Melihat lebih dekat kampung perajin kayu jati di Bojonegoro
A
A
A
Sindonews.com - Menyusuri Jalan Brigadir Jenderal Sutoyo di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Kota Bojonegoro sungguh mengesankan. Tangan-tangan terampil telaten memahat, mengukir, dan menghaluskan aneka kerajinan meubel dan ukir-ukiran dari kayu jati yang terkenal bagus kualitasnya itu.
Jalan Brigadir Sutoyo sebetulnya bukan jalan utama, melainkan hanya jalan perkampungan di tengah Kota Bojonegoro. Namun, melintas di jalan itu akan mudah ditemui para perajin meubel dan ukir-ukiran kayu jati selalu sibuk bekerja. Riuh rendah suara pemotongan kayu jati, suara penggergajian kayu, dan tangan yang cekatan menghaluskan kayu akan selalu akrab di telinga.
Lisana (45), salah seorang perajin kayu jati menuturkan, tradisi membuat kerajinan meubel dan ukir-ukiran kayu jati itu telah berlangsung turun-temurun. “Saya menggeluti kerajinan kayu jati itu sejak tahun 1985,” ujarnya.
Kerajinan meubel dan ukir-ukiran kayu jati dari Bojonegoro bukan dikenal karena bentuk atau modelnya, melainkan kondang karena kualitas bahan bakunya yang dikenal bagus. Kualitas kayu jati asal Bojonegoro selama ini tidak ada yang menandingi.
Kayu jati yang dihasilkan dari daerah hutan di Bojonegoro berwarna merah bata, seratnya rata, kering, padat, dan kuat. Kayu jati itu bila dipakai sebagai bahan baku lemari, bufet, kusen, dan dipan akan tahan lama hingga puluhan tahun.
Namun, kata Lisana, sejak tahun 1999 mencari bahan baku kayu jati agak sulit. Perajin biasanya membeli bahan baku kayu jati itu dari tempat penimbunan kayu jati milik Perhutani. Tetapi, harga bahan baku kayu jati itu kini sudah melambung. “Bahan baku kayu jati kini sulit didapatkan. Kondisi itu yang menyebabkan harganya mahal,” ungkapnya.
Namun, bahan baku yang sulit itu tidak membuat para perajin menyerah. Mereka sepertinya sudah terbiasa ditempa pengalaman pasang surut menggeluti usaha kerajinan itu. Lisana mengatakan, permintaan produk kerajinan kayu jati asal Bojonegoro hingga kini masih tetap tinggi. Kalau dulu, kata dia, produk kerajinan yang banyak diminati itu adalah produk meubel seperti lemari, bufet, atau dipan. Namun, akhir-akhir ini produk kerajinan yang diminati banyak berupa kusen atau ukir-ukiran.
Produk kerajinan meubel itu harganya beragam. Misalnya, produk lemari dipasarkan seharga Rp2,5 juta hingga Rp10 juta. Satu set bufet dipasarkan mulai harga Rp3 juta hingga Rp8 juta. Sementara, produk kusen dipasarkan seharga Rp700 ribu hingga Rp1 juta.
Pasar produk kerajinan meubel dan ukir-ukiran asal Bojonegoro itu juga cukup luas. Daerah yang paling banyak meminta produk muebel dan ukir-ukiran di antaranya Bandung, Jakarta, dan Bali. “Saya paling sering mengirim produk meubel dan ukir-ukiran ke Bandung,” ucap Lisana.
Sentra kerajinan kayu jati di Kelurahan Sukorejo itu juga memberikan banyak lapangan kerja bagi warga Bojonegoro. Anak-anak muda banyak yang bekerja sebagai tukang gosok meubel, sementara mereka yang sudah berpengalaman biasa menjadi tukang.
Suparman, 57, salah satu perajin yang bekerja di UD Bangkit Jaya, mengaku sudah puluhan tahun menjadi perajin meubel. Dia biasa membuat pintu, dipan, dan lemari dengan ukir-ukiran khas itu. “Butuh ketelatenan untuk menjadi perajin meubel dan ukir-ukiran ini,” ungkap Suparman asal Desa Padang, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro itu.
Setidaknya ada belasan orang yang bekerja di UD Bangkit Jaya itu. Sebagian besar mereka berasal dari sekitar Bojonegoro. Sementara, di sentra kerajinan kayu jati itu sedikitnya ada 200 perajin. Mereka ada yang menyediakan bahan baku kayu jati, ada yang mengolah kayu jati menjadi bahan setengah jadi, ada pula yang mengerjakan produk meubel dan ukir-ukiran itu dari bahan setengah jadi menjadi produk jadi yang
siap dipasarkan.
