Askindo minta aturan BK Kakao direvisi
A
A
A
Sindonews.com - Sebanyak 72 eksporter kakao merugi dan menutup usahanya. Hal ini disebabkan mereka kalah bersaing dengan industri di dalam negeri menyusul pemberlakukan bea keluar (BK) ekspor kakao.
”Eksportir kakao Sulsel tidak ingin lagi melanjutkan usahanya mengirim kakao ke luar negeri dikarenakan adanya BK ekspor.Pajaknya terlalu besar sehingga tidak mampu lagi bersaing dengan pabrik yang ada di dalam negeri.Akibatnya ekspor kakao menurun drastis sampai 50%,” kata Wakil Ketua Bidang Administrasi dan Hukum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel Zaenal Beta di ruang kerjanya, kemarin.
Menurut Zaenal,sejak kebijakan diberlakukan April 2010, eksportir kakao satu per satu mulai merugi dan selanjutnya gulung tikar. ”Jumlah eksportir kakao di Sulsel sebanyak 80 orang, namun hingga 2012 sudah 72 orang yang menutup usahanya,” katanya.
Zaenal yang juga anggota DPRD Makassar ini mengatakan, pada 2010 jumlah kakao yang diekspor mencapai 117.000 ton,namun pada 2011 turun menjadi 57.217 ton. ”Ini disebabkan kakao lebih banyak diantarpulaukan untuk memasok pabrik-pabrik yang ada di pulau Jawa,” katanya.
Sementara itu Ketua Askindo Sulsel Yusa Rasyid Ali mengatakan, penurunan volume ekspor biji kakao mentah dari Sulsel itu disebabkan penerapan BK yang selalu bergerak progresif.
Dampak buruknya, banyak eksportir yang merugi dengan BK tersebut. “Pada dasarnya kami setuju saja dengan adanya BK, tetapi pemerintah harusnya tegas menetapkan angka.Selama ini BK yang harus dibayar eksportir bergerak mengikuti harga kakao dunia antara 5% hingga 15%,” ujar Yusa Rasyid Ali ketika dihubungi SINDO, kemarin.
Pergerakan penetapan BK tersebut makin tidak menentu dengan digunakannya pembayaran menggunakan dolar Amerika.“Ini juga yang menjadi keluhan terbesar eksportir karena harus membayar berdasarkan dolar. Harusnya disamaratakan saja dengan menggunakan rupiah,” ujar Yusa yang berharap ada revisi soal aturan BK tersebut.
Akibat dari semua aturan tersebut, Sulsel sebagai penghasil biji kakao terbesar di Indonesia paling menderita. Apalagi untuk melakukan ekspor, masih harus menggunakan pelabuhan di Surabaya yang tentu menambah keluarnya biaya lebih besar lagi. Dampak langsungnya bagi petani adalah turunnya harga kakao dan daya beli para eksportir.
“Banyak eksportir yang membeli kakao jauh lebih rendah dari harga sebelum BK ditetapkan. Karena perhitungan untuk membayar BK lagi sebelum biji kakao tersebut dikirim keluar negeri,” katanya.
Walau Yusa mengaku, aturan BK tersebut untuk meningkatkan daya saing kakao dalam negeri, tetapi hal tersebut juga tidak berjalan maksimal.“BK membuat perdagangan kakao dalam negeri bergairah, tetapi industri di Sulsel tidak begitu baik menerima dampak dari aturan ini,” kata dia.
Dari lima industri pengolahan kakao di Sulsel,volume produksi yang dihasilkan masih jauh tertinggal dari produksi yang ada di pulau Jawa. Padahal, menurut dia, BK itu dibuat untuk meningkatkan produksi pengolahan biji kakao di daerah sentra penghasil
Yusa juga mengambil data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel yang memperlihatkan penurunan ekspor kakao Sulsel per April merupakan ekspor paling rendah selama ini. Dari USD9,18 juta pada Maret 2012, ekspor kakao Sulsel melorot 35,40% menjadi USD5,93 juta di akhir April. (bro)
()