Penguasaan volume untuk kedaulatan migas

Senin, 06 Februari 2012 - 08:55 WIB
Penguasaan volume untuk...
Penguasaan volume untuk kedaulatan migas
A A A
Sindonews.com - Polemik terjadi selepas PT Pertamina (Persero) menyatakan keinginannya untuk menyerap seluruh minyak mentah domestik, termasuk minyak mentah yang dikuasai kontraktor kontrak kerja sama(KKKS) migas dari minyak bagian kontraktor, ditambah minyak hasil pengembalian biaya operasi (cost recovery).

Memang tidak seluruhnya, hanya jenis minyak yang dapat diolah oleh kilang-kilang minyak Pertamina sekitar 250 ribu barel per hari yang selama ini diekspor. Sebagian pemangku kebijakan memandang keinginan ini wajar dan boleh-boleh saja sepanjang Pertamina berniat membeli dengan harga pasar atau Indonesia crude price (ICP), namun banyak yang menentang karena dipandang tidak sejalan dengan kontrak sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi iklim investasi di Indonesia, sebagian lagi bahkan mencurigai Pertamina berniat menjadi pemburu rente “pelat merah”.

Alasan yang disampaikan Pertamina adalah upaya untuk menjaga ketahanan energi nasional dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis minyak apabila situasi di Selat Hormuz benar-benar memanas. Pertamina merasa perlu secara khusus meminta dukungan pemerintah untuk memudahkan opsi membeli minyak mentah bagian kontraktor dengan menyempurnakan regulasi atau kontrak yang berlaku.

Disadari dalam kondisi damai saja sebagian kontraktor enggan menjual minyaknya ke Pertamina dengan harga pasar, apalagi di tengah situasi krisis akan lebih sulit bagi kontraktor untuk melepaskan kedaulatan minyak bagiannya.

Alasan Pertamina dikaitkan dengan ketegangan di Selat Hormuz dapat dipahami, ketegangan ini telah mengirim sinyal buruk ke pasar minyak dunia, kegalauan yang lebih serius dipastikan muncul jika terjadi pecah perang di Selat Hormuz karena akan segera melambungkan harga minyak dunia yang akan memukul banyak negara termasuk Indonesia yang menggantungkan sebagian impor minyak mentah dari Timur Tengah.

Beruntung rencana embargo Iran oleh AS sejauh ini hanya didukung negara-negara Eropa, tidak didukung oleh China, India, Rusia bahkan Jepang, sehingga sinyal buruk tersebut diharapkan dapat diperlemah. Sejatinya, tanpa ancaman krisis Hormuz, isu penguasaan volume minyak domestik tetap harus diangkat ke permukaan karena sejak menjadi negara net-pengimpor minyak tahun 2004, Indonesia menghadapi kerawanan atas kedaulatan energi nasional khususnya ketahanan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).

Dari produksi minyak nasional, kedaulatan Indonesia atas volume minyak mentah hanya sekitar separuh dari total lifting minyak, sehingga hanya mampu memasok 60 persen kebutuhan bahan baku kilang-kilang Pertamina, memaksa BUMN ini mengimpor minyak mentah sekitar 400 ribu barel per hari.

Sedangkan,dampak dari kurangnya kilang di dalam negeri, produksi BBM hanya mencukupi 60 persen kebutuhan BBM nasional, juga memaksa Pertamina mengimpor sekitar 400 ribu barel BBM setiap hari.

Ketergantungan kepada asing menyebabkan kedaulatan energi Indonesia rentan terha-dap gejolak geopolitik,salah satunya adalah ancaman krisis Selat Hormuz. Pemangku kebijakan harus menyadari, sebagai negara netpengimpor minyak RI menjadi negara yang sensitif terhadap kedaulatan volume lifting domestik. Penguasaan volume di dalam negeri menjadi strategis karena terkait langsung dengan besaran volume impor minyak dan BBM serta besaran subsidi BBM yang bermuara pada defisit APBN.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bila Pertamina bertekad menguasai volume minyak domestik sebanyak mungkin walaupun harus dibeli dengan harga pasar. Guna menambah volume, Pertamina diharapkan mampu meningkatkan tingkat produksi dan cadangan migas melalui eksplorasi besar-besaran, namun disayangkan negara tidak memberikan ruang gerak yang memadai.Pemerintah memaksa Pertamina menyetor dividen lebih dari 50 persen sehingga belanja modal tersisa kurang mendukung ekspansi korporasi, utamanya kegiatan eksplorasi, Di negara lain, perusahaan minyak nasional umumnya hanya menyetor dividen sekitar 30 persen.

