Kimono batik Cirebon rambah pasar Jepang
A
A
A
Sindonews.com - Nama aslinya singkat. Katura, 60. Tidak ada makna khusus di balik nama ini. Dia memang diberi nama oleh orang tuanya, Katura. Namun, nama itu lekat dengan batik.
Di Desa Trusmi, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Katura sudah menjadi trade mark. Katura lahir di Cirebon, 15 Desember 1952. Pria ini telah mengharumkan batik Cirebon di mata dunia. Batik memang sudah menjadi milik dunia setelah penetapannya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada 2009. Tak berlebihan rasanya jika menyebut batik memang milik dunia,karena batik Katura sendiri sudah merambah pasar Jepang.
Bahkan, jauh sebelum batik digembar-gemborkan belakangan ini. “Sejak 1992, batik saya sudah masuk Jepang. Di sana, kain batik yang dipesan beberapa pengusaha sejenis garmen dijadikan kimono, lengkap dengan obi (ikat pinggang),” kata Katura.
Desa Trusmi sudah dikenal masyarakat sekitar maupun luar Cirebon sebagai kawasan sentra batik khas Cirebon. Di sini,puluhan industri batik berdiri dengan ratusan perajin yang kebanyakan merupakan penduduk asli Trusmi. Namun,dari sekian banyak galeri yang memajang hasil kerajinan batik, hanya Katura yang juga memiliki konsep pelatihan bagi peminat batik.
Di galeri sederhananya, Katura yang mempelajari teknik membatik dari orang tuanya sejak kecil, mempersilakan setiap orang belajar membatik. Galerinya bahkan dijadikan sebagai “kawasan wisata”, yang dengan inisiatifnya diberi nama Wisata Bertanya. Di sana,Katura akan memberikan teknik membatik hingga tahapan dalam keseluruhan proses yang menghasilkan sebuah karya di atas selembar kain. “Yang ke sini, mulai dari anak TK sampai ibu-ibu.Siapa saja boleh datang jika berniat tahu soal batik,” kata anak ke-12 dari 13 bersaudara dari buah hati Kasmin dan Ranima saat berbincang dengan Sindo.
Bagi Katura, yang kini menambahkan AR dalam namanya dengan kepanjangan “Anak Rolas” (anak ke-12), batik adalah milik siapa saja yang memiliki kemauan.Tanpa dia sadari, apa yang telah dilakukannya itu telah membantu upaya regenerasi pebatik Cirebon. Katura sendiri mengaku mencintai batik, bahkan tak menyangkal telah tergila-gila padanya. Kegilaan itu boleh jadi datang dari kedekatan emosionalnya dengan batik selama ini.
Bagi dirinya,batik bukan sekedar coretan di atas kain, melainkan nyawa yang lain dalam hidup pria yang pernah menuntut ilmu di SDN 2 Trusmi ini. “Ada semacam pertentangan batin karena saya merasa tidak menghasilkan apaapa yang membuat saya harus menerimanya,”ujar dia.
Di Desa Trusmi, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Katura sudah menjadi trade mark. Katura lahir di Cirebon, 15 Desember 1952. Pria ini telah mengharumkan batik Cirebon di mata dunia. Batik memang sudah menjadi milik dunia setelah penetapannya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada 2009. Tak berlebihan rasanya jika menyebut batik memang milik dunia,karena batik Katura sendiri sudah merambah pasar Jepang.
Bahkan, jauh sebelum batik digembar-gemborkan belakangan ini. “Sejak 1992, batik saya sudah masuk Jepang. Di sana, kain batik yang dipesan beberapa pengusaha sejenis garmen dijadikan kimono, lengkap dengan obi (ikat pinggang),” kata Katura.
Desa Trusmi sudah dikenal masyarakat sekitar maupun luar Cirebon sebagai kawasan sentra batik khas Cirebon. Di sini,puluhan industri batik berdiri dengan ratusan perajin yang kebanyakan merupakan penduduk asli Trusmi. Namun,dari sekian banyak galeri yang memajang hasil kerajinan batik, hanya Katura yang juga memiliki konsep pelatihan bagi peminat batik.
Di galeri sederhananya, Katura yang mempelajari teknik membatik dari orang tuanya sejak kecil, mempersilakan setiap orang belajar membatik. Galerinya bahkan dijadikan sebagai “kawasan wisata”, yang dengan inisiatifnya diberi nama Wisata Bertanya. Di sana,Katura akan memberikan teknik membatik hingga tahapan dalam keseluruhan proses yang menghasilkan sebuah karya di atas selembar kain. “Yang ke sini, mulai dari anak TK sampai ibu-ibu.Siapa saja boleh datang jika berniat tahu soal batik,” kata anak ke-12 dari 13 bersaudara dari buah hati Kasmin dan Ranima saat berbincang dengan Sindo.
Bagi Katura, yang kini menambahkan AR dalam namanya dengan kepanjangan “Anak Rolas” (anak ke-12), batik adalah milik siapa saja yang memiliki kemauan.Tanpa dia sadari, apa yang telah dilakukannya itu telah membantu upaya regenerasi pebatik Cirebon. Katura sendiri mengaku mencintai batik, bahkan tak menyangkal telah tergila-gila padanya. Kegilaan itu boleh jadi datang dari kedekatan emosionalnya dengan batik selama ini.
Bagi dirinya,batik bukan sekedar coretan di atas kain, melainkan nyawa yang lain dalam hidup pria yang pernah menuntut ilmu di SDN 2 Trusmi ini. “Ada semacam pertentangan batin karena saya merasa tidak menghasilkan apaapa yang membuat saya harus menerimanya,”ujar dia.
()