Kredit PT Minarak Lapindo ditolak Bank Jatim
A
A
A
Sindonews.com - Upaya Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang menolak pengajuan Kredit PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ke Bank Jatim menuai dukungan dari kalangan wakil rakyat. PT MLJ sendiri mengajukan kredit sebesar Rp900 milliar untuk melunasi ganti rugi warga korban semburan lumpur Lapindo.
Menurut Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (FPPPR) Nizar Zahro, sebelum memberikan kredit kepada Nasabah Bank Jatim wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sedangkan terkait, jaminan utang, sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit.
Ia juga menyebut, peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan yang dikodifikasi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang). Sedangkan berupa Undang-Undang, misalnya UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
"Kalau Bank Jatim tidak yakin bahwa PT Minarak Lapindo Jaya bisa mengembalikan kredit yang akan diberikan Bank Jatim maka hukumnya wajib ditolak," kata Nizar, di Surabaya, Jumat (20/4/2012).
Soegiono anggota Komisi C (Bidang Keuangan) DPRD Jatim menambahkan, persoalan setuju atau tidak pengajuan kredit sudah menyangkut urusan teknis. Hal itu sudah menjadi kewenangan Dirut, Komisaris atau Pemegang Saham. Tentunya sudah dilakukan analisa yang mengacu pada asas 5 C, yaitu Character (kepribadian, watak), Capacity (kemampuan, kesanggupan), Capital (modal, kekayaan), Collateral (agunan, jaminan), dan Conditional of Economic (kondisi ekonomi).
"Jadi kita tak bisa hanya mengacu pada berapa agunan yang diberikan, tetapi juga harus mempertimbangkan asas yang lain," kata Politisi dari FPDIP ini.
Sementara itu dari informasi yang dihimpun berdasarkan Perpres Nomer 14 tahun 2007 dari kebutuhan dana Rp3,8 trilliun yang harus dibayarkan ke warga sudah terealisasi Rp2,9 trilliun atau 78 persen lunas. Sehingga tersisa, Rp900 milliar yang belum terbayar. Sementara kondisi keuangan perusahaan saat ini tidak memungkinkan karena cash flow yang tersisa terbatas hanya untuk operasional perusahaan.
Menurut Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (FPPPR) Nizar Zahro, sebelum memberikan kredit kepada Nasabah Bank Jatim wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sedangkan terkait, jaminan utang, sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit.
Ia juga menyebut, peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan yang dikodifikasi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang). Sedangkan berupa Undang-Undang, misalnya UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
"Kalau Bank Jatim tidak yakin bahwa PT Minarak Lapindo Jaya bisa mengembalikan kredit yang akan diberikan Bank Jatim maka hukumnya wajib ditolak," kata Nizar, di Surabaya, Jumat (20/4/2012).
Soegiono anggota Komisi C (Bidang Keuangan) DPRD Jatim menambahkan, persoalan setuju atau tidak pengajuan kredit sudah menyangkut urusan teknis. Hal itu sudah menjadi kewenangan Dirut, Komisaris atau Pemegang Saham. Tentunya sudah dilakukan analisa yang mengacu pada asas 5 C, yaitu Character (kepribadian, watak), Capacity (kemampuan, kesanggupan), Capital (modal, kekayaan), Collateral (agunan, jaminan), dan Conditional of Economic (kondisi ekonomi).
"Jadi kita tak bisa hanya mengacu pada berapa agunan yang diberikan, tetapi juga harus mempertimbangkan asas yang lain," kata Politisi dari FPDIP ini.
Sementara itu dari informasi yang dihimpun berdasarkan Perpres Nomer 14 tahun 2007 dari kebutuhan dana Rp3,8 trilliun yang harus dibayarkan ke warga sudah terealisasi Rp2,9 trilliun atau 78 persen lunas. Sehingga tersisa, Rp900 milliar yang belum terbayar. Sementara kondisi keuangan perusahaan saat ini tidak memungkinkan karena cash flow yang tersisa terbatas hanya untuk operasional perusahaan.
()