Perekonomian RI terhambat krisis
A
A
A
Sindonews.com – Krisis global yang terus memburuk akan memberi tekanan terhadap perekonomian Indonesia. Bila krisis tak kunjung membaik, perekonomian Indonesia terancam hanya bisa tumbuh 5,4 persen.
Proyeksi pertumbuhan dari lembaga keuangan Goldman Sachs tersebut jauh di atas target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 yang ditetapkan sebesar 6,5 persen.
Executive Director Global Economics,Commodities & Strategy Research Goldman Sachs,Mark Tan mengungkapkan, faktor eksternal yang disebabkan memburuknya kondisi ekonomi di Eropa akan menjadi pendorong perlambatan ekonomi Indonesia.
Dia mengatakan,faktor eksternal tersebut bisa hadir melalui sektor perdagangan dan pasar keuangan.Tan menambahkan, sektor perdagangan akan terpengaruh karena berkurangnya permintaan dari negara Eropa ataupun China dan India yang saat ini menjadi penggerak ekonomi dunia.Tan mengingatkan, perekonomian China dan India akan melambat. “Di pasar keuangan Indonesia harus mewaspadai berkurangnya perhatian bankbank Eropa yang selama ini memberi pinjaman kepada Indonesia,” tandasnya di Jakarta, kemarin.
Tan menjelaskan, melemahnya permintaan ekspor mengakibatkan defisit neraca pembayaran terancam terus melebar. Sementara, gejolak di pasar keuangan membuat nilai tukar rupiah melemah di pasar obligasi sehingga likuiditas dolar di Indonesia berkurang. Terlebih, kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) sangat tinggi sehingga likuiditas dolar bisa terkuras jika mereka menarik dananya.
Meski menghadapi tantangan besar dalam meredam gejolak rupiah, Tan melihat perekonomian Indonesia masih prospektif karena tidak terlalu terpengaruh dengan gejolak global. Dia menilai ekonomi Indonesia lebih ditopang oleh perekonomian domestik. Tingginya pertumbuhan kelas menengah serta masih besarnya minat investor juga akan mendorong pertumbuhan.
“Untuk menjaga pertumbuhan di tengah krisis, Indonesia harus menjaga stabilitas pasar dan nilai tukar, menambah stimulus fiskal, memperbaiki penyerapan anggaran, serta mendorong investasi,” tandas Tan. Sementara, aktivitas manufaktur di China dan Eropa yang dirilis kemarin menunjukkan pelemahan pada output industri di dua kawasan itu.
Kondisi ini semakin mempertegas bahwa krisis di Eropa masih menjadi hambatan di sektor produksi. Laporan terbaru HSBC kemarin menyatakan, indeks belanja manajer (manager purchasing index/PMI) yang merupakan indikator aktivitas perusahaan turun ke level 48,1 pada Juni ini, terendah dalam tujuh bulan terakhir. Bulan sebelumnya, seperti dikutip AFP, PMI China masih berada di level 84,4.
Seperti diketahui, indeks di bawah 50 menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas industri. Di Eropa, lembaga riset Markit menyatakan, indeks manufaktur kawasan zona euro pada Juni ini turun ke level terendah dalam tiga tahun yakni 44,8.Penurunan tersebut mengikuti pelemahan bulan sebelumnya,di mana PMI zona euro mencapai 45,1. Data manufaktur di dua kawasan tersebut langsung berdampak negatif ke pasar saham di Asia.
Kemarin bursa regional tertekan dipimpin Shanghai yang melemah 1,4 persen, kemudian Hang Seng turun 1,3 persen, Strait Times melemah 0,89 persen, dan Kospi turun 0,79 persen. Di Eropa pun indeks saham di bursa utama kompak menuju teritori negatif. Di Prancis, indeks CAC 40 turun 0,44 persen di awal perdagangan. Demikian pula di Frankfrut, indeks DAX melemah 0,41 persen.
Indeks FTSE London juga turun 0,63 persen. Lemahnya kinerja bursa Eropa juga karena kekhawatiran investor terhadap kondisi terkini pasar keuangan Spanyol yang kemarin kembali bergejolak setelah imbal hasil surat utang bertenor 5 tahun naik menjadi 6,07 persen.Ini adalah level tertinggi biaya pinjaman Negeri Matador sejak 16 tahun silam.
