BK tambang berpotensi percepat penurunan cadangan energi

Senin, 14 Mei 2012 - 10:04 WIB
BK tambang berpotensi...
BK tambang berpotensi percepat penurunan cadangan energi
A A A
Sindonews.com - Pemerintah diberitakan juga akan memberlakukan kebijakan pengenaan bea keluar (pajak ekspor) terhadap batu bara, setelah pengenaan bea keluar sebesar 20 persen bagi 14 komoditas tambang.

Bea keluar ini dikenakan dengan tujuan (1) untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (2) melindungi kelestarian sumber daya alam; (3) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor di pasaran internasional; dan (4) untuk menjaga stabilitas harga komoditas di dalam negeri.

Saya berpendapat, penerapan kebijakan bea keluar batu bara memang perlu diambil untuk memberikan manfaat finansial yang lebih besar kepada negara. Ini mengingat, faktanya penerimaan sektor batu bara masih kalah dibandingkan dengan penerimaan dari minyak dan gas bumi (migas).

Di sisi lain, proses produksi batu bara jauh lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan migas, termasuk juga memberikan dampak lingkungan yang lebih besar. Jadi, wajar bila negara sebagai pemilik sumber daya alam memungut penerimaan batu bara secara lebih besar.

Namun demikian, dari sisi kebijakan energi, kebijakan pengenaan bea keluar batu bara ini sebetulnya masih belum cukup. Bahkan, pengenaan bea keluar justru berpotensi mempercepat proses penurunan cadangan energi (batu bara), bila tidak ada kebijakan antisipasinya. Bagaimana penjelasannya?

Dalam rangka menjaga ketahanan energi, pemerintah telah memiliki roadmapkebijakan energi yang cukup komprehensif. Melalui Perpres No 5/2006, pemerintah memiliki target bauran energi (energy mix) yang cukup baik, di mana pada tahun 2025, porsi konsumsi energi yang berasal dari minyak bumi akan ditekan menjadi 20 persen, dari posisi pada tahun 2006 sebesar 52 persen.

Seiring dengan berkurangnya porsi minyak, peran sumber-sumber energi lainnya menjadi semakin meningkat. Batu bara, misalnya, diarahkan akan mengambil peran sekitar 33 persen pada 2025, dari posisi pada tahun 2006 sekitar 15 persen. Peran gas bumi juga akan sedikit meningkat, dari sekitar 29 persen (2006) menjadi 30 persen (2025).

Di sisi lain, pada tahun 2025 ditargetkan penggunaan energi terbarukan juga akan semakin meningkat. Sayangnya, implementasi kebijakan energi kita tampaknya masih jauh dari roadmap tersebut. Dari perkembangan yang ada, kami belum melihat ada kebijakan yang mendasar untuk mendukung capaian target energy mix policy tersebut. Saat ini, ditengarai produksi gas kita telah memasuki masa mature-nya dan menurun lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sayangnya, lebih dari 50 persen produksi gas kita dipergunakan untuk memenuhi komitmen ekspor jangka panjang. Di sisi lain, kebutuhan gas alam dalam negeri justru semakin meningkat. Indonesia juga merupakan salah satu produsen batu bara terbesar di dunia. Kita memiliki cadangan batu bara sekitar 28 miliar ton.

Indonesia, sekalipun memiliki cadangan batu bara terbesar keenam dunia, tapi ekspornya terbesar kedua di dunia. Bandingkan dengan China, yang merupakan produsen batu bara terbesar di dunia, di mana produksinya mencapai 3 miliar ton, tetapi hanya mengekspor 21 juta ton.

Kondisi ini tentu ironi di tengah upaya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Belakangan ini juga muncul gagasan agar pemerintah meningkatkan royalti dan pajak batu bara. Berdasarkan data, dari hasil produksi batu bara, pemerintah selama ini hanya memperoleh bagian 13,5 persen. Sisanya sebanyak 86,5 persen menjadi bagian investor asing ataupun lokal yang memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Dari sisi kebijakan penerimaan negara,berbagai gagasan untuk meningkatkan penerimaan negara dari batu bara ini memang tepat. Namun, dari sisi kebijakan energi, berbagai kebijakan tersebut belum mengubah apa-apa, karena paradigma kebijakan energi kita belum berubah, masih berorientasi pada pendapatan negara, bukan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Semestinya kebijakan sektor energi kita jangan hanya bertumpu pada kebijakan peningkatan penerimaan negara semata. Jauh lebih penting adalah kebijakan yang secara fundamental mampu mengarahkan agar sumber energi yang kita miliki. Selain sebagai bahan bakar, juga dapat menjadi bahan baku bagi industri nasional, menciptakan nilai tambah, dan memberikan dampak berantai yang besar bagi pertumbuhan ekonomi domestik.

Dengan kata lain, kita perlu suatu kebijakan yang terintegrasi antarsektor: hulu dan hilir, tidak sematamata demi mengejar penerimaan negara. (ank)

SUNARSIP
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1221 seconds (0.1#10.140)