Ekonomi zona Euro suram, pengangguran melonjak
A
A
A
Sindonews.com – Tingkat pengangguran di zona euro pada April lalu mencapai rekor tertinggi, yakni 11 persen. Ini adalah level tertinggi sejak data pengangguran di wilayah 17 negara pengguna mata uang tunggal itu mulai dicatat pada 1995.
Menurut lembaga statistik Eurostat, persentase pengangguran tersebut tidak berubah sejak Maret lalu yang menandakan masih suramnya perekonomian di kawasan itu. Di antara anggota zona euro, Spanyol menjadi negara dengan pengangguran tertinggi, yakni 24,3 persen, sementara terendah Austria 3,9 persen.
Pada April lalu, jumlah orang yang menjadi pengangguran di zona euro naik menjadi 17,4 juta orang dibandingkan bulan sebelumnya 17,3 juta orang. Secara lebih luas, persentase pengangguran di Uni Eropa yang meliputi 27 negara anggota mencapai 10,3 persen, naik dibandingkan sebelumnya 10,2 persen.
“Hari ini data pengangguran memperlihatkan semacam pengingat bahwa perekonomian kawasan ini seperti putus asa karena memerlukan ekspansi kebijakan yang lebih luas,”ujar ekonom ING Martin van Vliet seperti dikutip BBC kemarin.
Dia menambahkan, dampak resesi ke pasar tenaga kerja telah menunjukkan gejala yang lebih luas dan mendalam. Selain Spanyol, jumlah pengangguran yang relatif tinggi juga terjadi di Yunani yang hampir mencapai 22 persen serta Portugal 15 persen.
Kondisi tersebut sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir akibat tingginya tekanan krisis utang. Sekadar untuk diketahui, Yunani dan Portugal adalah dua negara terakhir yang mendapatkan suntikan dana dari lembaga internasional. Adapun di Italia dan Prancis yang merupakan negara dengan perekonomian kedua dan ketiga terbesar di zona euro, tingkat penganggurannya masing-masing naik menjadi 10,2 persen, dari sebelumnya 10,1 persen. Dari ke-17 negara zona euro,hanya Jerman yang penganggurannya turun, yakni menjadi 5,4 persen dari sebelumnya 5,5 persen.
Tekanan krisis Eropa tidak hanya berdampak pada sektor ketenagakerjaan. Di Spanyol, kalangan perbankan menginginkan adanya dana talangan untuk menyelamatkan bisnis akibat meningkatnya risiko utang.Terakhir, bank keempat terbesar di Spanyol, Bankia, bahkan telah menyatakan butuh dana setidaknya 19 miliar euro untuk menutupi kerugian akibat aset bermasalah. Sejumlah analis memperkirakan, memburuknya krisis utang zona euro bisa mendorong Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menurunkan suku bunga acuannya dari saat ini di posisi 1 persen.
“Meningkatnya krisis telah memberikan tekanan kepada ECB untuk membuat kebijakan berikutnya,” kata Kepala Ekonom Capital Economic Jonathan Loynes seperti dikutip AFP kemarin.
Para ekonom di Eropa memperkirakan, kebijakan baru ECB akan diputuskan pada pertemuan pekan ini. Langkah tersebut diperkirakan akibat semakin meningkatnya biaya bunga dari penerbitan obligasi di sejumlah negara seperti Spanyol yang hampir mencapai tujuh persen. Kendati demikian,ujar Loynes, keputusan ECB seyogianya sejalan dengan kebijakan nasional negara anggota zona euro,termasuk dalam masalah yang terkait fiskal.
Sebelumnya, penurunan suku bunga oleh ECB diikuti dengan pembelian surat utang langsung ke negara-negara yang sedang bermasalah. ECB terakhir kalinya melakukan intervensi ke pasar keuanganpadaFebruarilalu, yakni dengan memompakan sedikitnya 1 triliun euro (USD1,25 triliun). Saat itu ECB menyalurkan pinjaman ke perbankan dengan tujuan mencegah membekunya aliran kredit di zona euro. Meski demikian, ECB menyatakan, kebijakan otoritas moneter di Eropa itu tidak akan berjalan jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah baru mengatasi krisis.
