RUU Pangan hanya objek kebijakan liberalisasi
A
A
A
Sindonews.com - Pembahasan RUU Pangan dinilai harus dilakukan dengan transparan, agar hasilnya bermakna bagi kehidupan bangsa. Kalangan pengusaha menganggap selama ini petani menjadi korban dari beberapa undang-undang di bidang pertanian yang tidak memihak pada nasib para petani.
Ketua Bidang 7 BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Agribisnis Desi Arianti menegaskan jika RUU Perlindungan dan Pemberdayaan petani maupun RUU Pangan, dan petani hanya menjadi objek dari kebijakan liberalisasi
"Oleh karena itu, RUU Pangan diharapkan dapat memberikan dampak positif, dan harapan bagi petani dengan kepemilikan lahan yang sempit," kata Desi Arianti, dalam Forum Dialog "RUU Pangan dan Upaya Pencapaian Surplus Beras 10 juta ton tahun 2014," di Gedung Palma One, Jakarta, Rabu (2/5/2012).
Dikatakannya, jumlah para petani di Indonesia sangat besar dan sudah selayaknya mendapatkan kesejahteraan yang meningkat. Untuk itu, UU pangan yang disahkan nanti diharapkan tidak meliberalkan sektor pertanian.
"Jika ini sampai terjadi maka nasib petani akan semakin terpuruk. Karena akan lebih banyak produk impor yang diizinkan masuk ke Indonesia," katanya.
Padahal, setidaknya ada sekira 16 komoditas dan angkanya saat ini sudah mencapai Rp100 triliun. Jadi, kondisi ini akan berlanjut manakala negara ini akan dibuat by designed atau dibuat skenario menjadi negara importir produk-produk pangan.
"Yang perlu ditekankan di sini hasil produk RUU Pangan. Bisa dibilang, RUU ini cukup krusial untuk mendorong kesejahteraan petani dan juga mencapai surplus beras 10 juta ton pada 2014," ungkapnya.
Sementara itu Sekjen Dewan Tani Indonesia Anggawira mengatakan, upaya pemerintah menciptakan surplus beras bahkan dengan melipatgandakan anggaran Kementerian Pertanian dalam dua tahun terakhir dari Rp8,03 triliun pada 2010 menjadi Rp17,6 triliun pada 2011 tidak mampu direalisasikan.
"Kini dengan anggaran 2012 sebesar Rp17,8 triliun, Indonesia masih harus mengimpor berbagai macam kebutuhan pangan dari mulai beras, hingga daging sapi," pungkas Anggawira. (ank)
Ketua Bidang 7 BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Agribisnis Desi Arianti menegaskan jika RUU Perlindungan dan Pemberdayaan petani maupun RUU Pangan, dan petani hanya menjadi objek dari kebijakan liberalisasi
"Oleh karena itu, RUU Pangan diharapkan dapat memberikan dampak positif, dan harapan bagi petani dengan kepemilikan lahan yang sempit," kata Desi Arianti, dalam Forum Dialog "RUU Pangan dan Upaya Pencapaian Surplus Beras 10 juta ton tahun 2014," di Gedung Palma One, Jakarta, Rabu (2/5/2012).
Dikatakannya, jumlah para petani di Indonesia sangat besar dan sudah selayaknya mendapatkan kesejahteraan yang meningkat. Untuk itu, UU pangan yang disahkan nanti diharapkan tidak meliberalkan sektor pertanian.
"Jika ini sampai terjadi maka nasib petani akan semakin terpuruk. Karena akan lebih banyak produk impor yang diizinkan masuk ke Indonesia," katanya.
Padahal, setidaknya ada sekira 16 komoditas dan angkanya saat ini sudah mencapai Rp100 triliun. Jadi, kondisi ini akan berlanjut manakala negara ini akan dibuat by designed atau dibuat skenario menjadi negara importir produk-produk pangan.
"Yang perlu ditekankan di sini hasil produk RUU Pangan. Bisa dibilang, RUU ini cukup krusial untuk mendorong kesejahteraan petani dan juga mencapai surplus beras 10 juta ton pada 2014," ungkapnya.
Sementara itu Sekjen Dewan Tani Indonesia Anggawira mengatakan, upaya pemerintah menciptakan surplus beras bahkan dengan melipatgandakan anggaran Kementerian Pertanian dalam dua tahun terakhir dari Rp8,03 triliun pada 2010 menjadi Rp17,6 triliun pada 2011 tidak mampu direalisasikan.
"Kini dengan anggaran 2012 sebesar Rp17,8 triliun, Indonesia masih harus mengimpor berbagai macam kebutuhan pangan dari mulai beras, hingga daging sapi," pungkas Anggawira. (ank)
()