Setiap tahun Pertamina mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp480-500 triliun di mana sekitar 80-90 persen adalah untuk pengadaan dan distribusi BBM nasional. Selain itu,Pertamina masih dibebani dengan bermacammacam tugas sosial PSO (public service obligation) yang membebani keuangan perusahaan, termasuk mengawal cadangan strategis nasional. Hingga hari ini Pertamina masih dibebani tugas mengelola cadangan strategis BBM nasional yang hanya cukup untuk 22 hari.

Bila pecah perang Iran dan Selat Hormuz ditutup,atau situasi kritis lainnya, RI terancam krisis BBM karena cadangan strategis yang dikelola Pertamina hanya mampu bertahan 22 hari konsumsi. Artinya, jaminan tambahan volume di dalam negeri melalui pembelian minyak milik kontraktor amat dibutuhkan. Kendati hanya sekitar 250 ribu- 300 ribu barel per hari namun mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Sejatinya,sejak dikenalkan production sharing contract (PSC),kedaulatan RI terhadap volume lifting migas nasional hanya sekitar separuh,sedangkan sisanya dikuasai oleh kontraktor melalui pembagian hasil produksi bagian kontraktor sebesar 15–20 persen dan sekitar 30–35 persen untuk pengembalian biaya operasi yang selama ini dibayar dengan volume migas. PSC memang membolehkan kontraktor menagih pengembalian biaya operasi (cost recovery) dalam bentuk volume minyak dan gas.

Fasilitas ini membawa beberapa keuntungan bagi kontraktor, yang pertama akses penguasaan volume yang dapat dibawa langsung ke negerinya, yang kedua akses untuk menjual volume tersebut di pasar dengan harga premium, dan yang ketiga akses untuk swap (tukar guling) antarpemangku kepentingan lain di dalam atau luar negeri.

Sebelum Indonesia menjadi negara net-pengimpor minyak, model PSC ini tidak bermasalah, namun setelah menjadi negara net-pengimpor minyak, pemerintah perlu mempertimbangkan penyempurnaan kontrak sehingga lebih berdaulat, namun tetap menarik bagi investor.

Penguasaan volume oleh kontraktor dari pengembalian biaya operasi mencapai 30-35 persen dari total produksi atau lifting, kondisi ini merugikan kedaulatan dalam penguasaan volume migas di dalam negeri. Setiap tahun rata-rata seluruh kontraktor mengeluarkan biaya operasi (cost recovery) sekitar USD13 miliar, selama ini pemerintah membayar kembali biaya-biaya tersebut dengan volume minyak (inkind) sekitar 300.000–350.000 barel per hari yang dihargai ICP, bukan dengan dolar atau cash sehingga kedaulatan migas sebagian beralih ke tangan kontraktor.

Saat Pertamina butuh minyak, mereka mau menjual dengan harga mahal (premium). Jalan tengahnya adalah ke depan pemerintah tidak lagi membayar cost recovery secara inkind dengan menggunakan volume tetapi membayar dengan dolar sebesar jumlah pengeluaran biaya operasi mereka,sehingga tidak memberikan kesempatan kontraktor mencari keuntungan dari pengembalian biaya operasi mereka.Yang penting, seluruh biaya operasi dibayar, kontraktor tidak dirugikan sepeser pun.

Keuntungan bagi RI adalah volume minyak untuk kilang BBM Pertamina bertambah, jumlah impor minyak dan BBM berkurang,jumlah subsidi BBM berkurang yang semuanya akan bermuara pada pengurangan defisit APBN, dan yang paling penting adalah kedaulatan energi nasional meningkat sejalan dengan berkurangnya ketergantungan terhadap impor yang rawan dilanda gejolak geopolitik. Dukungan pemerintah kepada Pertamina diyakini bukan untuk kepentingan korporasi, tetapi lebih untuk ketahanan bangsa.

EDDY PURWANTO
Mantan Deputi BP Migas
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0440 seconds (0.1#10.140)