Proyeksi pertumbuhan dari lembaga keuangan Goldman Sachs tersebut jauh di atas target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 yang ditetapkan sebesar 6,5 persen.
Executive Director Global Economics,Commodities & Strategy Research Goldman Sachs,Mark Tan mengungkapkan, faktor eksternal yang disebabkan memburuknya kondisi ekonomi di Eropa akan menjadi pendorong perlambatan ekonomi Indonesia.
Dia mengatakan,faktor eksternal tersebut bisa hadir melalui sektor perdagangan dan pasar keuangan.Tan menambahkan, sektor perdagangan akan terpengaruh karena berkurangnya permintaan dari negara Eropa ataupun China dan India yang saat ini menjadi penggerak ekonomi dunia.Tan mengingatkan, perekonomian China dan India akan melambat. “Di pasar keuangan Indonesia harus mewaspadai berkurangnya perhatian bankbank Eropa yang selama ini memberi pinjaman kepada Indonesia,” tandasnya di Jakarta, kemarin.
Tan menjelaskan, melemahnya permintaan ekspor mengakibatkan defisit neraca pembayaran terancam terus melebar. Sementara, gejolak di pasar keuangan membuat nilai tukar rupiah melemah di pasar obligasi sehingga likuiditas dolar di Indonesia berkurang. Terlebih, kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) sangat tinggi sehingga likuiditas dolar bisa terkuras jika mereka menarik dananya.
Meski menghadapi tantangan besar dalam meredam gejolak rupiah, Tan melihat perekonomian Indonesia masih prospektif karena tidak terlalu terpengaruh dengan gejolak global. Dia menilai ekonomi Indonesia lebih ditopang oleh perekonomian domestik. Tingginya pertumbuhan kelas menengah serta masih besarnya minat investor juga akan mendorong pertumbuhan.
“Untuk menjaga pertumbuhan di tengah krisis, Indonesia harus menjaga stabilitas pasar dan nilai tukar, menambah stimulus fiskal, memperbaiki penyerapan anggaran, serta mendorong investasi,” tandas Tan. Sementara, aktivitas manufaktur di China dan Eropa yang dirilis kemarin menunjukkan pelemahan pada output industri di dua kawasan itu.
Kondisi ini semakin mempertegas bahwa krisis di Eropa masih menjadi hambatan di sektor produksi. Laporan terbaru HSBC kemarin menyatakan, indeks belanja manajer (manager purchasing index/PMI) yang merupakan indikator aktivitas perusahaan turun ke level 48,1 pada Juni ini, terendah dalam tujuh bulan terakhir. Bulan sebelumnya, seperti dikutip AFP, PMI China masih berada di level 84,4.
Seperti diketahui, indeks di bawah 50 menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas industri. Di Eropa, lembaga riset Markit menyatakan, indeks manufaktur kawasan zona euro pada Juni ini turun ke level terendah dalam tiga tahun yakni 44,8.Penurunan tersebut mengikuti pelemahan bulan sebelumnya,di mana PMI zona euro mencapai 45,1. Data manufaktur di dua kawasan tersebut langsung berdampak negatif ke pasar saham di Asia.
Kemarin bursa regional tertekan dipimpin Shanghai yang melemah 1,4 persen, kemudian Hang Seng turun 1,3 persen, Strait Times melemah 0,89 persen, dan Kospi turun 0,79 persen. Di Eropa pun indeks saham di bursa utama kompak menuju teritori negatif. Di Prancis, indeks CAC 40 turun 0,44 persen di awal perdagangan. Demikian pula di Frankfrut, indeks DAX melemah 0,41 persen.
Indeks FTSE London juga turun 0,63 persen. Lemahnya kinerja bursa Eropa juga karena kekhawatiran investor terhadap kondisi terkini pasar keuangan Spanyol yang kemarin kembali bergejolak setelah imbal hasil surat utang bertenor 5 tahun naik menjadi 6,07 persen.Ini adalah level tertinggi biaya pinjaman Negeri Matador sejak 16 tahun silam.
()