Jalan Brigadir Sutoyo sebetulnya bukan jalan utama, melainkan hanya jalan perkampungan di tengah Kota Bojonegoro. Namun, melintas di jalan itu akan mudah ditemui para perajin meubel dan ukir-ukiran kayu jati selalu sibuk bekerja. Riuh rendah suara pemotongan kayu jati, suara penggergajian kayu, dan tangan yang cekatan menghaluskan kayu akan selalu akrab di telinga.
Lisana (45), salah seorang perajin kayu jati menuturkan, tradisi membuat kerajinan meubel dan ukir-ukiran kayu jati itu telah berlangsung turun-temurun. “Saya menggeluti kerajinan kayu jati itu sejak tahun 1985,” ujarnya.
Kerajinan meubel dan ukir-ukiran kayu jati dari Bojonegoro bukan dikenal karena bentuk atau modelnya, melainkan kondang karena kualitas bahan bakunya yang dikenal bagus. Kualitas kayu jati asal Bojonegoro selama ini tidak ada yang menandingi.
Kayu jati yang dihasilkan dari daerah hutan di Bojonegoro berwarna merah bata, seratnya rata, kering, padat, dan kuat. Kayu jati itu bila dipakai sebagai bahan baku lemari, bufet, kusen, dan dipan akan tahan lama hingga puluhan tahun.
Namun, kata Lisana, sejak tahun 1999 mencari bahan baku kayu jati agak sulit. Perajin biasanya membeli bahan baku kayu jati itu dari tempat penimbunan kayu jati milik Perhutani. Tetapi, harga bahan baku kayu jati itu kini sudah melambung. “Bahan baku kayu jati kini sulit didapatkan. Kondisi itu yang menyebabkan harganya mahal,” ungkapnya.
Namun, bahan baku yang sulit itu tidak membuat para perajin menyerah. Mereka sepertinya sudah terbiasa ditempa pengalaman pasang surut menggeluti usaha kerajinan itu. Lisana mengatakan, permintaan produk kerajinan kayu jati asal Bojonegoro hingga kini masih tetap tinggi. Kalau dulu, kata dia, produk kerajinan yang banyak diminati itu adalah produk meubel seperti lemari, bufet, atau dipan. Namun, akhir-akhir ini produk kerajinan yang diminati banyak berupa kusen atau ukir-ukiran.
Produk kerajinan meubel itu harganya beragam. Misalnya, produk lemari dipasarkan seharga Rp2,5 juta hingga Rp10 juta. Satu set bufet dipasarkan mulai harga Rp3 juta hingga Rp8 juta. Sementara, produk kusen dipasarkan seharga Rp700 ribu hingga Rp1 juta.
Pasar produk kerajinan meubel dan ukir-ukiran asal Bojonegoro itu juga cukup luas. Daerah yang paling banyak meminta produk muebel dan ukir-ukiran di antaranya Bandung, Jakarta, dan Bali. “Saya paling sering mengirim produk meubel dan ukir-ukiran ke Bandung,” ucap Lisana.
Sentra kerajinan kayu jati di Kelurahan Sukorejo itu juga memberikan banyak lapangan kerja bagi warga Bojonegoro. Anak-anak muda banyak yang bekerja sebagai tukang gosok meubel, sementara mereka yang sudah berpengalaman biasa menjadi tukang.
Suparman, 57, salah satu perajin yang bekerja di UD Bangkit Jaya, mengaku sudah puluhan tahun menjadi perajin meubel. Dia biasa membuat pintu, dipan, dan lemari dengan ukir-ukiran khas itu. “Butuh ketelatenan untuk menjadi perajin meubel dan ukir-ukiran ini,” ungkap Suparman asal Desa Padang, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro itu.
Setidaknya ada belasan orang yang bekerja di UD Bangkit Jaya itu. Sebagian besar mereka berasal dari sekitar Bojonegoro. Sementara, di sentra kerajinan kayu jati itu sedikitnya ada 200 perajin. Mereka ada yang menyediakan bahan baku kayu jati, ada yang mengolah kayu jati menjadi bahan setengah jadi, ada pula yang mengerjakan produk meubel dan ukir-ukiran itu dari bahan setengah jadi menjadi produk jadi yang
siap dipasarkan.
()