63 APBD belum disahkan
A
A
A
Sindonews.com – Kementerian Keuangan telah mengirimkan surat peringatan kepada seluruh kepala daerah agar segera mengesahkan dan menyerahkan APBD mereka sebelum 20 Maret mendatang.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Marwanto Harjowiryono mengungkapkan, hingga Jumat 9 Maret 2012 masih ada 63 pemerintah daerah (pemda) yang belum mengesahkan APBD-nya. Namun, Marwanto tidak menyebut pemda-pemda mana saja yang masih belum menyerahkan APBD. Sebagai catatan, saat ini ada 524 Pemda, terdiri atas 33 pemda provinsi dan 391 kabupaten/ kota.
“Karena di dalam Undang- Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 diatur sanksi apabila satu bulan setelah surat peringatan, maka akan dilakukan sanksi penundaan 25 persen atas alokasi DAU (dana alokasi umum) setiap bulannya,” tutur Marwanto pada konferensi pers International Conference on Alternative Visions for Decentralization in Indonesia, di Jakarta, kemarin.
Marwanto mengungkapkan, penundaan atau blokir DAU sebesar 25 persen ini akan berlaku efektif per April 2012. Pemda secara automatis akan mendapatkan kembali 25 persen DAU-nya bila telah menyelesaikan APBD mereka.
Marwanto berharap, semua pemda segera menyelesaikan pembahasan APBD guna mempercepat proses pembangunan. Terlebih, dana transfer ke daerah semakin besar per tahunnya. Pada APBN 2011, dana transfer ke daerah hanya Rp393 triliun, sementara APBN 2012 menjadi Rp470,4 triliun. Jumlah tersebut ditingkatkan lagi pada APBN-P 2012 menjadi Rp476,26 triliun. “Ini (APBD) sangat penting bagi penyerapan uang yang dikelola daerah pusat dan daerah.Kalau belum selesai, berarti eksekusi program yang dibiayai transfer daerah belum bisa dilakukan,” ujarnya.
Marwanto menjelaskan, penyelesaian APBD sering menjadi kendala penyerapan anggaran karena lambatnya pengesahan. Dalam catatan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri,masih ada pemda yang baru mengesahkan APBD-nya pada bulan Juni, padahal APBD seharusnya paling lambat disahkan di akhir tahun. Lambatnya penyelesaian pembahasan APBDini,menurut Marwanto, merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Tantangan lainnya adalah kualitas belanja keuangan daerah serta minimnya transparansi dan akuntabilitas. Pada realisasi APBD 2010 saja, 64 persen anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai dan ratarata alokasi belanja pegawai di setiap pemda mencapai 53 persen. Kabupaten Lamongan, misalnya, menghabiskan anggaran sebesar Rp730 miliar atau 60,2 persen dari total APBD mereka untuk menggaji pegawai serta membangun perkantoran.
Terkait besarnya realisasi belanja aparatur atau pegawai di tingkat daerah,Agus Martowardojo mengungkapkan, pemerintah akan membatasi belanja pegawai maksimal 50 persen dari total APBD.Ketentuan tersebut akan dituangkan dalam revisi UU No 33 Tahun 2004. “Kita merevisi UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Daerah di mana kami menyelipkan kalkulasi belanja pegawai tidak boleh melebihi 50 persen dari total APBD,” tutur Agus Marto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Manajer Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia untuk Indonesia Franz R Drees- Gross mengakui, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tidak mudah karena luasnya wilayah, beragamnya etnis, serta beragamnya kemampuan daerah. Terkait hal itu, Bank Dunia akan membantu Indonesia dalam pelaksanaan tersebut.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Marwanto Harjowiryono mengungkapkan, hingga Jumat 9 Maret 2012 masih ada 63 pemerintah daerah (pemda) yang belum mengesahkan APBD-nya. Namun, Marwanto tidak menyebut pemda-pemda mana saja yang masih belum menyerahkan APBD. Sebagai catatan, saat ini ada 524 Pemda, terdiri atas 33 pemda provinsi dan 391 kabupaten/ kota.
“Karena di dalam Undang- Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 diatur sanksi apabila satu bulan setelah surat peringatan, maka akan dilakukan sanksi penundaan 25 persen atas alokasi DAU (dana alokasi umum) setiap bulannya,” tutur Marwanto pada konferensi pers International Conference on Alternative Visions for Decentralization in Indonesia, di Jakarta, kemarin.
Marwanto mengungkapkan, penundaan atau blokir DAU sebesar 25 persen ini akan berlaku efektif per April 2012. Pemda secara automatis akan mendapatkan kembali 25 persen DAU-nya bila telah menyelesaikan APBD mereka.
Marwanto berharap, semua pemda segera menyelesaikan pembahasan APBD guna mempercepat proses pembangunan. Terlebih, dana transfer ke daerah semakin besar per tahunnya. Pada APBN 2011, dana transfer ke daerah hanya Rp393 triliun, sementara APBN 2012 menjadi Rp470,4 triliun. Jumlah tersebut ditingkatkan lagi pada APBN-P 2012 menjadi Rp476,26 triliun. “Ini (APBD) sangat penting bagi penyerapan uang yang dikelola daerah pusat dan daerah.Kalau belum selesai, berarti eksekusi program yang dibiayai transfer daerah belum bisa dilakukan,” ujarnya.
Marwanto menjelaskan, penyelesaian APBD sering menjadi kendala penyerapan anggaran karena lambatnya pengesahan. Dalam catatan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri,masih ada pemda yang baru mengesahkan APBD-nya pada bulan Juni, padahal APBD seharusnya paling lambat disahkan di akhir tahun. Lambatnya penyelesaian pembahasan APBDini,menurut Marwanto, merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Tantangan lainnya adalah kualitas belanja keuangan daerah serta minimnya transparansi dan akuntabilitas. Pada realisasi APBD 2010 saja, 64 persen anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai dan ratarata alokasi belanja pegawai di setiap pemda mencapai 53 persen. Kabupaten Lamongan, misalnya, menghabiskan anggaran sebesar Rp730 miliar atau 60,2 persen dari total APBD mereka untuk menggaji pegawai serta membangun perkantoran.
Terkait besarnya realisasi belanja aparatur atau pegawai di tingkat daerah,Agus Martowardojo mengungkapkan, pemerintah akan membatasi belanja pegawai maksimal 50 persen dari total APBD.Ketentuan tersebut akan dituangkan dalam revisi UU No 33 Tahun 2004. “Kita merevisi UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Daerah di mana kami menyelipkan kalkulasi belanja pegawai tidak boleh melebihi 50 persen dari total APBD,” tutur Agus Marto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Manajer Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia untuk Indonesia Franz R Drees- Gross mengakui, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tidak mudah karena luasnya wilayah, beragamnya etnis, serta beragamnya kemampuan daerah. Terkait hal itu, Bank Dunia akan membantu Indonesia dalam pelaksanaan tersebut.
()