Akademisi perkirakan pertumbuhan ekonomi RI 2014 turun
A
A
A
Sindonews.com - Tingkat inflasi Indonesia pada 2014 diprediksi masih akan tinggi dan nilai tukar rupiah masih akan terus melemah.
Hal tersebut dikarenakan neraca perdagangan akan terus mengalami defisit sekaligus tingginya nilai pada neraca pembayaran hutang jangka pendek, baik pemerintah maupun swasta. Karenanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan menurun dibanding 2013.
“Pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan menurun, dimana deviasi dan fluktuasi akan lebih tinggi. Inflasi pun diproyeksi mencapai 6,5 persen sedangkan nilai tukar Rupiah terhadap USD diprediksi berada di bawah harga Rp11.000,” kata Ekonom UGM Prof Dr Sri Adiningsih di FEB UGM, Selasa (24/12/2013).
Tak hanya inflasi dan nilai tukar Rupiah, menurut Asiningsih, menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 juga akan dipengaruhi oleh nilai investasi dan manufaktur yang mengalami penurunan. Di sisi lain, tingkat konsumsi Indonesia yang diprediksi akan terus meningkat diperkirakan tidak banyak membantu menaikkan ekonomi.
“Struktur ekonomi Indonesia saat ini dan nanti tetap lebih mengandalkan pada konsumsi dan impor. Padahal besaran makroekonomi yang terkait kondisi keuangan global masih stagnan. Bahkan kondisi ekonomi kita akan lebih memburuk jika agenda pelaksanaan pemilu 2014 tidak berjalan dengan baik. Bukan berarti tahun politik tidak berpengaruh pada perkembangan ekonomi,” ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis ini juga menuturkan, mengenai terus melemahnya nilai tukar rupiah, keputusan BI yang telah menaikkan suku bunga rate menjadi 7,5 persen dan dua paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pemerintah tidak akan terlalu berdampak. Cadangan devisa yang terus menurun hingga berada di angka USD97 miliar justru menjadi hal yang perlu dikhawatirkan.
"Penjualan surat berharga oleh pemerintah lewat pasar modal saat ini mencapai lebih dari USD175 miliar. Dan setiap harinya pemerintah menerbitkan surat hutang Rp1triliun, padahal daya beli masyarakat terbatas serta kepemilikan asing pada ekuitas sangat besar. Dalam kondisi demikian, kita menanggung resiko sangat besar sekali jika terjadi krisis di Amerika,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi UGM lainnya Prof Dr Insukindro MA justru mengkritisi kebijakan BI yang lebih banyak mengurusi bidang moneter dibanding fiskal.
"Akan lebih bijakasana jika BI memperhatikan kondisi moneter dan fiskal secara bersamaan dalam menuntaskan persoalan ekonomi lebih cepat," imbuhnya.
Hal tersebut dikarenakan neraca perdagangan akan terus mengalami defisit sekaligus tingginya nilai pada neraca pembayaran hutang jangka pendek, baik pemerintah maupun swasta. Karenanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan menurun dibanding 2013.
“Pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan menurun, dimana deviasi dan fluktuasi akan lebih tinggi. Inflasi pun diproyeksi mencapai 6,5 persen sedangkan nilai tukar Rupiah terhadap USD diprediksi berada di bawah harga Rp11.000,” kata Ekonom UGM Prof Dr Sri Adiningsih di FEB UGM, Selasa (24/12/2013).
Tak hanya inflasi dan nilai tukar Rupiah, menurut Asiningsih, menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 juga akan dipengaruhi oleh nilai investasi dan manufaktur yang mengalami penurunan. Di sisi lain, tingkat konsumsi Indonesia yang diprediksi akan terus meningkat diperkirakan tidak banyak membantu menaikkan ekonomi.
“Struktur ekonomi Indonesia saat ini dan nanti tetap lebih mengandalkan pada konsumsi dan impor. Padahal besaran makroekonomi yang terkait kondisi keuangan global masih stagnan. Bahkan kondisi ekonomi kita akan lebih memburuk jika agenda pelaksanaan pemilu 2014 tidak berjalan dengan baik. Bukan berarti tahun politik tidak berpengaruh pada perkembangan ekonomi,” ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis ini juga menuturkan, mengenai terus melemahnya nilai tukar rupiah, keputusan BI yang telah menaikkan suku bunga rate menjadi 7,5 persen dan dua paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pemerintah tidak akan terlalu berdampak. Cadangan devisa yang terus menurun hingga berada di angka USD97 miliar justru menjadi hal yang perlu dikhawatirkan.
"Penjualan surat berharga oleh pemerintah lewat pasar modal saat ini mencapai lebih dari USD175 miliar. Dan setiap harinya pemerintah menerbitkan surat hutang Rp1triliun, padahal daya beli masyarakat terbatas serta kepemilikan asing pada ekuitas sangat besar. Dalam kondisi demikian, kita menanggung resiko sangat besar sekali jika terjadi krisis di Amerika,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi UGM lainnya Prof Dr Insukindro MA justru mengkritisi kebijakan BI yang lebih banyak mengurusi bidang moneter dibanding fiskal.
"Akan lebih bijakasana jika BI memperhatikan kondisi moneter dan fiskal secara bersamaan dalam menuntaskan persoalan ekonomi lebih cepat," imbuhnya.
(gpr)