jawa dan Sumatera, Indonesia adalah juga untaian ribuan pulau hingga Kawasan Timur Indonesia yang membentang sejak Sulawesi hingga Papua.

Alih-alih kompetisi berbasis layanan (service-based competition), di wilayah ini pemerintah dan regulator seyogianya lebih mendorong kompetisi berbasis infrastruktur (infrastructurebased competition). Pola insentif perlu dipikirkan demi memotivasi operator untuk mau membangun infrastruktur di wilayah ini dengan tingkat risiko yang tentu jauh lebih berat dibanding Jawa dan Sumatera. Mari kita dorong agar industri telekomunikasi berkembang semakin sehat. (bro)

Eddy Kurnia
Praktisi Komunikasi,
Ketua III Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan
Anggota Dewan Pakar Perhumas 2011-2014.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4509 seconds (0.1#10.140)