“Bisakah ECB mengisi ‘kekosongan’ aksi pemerintah dalam hal fiskal? Jawabannya, tidak,” ujar Presiden ECB Mario Draghi saat dengar pendapat dengan parlemen Eropa pekan lalu. Draghi juga memberikan catatan,meski kebijakan fiskal menjadi prioritas, pemerintah jangan sampai mengesampingkan masalah inflasi yang dalam sebulan terakhir justru terus menurun. Data terakhir memperlihatkan, krisis telah menekan harga-harga di luar perkiraan. Misalnya seperti yang terjadi di Jerman di mana indeks harga barang melambat menjadi 2,4 persen pada Mei lalu dibandingkan April yang mencapai 2,6 persen.
Kondisi ini mendorong inflasi di negara dengan perekonomian terbesar di Eropa itu menjadi hanya 1,9 persen, terendah dalam 17 bulan. Sementara itu,Spanyol mendesak zona euro mendirikan sebuah otoritas fiskal baru untuk mengelola keuangan blok mata uang tunggal.Lembaga tersebut diharapkan bisa menjelaskan kepada pasar bahwa mata uang tunggal tidak dapat diubah. Perdana Menteri (PM) Spanyol Mariano Rajoy mengatakan, otoritas tersebut nantinya dapat mengurangi permasalahan yang tengah dihadapi negaranya.
“Selain itu dapat mengurangi risiko keluarnya Yunani dari kawasan Eropa yang bisa menjatuhkan euro,”ujarnya seperti dikutip Reuters, Sabtu 2 Juni. Uni Eropa sebelumnya telah mendorong para pembuat kebijakan mempertimbangkan langkah-langkah pembuatan otoritas fiskal dan perbankan untuk dibahas pada pertemuan puncak Uni Eropa pada 28–29 Juni mendatang.
Sementara Jerman sebagai pendonor terbesar zona euro bersikeras, langkah tersebut hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari upaya mendekatkan serikat fiskal dan pelepasan kedaulatan nasional.
Seperti diketahui, besarnya pengeluaran dan masalah perbankan membuat biaya pinjaman Spanyol meningkat ke rekor tertinggi sehingga mendorong negara tersebut untuk mencari dana talangan (bailout) dari internasional. Pemerintah Spanyol yang telah menaikkan pajak memangkas pengeluaran serta memotong tunjangan sosial berpendapat, saat ini Uni Eropa harus bertindak untuk mengurangi kekhawatiran likuiditas Madrid.
Di bagian lain, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service telah menurunkan peringkat kredit tertinggi Yunani menjadi Caa2. Hal tersebut disebabkan meningkatnya risiko Negeri Dewa-Dewa itu keluar dari kawasan Eropa.
Menurut lembaga statistik Eurostat, persentase pengangguran tersebut tidak berubah sejak Maret lalu yang menandakan masih suramnya perekonomian di kawasan itu. Di antara anggota zona euro, Spanyol menjadi negara dengan pengangguran tertinggi, yakni 24,3 persen, sementara terendah Austria 3,9 persen.
Pada April lalu, jumlah orang yang menjadi pengangguran di zona euro naik menjadi 17,4 juta orang dibandingkan bulan sebelumnya 17,3 juta orang. Secara lebih luas, persentase pengangguran di Uni Eropa yang meliputi 27 negara anggota mencapai 10,3 persen, naik dibandingkan sebelumnya 10,2 persen.
“Hari ini data pengangguran memperlihatkan semacam pengingat bahwa perekonomian kawasan ini seperti putus asa karena memerlukan ekspansi kebijakan yang lebih luas,”ujar ekonom ING Martin van Vliet seperti dikutip BBC kemarin.
Dia menambahkan, dampak resesi ke pasar tenaga kerja telah menunjukkan gejala yang lebih luas dan mendalam. Selain Spanyol, jumlah pengangguran yang relatif tinggi juga terjadi di Yunani yang hampir mencapai 22 persen serta Portugal 15 persen.
Kondisi tersebut sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir akibat tingginya tekanan krisis utang. Sekadar untuk diketahui, Yunani dan Portugal adalah dua negara terakhir yang mendapatkan suntikan dana dari lembaga internasional. Adapun di Italia dan Prancis yang merupakan negara dengan perekonomian kedua dan ketiga terbesar di zona euro, tingkat penganggurannya masing-masing naik menjadi 10,2 persen, dari sebelumnya 10,1 persen. Dari ke-17 negara zona euro,hanya Jerman yang penganggurannya turun, yakni menjadi 5,4 persen dari sebelumnya 5,5 persen.
