Antara bisnis dan fashion

Minggu, 12 Februari 2012 - 13:20 WIB
Antara bisnis dan fashion
Antara bisnis dan fashion
A A A


SIndonews.com
- Trendi, eksklusif, fashionable, dan sesuai selera anak muda menjadi ciri khas produk yang ditawarkan distribution outlet atau kadang disebut juga distribution store (distro).

Produk independen ini mulai dikenal sejak 1990 di Kota Bandung. Perlahan produk yang hanya dipasarkan pada pagelaran musik ini, mulai dijual di gerai. Alhasil, produk distro booming awal 2000 dan mulai masuk ke Kota Makassar hingga saat ini.

Di Kota Daeng, produk distro perlahan mulai mendapat hati di kalangan anak muda. Hal ini lantaran produk yang dihasilkan sangat terbatas dan di awal kehadirannya masih sulit diperoleh. Demam produk distro yang melanda anak muda Makassar berjalan seiring berdirinya sejumlah distro.

Sebut saja Aco Makassar, D SIX, Immortal, Chambers, Undersiege, Rock n Roll 72, Headboard, Sounsouci, Nonnith Shop, 3 Second, dan Kole-kole Distro. Produk yang up to date ditambah stigma tak menggunakan pakaian distro bukanlah anak gaul, membuat industri ini berkembang pesat di Makassar.

Menggunakan produk distro bisa dikatakan mewakili gaya hidup seseorang. Seiring perkembangan tren mode, produk yang ditawarkan usaha distro tidak saja berkutat pada pakaian kaus saja, tapi merambah ke produk lain, seperti kemeja, celana, sepatu, topi, tas.

Pemilik Distro Immortal Arifyanto mengatakan, perkembangan usaha distro di kota ini sangat pesat dibandingkan ketika pertama kali muncul awal 2000 lalu. Distro Immortal yang didirikan sejak 2003, awalnya hanya menjual produk merchandise sebuah band.

Namun, lama kelamaan produk yang dijual makin banyak disukai konsumen. Akhirnya, sayap bisnis dikembangkan dan tidak hanya fokus pada band, tapi merambah anak muda.

”Dulu saya hanya menjual produk band underground dari Pulau Jawa untuk merchandise, tapi karena banyak yang suka, makanya saya berpikir menjual merek lain. Alhamdulillah banyak yang suka,” ujarnya.

Kendati demikian, pemasarannya masih digabungkan dengan merchandise band underground. Hal ini untuk mengantisipasi adanya penolakan pasar atas produk di luar komunitas. Setelah berjalan hingga tiga tahun, pada 2006, Immortal mulai memasarkan produk distro dari berbagai merek. Hasilnya cukup menggembirakan. Ini ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung mencapai 100 orang per hari.

”Kami tidak saja menjual produk busana, tapi juga menawarkan gaya hidup anak muda. Dengan begitu, mereka memiliki pilihan menggunakan produk sesuai tren yang berlaku saat itu,” tuturnya.

Diakui Anto, peminat produk distro tidak saja pada model, tapi juga ketersediaan produk tersebut yang terbatas. Karena itu, konsumen tidak dihantui kekhawatiran adanya produk sejenis yang dimiliki orang lain.Dia mencontohkan, untuk produk yang dipesannya hanya disediakan lima buah dengan tawaran warna bervariasi.

”Distro Immortal memfokuskan produknya pada merek yang sifatnya umum. Jadi, semua produk dari merek independen bisa kami tawarkan kepada konsumen,” paparnya.

Berbeda dengan Immortal, dua usaha distro anak muda, yakni Daeng dan Aco Makassar, boleh dikatakan mewakili produk mode dengan konten lokal di tengah gempuran produk sejenis dari Bandung. Desain baju yang ditawarkan banyak memperlihatkan kekhasan Kota Makassar dan sekitarnya. Mulai tulisan ketika dibaca hingga gambar yang menandakan itu adalah asal dari Kota Anggingmammiri.

Distro Daeng misalnya, bisnis yang dirintis tiga sahabat ini, Firman, Mawardi, dan Den Dede, tidak hanya menjual produk, tapi menampilkan citra Kota Makassar melalui sebuah produk mode. Makanya, jika membeli produk yang terlihat di gambar bajunya itu desainnya selalu berkaitan dengan Makassar, seperti badik, Sultan Hasanuddin, perahu pinisi, coto makassar, Fort Rotterdam.

Firman menuturkan, dipilihnya atribut budaya Makassar sebagai desain baju agar tampil beda dengan kebanyakan distro saat ini. Merek dan desainnya banyak berkiblat dari luar daerah ataupun luar negeri.

”Kami dulu berpikir, kalau buka distro dengan mengikuti yang sudah ada tentu bisa jadi nilai jualnya sangat sedikit. Makanya, kami mencoba mencari konsumen di segmen lain, yang tentu tidak saja diperuntukkan bagi warga Makassar,” tuturnya.

Hasilnya, sejak didirikan 16 April 2009, peminatnya cukup banyak. Itu dibuktikan dengan setiap hari produknya terjual berkisar 40 lembar t-shirt, yang kebanyakan pembelinya menjadikan produknya sebagai oleh-oleh.

Hal serupa dirasakan General Manager Distro Aco Makassar Robin. Menurutnya, fokus desainnya tidak saja budaya Makassar, tapi seluruh budaya yang ada di Sulsel. Usaha yang awalnya dirintis melalui penjualan online ini, mendapat respons positif hingga membuka distro di Jalan Faisal 12 No 5B Makassar.

“Peminat produk kami tidak saja di Makassar, tapi juga di luar Makassar. Bahkan, pasarannya sudah merambah beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, Korea,” ungkapnya.

Robin menambahkan, yang khas dari produknya itu tidak saja menonjolkan kata-kata, tapi juga karikatur yang lucu.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4416 seconds (0.1#10.140)