UKM, si kecil tahan krisis

Senin, 30 Januari 2012 - 10:20 WIB
UKM, si kecil tahan...
UKM, si kecil tahan krisis
A A A
Sindonews.com - Ketika krisis moneter melanda negeri ini pada 1997 silam, roda ekonomi usaha ”pinggiran” yang dibangun rakyat kecil tetap berputar.

Di saat sektor usaha skala besar bertumbangan, unit usaha kecil dan menengah (UKM) tetap berdiri tegak. Dalam sejarah juga tercatat, Jepang mampu bangkit dari keterpurukan setelah peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima setelah menggerakkan sektor ekonomi di sektor usaha kecil. Begitu pula Amerika Serikat yang sejak Perang Dunia II juga memiliki perhatian besar terhadap sektor UKM.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab UKM mampu bertahan dari gempuran krisis moneter. Pertama, mayoritas UKM memproduksi barang konsumsi dan jasa dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan masyarakat yang rendah. Pendapatan masyarakat yang ikut terpuruk tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan UKM.

Kedua, mayoritas UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga keterpurukan perbankan dan naiknya suku bunga tidak berpengaruh banyak terhadap sektor ini. UKM mengandalkan modal sendiri dari tabungan.

UKM hadir sebagai suatu solusi dari sistem perekonomian yang sehat. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 54 juta UKM. Di mana empat juta lebih UKM berada di Jawa Timur.

Dari jumlah itu 3,5 juta unit usaha masuk kategori mikro. Bahkan penyaluran kredit perbankan ke sektor ini terus tumbuh secara signifikan. Per September 2011 total kredit yang disalurkan ke UKM mencapai Rp103,37 triliun atau tumbuh 20,36 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu.

Data Kantor Bank Indonesia (BI) Surabaya mencatat dari penyaluran kredit oleh bank umum di Jawa Timur didominasi bank pemerintah dengan porsi 51 persen atau Rp52 triliun.

Disusul bank swasta dengan porsi 46 persen atau Rp47,9 triliun, bank asing Rp2,69 triliun atau sekitar tiga persen dari total penyaluran kredit. Sumbangan UKM untuk PDRB di Jawa Timur ternyata juga cukup tinggi. Tahun 2011 mencapai 52 persen atau sekitar Rp400 triliun. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tahun lalu yang mencapai 7,12 persen ditopang oleh tiga sektor.

Di antaranya sektor perdagangan, sektor restoran hotel, dan sektor pariwisata dengan kontribusi sebesar 30 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sementara sektor perdagangan di Jawa Timur sendiri tidak saja ditopang perdagangan luar negeri (ekspor) tetapi yang lebih luar biasa perdagangan antarprovinsi, antarpulau. Perdagangan antarpulau seperti ke Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Kalimantan pada 2011 nilainya lebih dari Rp200 triliun.

Kendati UKM terus bertumbuh layaknya jamur di musim hujan. Namun banyak dari mereka yang tidak bankable. Pasalnya perbankan menetapkan suku bunga yang cukup tinggi yakni 12 persen hingga 14 persen, bahkan ada yang mencapai 20 persen. Hal inilah yang membuat pelaku UKM enggan mengajukan pinjaman modal ke bank. Sebaliknya pihak bank sendiri menetapkan bunga tinggi lantaran menganggap memberi kredit ke UKM berisiko tinggi.

Bank khawatir UKM tidak mampu membayar kredit lantaran usaha tidak berjalan. Suku bunga delapan persen hanya berlaku untuk korporasi dengan pinjaman sekitar Rp10 miliar ke atas. Hal ini jelas menghambat perkembangan UKM.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo sempat menyoroti tingginya suku bunga kredit perbankan untuk UKM ini. Suku bunga 12 persen hingga 15 persen dinilai tidak rasional.

Padahal, suku bunga acuan BI Rate hanya enam persen. Tingginya suku bunga ini disebabkan perbankan berupaya mengambil keuntungan bunga (interest margin) yang tinggi. ”Saya kira, suku bunga kredit maksimal 11 persen,” ujarnya.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Dedy Suhajadi meminta sektor UKM mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

UKM bergerak di sektor riil yang mampu menopang perekonomian nasional saat krisis. Caranya adalah dengan menekan suku bunga serendah-rendahnya atau sekitar delapam persen.

Meski BI Rate kini berada di kisaran enam persen, tapi, suku bunga yang ada masih cukup tinggi. Di sektor UKM dan Pertanian masih mencapai 12 persen. Walaupun ada Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga enam persen ternyata diberlakukan secara at on flat sehingga jika dihitung bunganya masih mencapai 12 persen per tahun.

”Di Kanada suku bunga pertanian hanya satu persen dan di Tiongkok dua persen. Jadi ini yang menyebabkan produk pertanian impor masuk Indonesia dan menguasai pasar domestik. Kalau pihak bank belinya enam persen dan dijual 12 persen terlalu tinggi keuntungannya,” tandas Dedy.

Ketua Forum Daerah Daerah (Forda) UKM Jatim Nur Cahyudi mengatakan untuk mendorong pertumbuhan produk UKM pemerintah provinsi harus mengeluarkan kebijakan yang pro UKM.

Misalnya dengan cara mempermudah perizinan dan bunga yang rendah. Selama ini bunga bank bagi kredit UKM masih terbilang tinggi antara 12 persen hingga 14 persen. Bahkan untuk skala yang lebih kecil lagi bisa mencapai 20 persen.

”UKM tidak ada yang dianak emaskan. Bunga bank masih cukup tinggi. Inilah yang mengganggu perkembangan UKM,” ungkapnya. Sama seperti tahun 2011 lalu pertumbuhan UKM banyak didorong sektor konsumsi khususnya makanan dan minuman, disusul sektor kerajinan.

Agar tetap mampu bersaing dengan produk impor, pelaku UKM harus terus mengembankan inovasi dari tiap produknya. ”Aspek inovasi dari produk harus dipertimbangkan agar tidak kalah dengan barang dari luar,” kata Cahyudi. (ank)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9331 seconds (0.1#10.140)