Ekonom sarankan BI Rate dinaikkan 7%
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat Ekonomi dari UGM, Tony Prasetiantono menyarankan agar Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI Rate, setidaknya hingga 50 basis poin (bps) ke 7 persen.
Dia memprediksi hal ini bisa menolong rupiah, selain mengembalikan bank untuk patuh pada kebijakan bank sentral. Dia melihat, industri perbankan sudah tidak terlalu bergantung pada kebijakan BI. Khususnya pada kebijakan suku bunga acuan atau BI Rate.
"BI Rate saat ini tidak realistis dengan inflasi yang ada," ujar Tony dalam seminar Investment Prospect Into 2014 di Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Dia juga mengatakan alasan lain menaikkan BI Rate demi stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap USD. Instrumen lainnya seperti FasBI Rate dan lelang forex Swap disebutnya tidak sekuat BI Rate untuk menghentikan pelemahan rupiah yang terus terjadi.
Selain itu, kenaikan BI Rate juga disebutnya dapat menjaga instrumen lain, yaitu cadangan devisa. Dengan menaikkan BI Rate, Tony yakin posisi cadangan devisa yang per Juli hanya USD92,7 miliar tidak akan semakin tergerus.
Nilai cadangan devisa yang menciut sangat tidak sehat bagi moneter Indonesia dan bisa menyebabkan kepanikan di pasar. "Investor bisa jadi semakin memburu dolar dan meninggalkan rupiah," ujarnya.
Posisi suku bunga acuan 6,5 persen tidak normal karena di bawah Indeks Harga Konsumen (IHK/inflasi) yang sebesar 8,61 persen. Padahal, di tengah likuiditas yang makin kering, bank harus memberikan premium rate kepada nasabah berkantong tebal agar mau menaruh dananya atau nasabah tidak mau keuntungan investasinya tergerus inflasi.
"Sehingga wajar bank banyak yang memilih mengambil kebijakan internal. Hal ini mengingat rata-rata premium rate perbankan saat ini sudah di kisaran 8-8,5 persen," ujarnya.
Sementara, pelemahan nilai tukar rupiah belakangan ini dilihatnya masih bisa diterima, mengingat kondisi perekonomian yang tengah melambat. Di negara-negara di kawasan, Yen Jepang mengalami depresiasi terbesar terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Tony mengatakan, Yen mengalami penurunan terbesar mencapai 33 persen selama 2012-2013. Diikuti Rupee India melemah sebesar 19 persen, dan Won Korea terdepresiasi sebesar 10 persen, sedangkan Peso Filipina sebesar 9 persen.
Sementara rupiah melemah 8 persen, tidak lebih baik dari dolar Singapura yang turun 6 persen, Ringgit Malaysia 4,5 persen dan Yuan China 4 persen.
"Sebetulnya depresiasi rupiah tidak terlalu jelek. Namun demikian, perkembangan terakhir, memang depresiasi cukup besar sehingga cukup membuat nervous," ujarnya.
Pada perdagangan valas kemarin, sebagaimana dicatat dalam kurs tengah bank sentral, nilai tukar rupiah kembali melemah menjadi Rp10.723 per USD, melemah 219 poin dibanding Rp10.504 per USD pada kurs tengah dari perdagangan Selasa, 20 Agustus 2013.
Dia memprediksi hal ini bisa menolong rupiah, selain mengembalikan bank untuk patuh pada kebijakan bank sentral. Dia melihat, industri perbankan sudah tidak terlalu bergantung pada kebijakan BI. Khususnya pada kebijakan suku bunga acuan atau BI Rate.
"BI Rate saat ini tidak realistis dengan inflasi yang ada," ujar Tony dalam seminar Investment Prospect Into 2014 di Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Dia juga mengatakan alasan lain menaikkan BI Rate demi stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap USD. Instrumen lainnya seperti FasBI Rate dan lelang forex Swap disebutnya tidak sekuat BI Rate untuk menghentikan pelemahan rupiah yang terus terjadi.
Selain itu, kenaikan BI Rate juga disebutnya dapat menjaga instrumen lain, yaitu cadangan devisa. Dengan menaikkan BI Rate, Tony yakin posisi cadangan devisa yang per Juli hanya USD92,7 miliar tidak akan semakin tergerus.
Nilai cadangan devisa yang menciut sangat tidak sehat bagi moneter Indonesia dan bisa menyebabkan kepanikan di pasar. "Investor bisa jadi semakin memburu dolar dan meninggalkan rupiah," ujarnya.
Posisi suku bunga acuan 6,5 persen tidak normal karena di bawah Indeks Harga Konsumen (IHK/inflasi) yang sebesar 8,61 persen. Padahal, di tengah likuiditas yang makin kering, bank harus memberikan premium rate kepada nasabah berkantong tebal agar mau menaruh dananya atau nasabah tidak mau keuntungan investasinya tergerus inflasi.
"Sehingga wajar bank banyak yang memilih mengambil kebijakan internal. Hal ini mengingat rata-rata premium rate perbankan saat ini sudah di kisaran 8-8,5 persen," ujarnya.
Sementara, pelemahan nilai tukar rupiah belakangan ini dilihatnya masih bisa diterima, mengingat kondisi perekonomian yang tengah melambat. Di negara-negara di kawasan, Yen Jepang mengalami depresiasi terbesar terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Tony mengatakan, Yen mengalami penurunan terbesar mencapai 33 persen selama 2012-2013. Diikuti Rupee India melemah sebesar 19 persen, dan Won Korea terdepresiasi sebesar 10 persen, sedangkan Peso Filipina sebesar 9 persen.
Sementara rupiah melemah 8 persen, tidak lebih baik dari dolar Singapura yang turun 6 persen, Ringgit Malaysia 4,5 persen dan Yuan China 4 persen.
"Sebetulnya depresiasi rupiah tidak terlalu jelek. Namun demikian, perkembangan terakhir, memang depresiasi cukup besar sehingga cukup membuat nervous," ujarnya.
Pada perdagangan valas kemarin, sebagaimana dicatat dalam kurs tengah bank sentral, nilai tukar rupiah kembali melemah menjadi Rp10.723 per USD, melemah 219 poin dibanding Rp10.504 per USD pada kurs tengah dari perdagangan Selasa, 20 Agustus 2013.
(izz)