Pengusaha bauksit dan nikel minta diperbolehkan ekspor
A
A
A
Sindonews.com - Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) bersama Asosiasi Bauksit menyatakan, bahwa pembahasan batasan minimum miniral yang dilakukan antara kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama pelaku usaha dan asosiasi pertambangan berjalan satu arah dari pemerintah ke dunia usaha.
Kedua asosiasi ini menilai, bahwa batasan minimum pengolahan dan permurnian nikel dan bauksit terlalu tinggi. Sehingga sulit untuk dilaksanakan, terutama pelaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit dan nikel.
"Padahal dalam hal ini, tentunya aspirasi dunia usaha seyogyanya harus di dengar dan diperhatikan oleh pemerintah," kata Direktur Eksekutif Apemindo, ladjiman Damanik dalam rilisnya, Senin (13/1/2014).
Menurutnya, pemerintah cenderung memaksakan proposalnya dengan dalih untuk meningkatkan nilai tambah seoptimal mungkin. Sehingga sebenarnya, hingga saat ini belum ada kesepakatan apapun antara dunia usaha dengan pemerintah tentang hal ini.
Pelaku usaha IUP bauksit merasa bahwa batasan minimum pemurnian dari bauksit menjadi alumina (SGA 99 persen dan CGA 90 persen) masih memerlukan waktu di dalam proses pembangunannya. Hal ini, mengingat besarnya nilai investasi yang sedang dikeluarkan. Pembangunan pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina haruslah dibangun dalam skala yang besar agar ekonomis dan efisien.
Dia menuturkan, nilai investasi pabrik lebih dari USD500 juta dan lebih dari USD1 miliar untuk kapasitas pabrik dua juta ton alumina. Maka masih diperlukan waktu beberapa tahun ke depan untuk melakukan ekspor guna mendanai pembangunan konstruksi pabriknya tersebut.
"Produk bauksit yang diekspor tersebut bukanlah berupa raw material atau ore, melainkan berupa produk bijih olahan hasil proses benefisiasi atau mineral dressing (kadar Al2O3 sudah diatas 45 persen)," ujarnya.
Pihaknya mengharapkan pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku usaha bauksit agar hilirisasi di bauksit dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini pemerintah tentunya dapat meningkatkan kegiatan pengawasannya di lapangan.
Pelaku usaha bauksit menuntut rasa keadilan, agar turut diberikan kemudahan seperti pada komoditas tembaga. Pasalnya, pemerintah telah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha tembaga dengan memberikan batasan pengolahan yang dapat di ekspor hanya sebatas konsentrat tembaga dengan kadar Cu 15 persem.
Padahal, lanjut dia, produk konsentrat masih merupakan bentuk bijih (ore), yang telah dipisahkan dari pengotornya melalui proses flotasi. Saat ini produksi konsentrat tembaga dihasilkan oleh pemegang KK yaitu Freeport dan Newmont, yang telah beroperasi sejak 1960-an, memiliki cadangan yang besar, luas wilayah yang besar dan dukungan pendanaan yang kuat.
"Sehingga dengan kata lain, maka kedua KK tersebut akan tetap meneruskan ekspor konsentrat nya sejak 12 Januari 2014," pungkas dia.
Kedua asosiasi ini menilai, bahwa batasan minimum pengolahan dan permurnian nikel dan bauksit terlalu tinggi. Sehingga sulit untuk dilaksanakan, terutama pelaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit dan nikel.
"Padahal dalam hal ini, tentunya aspirasi dunia usaha seyogyanya harus di dengar dan diperhatikan oleh pemerintah," kata Direktur Eksekutif Apemindo, ladjiman Damanik dalam rilisnya, Senin (13/1/2014).
Menurutnya, pemerintah cenderung memaksakan proposalnya dengan dalih untuk meningkatkan nilai tambah seoptimal mungkin. Sehingga sebenarnya, hingga saat ini belum ada kesepakatan apapun antara dunia usaha dengan pemerintah tentang hal ini.
Pelaku usaha IUP bauksit merasa bahwa batasan minimum pemurnian dari bauksit menjadi alumina (SGA 99 persen dan CGA 90 persen) masih memerlukan waktu di dalam proses pembangunannya. Hal ini, mengingat besarnya nilai investasi yang sedang dikeluarkan. Pembangunan pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina haruslah dibangun dalam skala yang besar agar ekonomis dan efisien.
Dia menuturkan, nilai investasi pabrik lebih dari USD500 juta dan lebih dari USD1 miliar untuk kapasitas pabrik dua juta ton alumina. Maka masih diperlukan waktu beberapa tahun ke depan untuk melakukan ekspor guna mendanai pembangunan konstruksi pabriknya tersebut.
"Produk bauksit yang diekspor tersebut bukanlah berupa raw material atau ore, melainkan berupa produk bijih olahan hasil proses benefisiasi atau mineral dressing (kadar Al2O3 sudah diatas 45 persen)," ujarnya.
Pihaknya mengharapkan pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku usaha bauksit agar hilirisasi di bauksit dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini pemerintah tentunya dapat meningkatkan kegiatan pengawasannya di lapangan.
Pelaku usaha bauksit menuntut rasa keadilan, agar turut diberikan kemudahan seperti pada komoditas tembaga. Pasalnya, pemerintah telah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha tembaga dengan memberikan batasan pengolahan yang dapat di ekspor hanya sebatas konsentrat tembaga dengan kadar Cu 15 persem.
Padahal, lanjut dia, produk konsentrat masih merupakan bentuk bijih (ore), yang telah dipisahkan dari pengotornya melalui proses flotasi. Saat ini produksi konsentrat tembaga dihasilkan oleh pemegang KK yaitu Freeport dan Newmont, yang telah beroperasi sejak 1960-an, memiliki cadangan yang besar, luas wilayah yang besar dan dukungan pendanaan yang kuat.
"Sehingga dengan kata lain, maka kedua KK tersebut akan tetap meneruskan ekspor konsentrat nya sejak 12 Januari 2014," pungkas dia.
(izz)