Aturan pemurnian barang tambang banyak kelemahan
A
A
A
Sindonews.com - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 07 Tahun 2012 tentang Kewajiban Pemurnian Barang Tambang Mineral masih memiliki banyak kelemahan. Pasalnya, beleid tersebut tak mengatur eksportir yang tak memegang izin usaha pertambangan (IUP).
Situasi ini membuat pedagang perantara atau broker barang-barang tambang masih dapat mengekspor hasil tambang mineral mentah dari bumi Indonesia, meskipun tidak memiliki izin usaha pertambangan dan tidak membangun fasilitas pemurnian mineral atau smelter.
"Di sisi Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mungkin sudah selesai pengaturannya, tetapi di sisi perdagangan ada tata niaga yang harus dibereskan. Peraturan perdagangan bilang diatur tata niaganya kan harus berasal dari IUP itu harus kita rapihkain. Ada banyak lubang (peluang penyimpangan-red)," kata Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 07/2012, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tidak diperkenankan mengekspor 14 barang tambang mineral jika masih dalam bentuk mentah. Pemegang IUP hanya boleh ekspor jika memiliki rencana pembangunan fasilitas pemurnian, dinyatakan bersih dari masalah (clear and clean), membayar royalti, dan membayar pungutan berupa bea keluar sebesar 20 persen.
Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan pedagang perantara yang tidak memiliki IUP? Peraturan Menteri ESDM Nomor 07/2012 jelas tidak mengatur pedagang non-pemegang IUP. Aturan ini hanya mengatur sisi produksinya, tetapi tidak menertibkan tata niaganya.
"Perdagangan menyatakan, mineral yang diatur tata niaganya ada 65 jenis. Itu artinya, boleh saja ekspor sepanjang barang tambang itu diperoleh dari pengusaha pemegang IUP. Ini seharusnya tidak ada karena aturan itu seharusnya tidak bolong," lanjut Edy.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, Permen Nomor 07 ESDM sebenarnya juga tak mengatur soal renegosiasi termasuk renegoisasi antara perusahaanm tambang dengan pembeli. Ia mengatakan, aturan tersebut hanya meminta kepada industri berbasis logam agar menyampaikan rodmapnya untuk membangun semelter.
"Kalau tidak maka mereka dikenakan BK. Nah, sekarang sudah kami kenakan 20 persen dan akan kami perluas tidak hanya 14 komoditi, akan diperluas untuk semua logam, semua mineral, batu bara sedang kami kaji," tuturnya.
Situasi ini membuat pedagang perantara atau broker barang-barang tambang masih dapat mengekspor hasil tambang mineral mentah dari bumi Indonesia, meskipun tidak memiliki izin usaha pertambangan dan tidak membangun fasilitas pemurnian mineral atau smelter.
"Di sisi Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mungkin sudah selesai pengaturannya, tetapi di sisi perdagangan ada tata niaga yang harus dibereskan. Peraturan perdagangan bilang diatur tata niaganya kan harus berasal dari IUP itu harus kita rapihkain. Ada banyak lubang (peluang penyimpangan-red)," kata Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 07/2012, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tidak diperkenankan mengekspor 14 barang tambang mineral jika masih dalam bentuk mentah. Pemegang IUP hanya boleh ekspor jika memiliki rencana pembangunan fasilitas pemurnian, dinyatakan bersih dari masalah (clear and clean), membayar royalti, dan membayar pungutan berupa bea keluar sebesar 20 persen.
Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan pedagang perantara yang tidak memiliki IUP? Peraturan Menteri ESDM Nomor 07/2012 jelas tidak mengatur pedagang non-pemegang IUP. Aturan ini hanya mengatur sisi produksinya, tetapi tidak menertibkan tata niaganya.
"Perdagangan menyatakan, mineral yang diatur tata niaganya ada 65 jenis. Itu artinya, boleh saja ekspor sepanjang barang tambang itu diperoleh dari pengusaha pemegang IUP. Ini seharusnya tidak ada karena aturan itu seharusnya tidak bolong," lanjut Edy.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, Permen Nomor 07 ESDM sebenarnya juga tak mengatur soal renegosiasi termasuk renegoisasi antara perusahaanm tambang dengan pembeli. Ia mengatakan, aturan tersebut hanya meminta kepada industri berbasis logam agar menyampaikan rodmapnya untuk membangun semelter.
"Kalau tidak maka mereka dikenakan BK. Nah, sekarang sudah kami kenakan 20 persen dan akan kami perluas tidak hanya 14 komoditi, akan diperluas untuk semua logam, semua mineral, batu bara sedang kami kaji," tuturnya.
()