Tekanan krisis Eropa tidak hanya berdampak pada sektor ketenagakerjaan. Di Spanyol, kalangan perbankan menginginkan adanya dana talangan untuk menyelamatkan bisnis akibat meningkatnya risiko utang.Terakhir, bank keempat terbesar di Spanyol, Bankia, bahkan telah menyatakan butuh dana setidaknya 19 miliar euro untuk menutupi kerugian akibat aset bermasalah. Sejumlah analis memperkirakan, memburuknya krisis utang zona euro bisa mendorong Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menurunkan suku bunga acuannya dari saat ini di posisi 1 persen.
“Meningkatnya krisis telah memberikan tekanan kepada ECB untuk membuat kebijakan berikutnya,” kata Kepala Ekonom Capital Economic Jonathan Loynes seperti dikutip AFP kemarin.
Para ekonom di Eropa memperkirakan, kebijakan baru ECB akan diputuskan pada pertemuan pekan ini. Langkah tersebut diperkirakan akibat semakin meningkatnya biaya bunga dari penerbitan obligasi di sejumlah negara seperti Spanyol yang hampir mencapai tujuh persen. Kendati demikian,ujar Loynes, keputusan ECB seyogianya sejalan dengan kebijakan nasional negara anggota zona euro,termasuk dalam masalah yang terkait fiskal.
Sebelumnya, penurunan suku bunga oleh ECB diikuti dengan pembelian surat utang langsung ke negara-negara yang sedang bermasalah. ECB terakhir kalinya melakukan intervensi ke pasar keuanganpadaFebruarilalu, yakni dengan memompakan sedikitnya 1 triliun euro (USD1,25 triliun). Saat itu ECB menyalurkan pinjaman ke perbankan dengan tujuan mencegah membekunya aliran kredit di zona euro. Meski demikian, ECB menyatakan, kebijakan otoritas moneter di Eropa itu tidak akan berjalan jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah baru mengatasi krisis.
“Bisakah ECB mengisi ‘kekosongan’ aksi pemerintah dalam hal fiskal? Jawabannya, tidak,” ujar Presiden ECB Mario Draghi saat dengar pendapat dengan parlemen Eropa pekan lalu. Draghi juga memberikan catatan,meski kebijakan fiskal menjadi prioritas, pemerintah jangan sampai mengesampingkan masalah inflasi yang dalam sebulan terakhir justru terus menurun. Data terakhir memperlihatkan, krisis telah menekan harga-harga di luar perkiraan. Misalnya seperti yang terjadi di Jerman di mana indeks harga barang melambat menjadi 2,4 persen pada Mei lalu dibandingkan April yang mencapai 2,6 persen.
Kondisi ini mendorong inflasi di negara dengan perekonomian terbesar di Eropa itu menjadi hanya 1,9 persen, terendah dalam 17 bulan. Sementara itu,Spanyol mendesak zona euro mendirikan sebuah otoritas fiskal baru untuk mengelola keuangan blok mata uang tunggal.Lembaga tersebut diharapkan bisa menjelaskan kepada pasar bahwa mata uang tunggal tidak dapat diubah. Perdana Menteri (PM) Spanyol Mariano Rajoy mengatakan, otoritas tersebut nantinya dapat mengurangi permasalahan yang tengah dihadapi negaranya.
“Selain itu dapat mengurangi risiko keluarnya Yunani dari kawasan Eropa yang bisa menjatuhkan euro,”ujarnya seperti dikutip Reuters, Sabtu 2 Juni. Uni Eropa sebelumnya telah mendorong para pembuat kebijakan mempertimbangkan langkah-langkah pembuatan otoritas fiskal dan perbankan untuk dibahas pada pertemuan puncak Uni Eropa pada 28–29 Juni mendatang.
Sementara Jerman sebagai pendonor terbesar zona euro bersikeras, langkah tersebut hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari upaya mendekatkan serikat fiskal dan pelepasan kedaulatan nasional.
Seperti diketahui, besarnya pengeluaran dan masalah perbankan membuat biaya pinjaman Spanyol meningkat ke rekor tertinggi sehingga mendorong negara tersebut untuk mencari dana talangan (bailout) dari internasional. Pemerintah Spanyol yang telah menaikkan pajak memangkas pengeluaran serta memotong tunjangan sosial berpendapat, saat ini Uni Eropa harus bertindak untuk mengurangi kekhawatiran likuiditas Madrid.
Di bagian lain, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service telah menurunkan peringkat kredit tertinggi Yunani menjadi Caa2. Hal tersebut disebabkan meningkatnya risiko Negeri Dewa-Dewa itu keluar dari kawasan Eropa.
()