Revisi UU Migas mendesak dituntaskan
A
A
A
Sindonews.com - Kalangan pengamat menilai revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) yang hingga kini belum ada kejelasan akan berdampak pada iklim investasi di sektor migas di Indonesia.
Pengamat Energi dari Universitas Indonesia, Kurtubi mengatakan pasca dibubarkannya Badan Pelaksana Usaha Hulu Migas (BP Migas) oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dan berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mekanisme kontrak Production Sharing Contract (PSC) belum mencapai pada filosofi dasar tata kelola hulu migas.
Mekanisme kontrak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) cenderung menjalankan bisnis langsung ke pemerintah atau melalui government to business (g to b). "Ini tidak ada kejelasan, seharusnya jelas jalankan business to business bukan b to g,” kata dia, saat ditemui disela acara dialog bertema "Menyoal Kedaulatan Ekonomi Pangan Energi sebagai Momentum Kebangkitan Ekonomi Bangsa" di Ritz Carlton, Jakarta, (28/1/2014).
Menurutnya, selama ini SKK Migas hanya lembaga berbadan hukum yang dimilki negara. Seharusnya, hakikat dari keputusan MK adalah lembaga tersebut menjadi Badan Usaha Milik Negara yang kemudian berbisnis langsung dengan negara.
"Skema PSC ini seharusnya dimiliki oleh lembaga berbadan hukum dan skemanya melalui BUMN. Tapi yang dijalankan sekarang adalah g to b mekanisme harusnya berbentuk izin bukan PSC sampai sekarang menjadi tidak jelas," katanya.
Dia mengatakan, jika peran SKK Migas tetap dijalankan artinya segala kebijakan yang dikaji maupun yang telah diputuskan pada dasarnya terjadi kekosongan hukum. "Seperti penentuan lifting minyak misalnya, ini tidak dibenarkan karena terjadi kekosongan hukum," ujarnya.
Kurtubi meminta agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan revisi UU Migas yang saat ini berada di tangan DPR.
Sementara, Direktur Pembinaan Program Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin menuturkan saat ini pemerintah menunggu kesiapan dewan untuk membahas draft revisi UU Migas. "Kami sekarang posisinya sedang menunggu. Kami siap membahasnya di DPR," kata dia.
Anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha mengatakan, bahwa revisi UU Migas akan dituntaskan sebelum pergantian anggota parlemen setelah pemilihan legislatif. Satya mengakui tidak ada kendala terkait revisi UU Migas. "Tidak ada kendala tahun depan selesai," ujarnya.
Satya menjelaskan, terpenting yang akan dilakukan adalah membentuk badan usaha khusus seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga, bukan lagi berbentuk badan hukum seperti BP Migas.
"Kami berharap dengan dibentuknya kegiatan badan usaha tidak ada lagi kendala tumpang tindih kewenangan dan pertetangan kewenangan dalam menjalakan tupoksinya," kata dia.
Pengamat Energi dari Universitas Indonesia, Kurtubi mengatakan pasca dibubarkannya Badan Pelaksana Usaha Hulu Migas (BP Migas) oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dan berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mekanisme kontrak Production Sharing Contract (PSC) belum mencapai pada filosofi dasar tata kelola hulu migas.
Mekanisme kontrak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) cenderung menjalankan bisnis langsung ke pemerintah atau melalui government to business (g to b). "Ini tidak ada kejelasan, seharusnya jelas jalankan business to business bukan b to g,” kata dia, saat ditemui disela acara dialog bertema "Menyoal Kedaulatan Ekonomi Pangan Energi sebagai Momentum Kebangkitan Ekonomi Bangsa" di Ritz Carlton, Jakarta, (28/1/2014).
Menurutnya, selama ini SKK Migas hanya lembaga berbadan hukum yang dimilki negara. Seharusnya, hakikat dari keputusan MK adalah lembaga tersebut menjadi Badan Usaha Milik Negara yang kemudian berbisnis langsung dengan negara.
"Skema PSC ini seharusnya dimiliki oleh lembaga berbadan hukum dan skemanya melalui BUMN. Tapi yang dijalankan sekarang adalah g to b mekanisme harusnya berbentuk izin bukan PSC sampai sekarang menjadi tidak jelas," katanya.
Dia mengatakan, jika peran SKK Migas tetap dijalankan artinya segala kebijakan yang dikaji maupun yang telah diputuskan pada dasarnya terjadi kekosongan hukum. "Seperti penentuan lifting minyak misalnya, ini tidak dibenarkan karena terjadi kekosongan hukum," ujarnya.
Kurtubi meminta agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan revisi UU Migas yang saat ini berada di tangan DPR.
Sementara, Direktur Pembinaan Program Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin menuturkan saat ini pemerintah menunggu kesiapan dewan untuk membahas draft revisi UU Migas. "Kami sekarang posisinya sedang menunggu. Kami siap membahasnya di DPR," kata dia.
Anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha mengatakan, bahwa revisi UU Migas akan dituntaskan sebelum pergantian anggota parlemen setelah pemilihan legislatif. Satya mengakui tidak ada kendala terkait revisi UU Migas. "Tidak ada kendala tahun depan selesai," ujarnya.
Satya menjelaskan, terpenting yang akan dilakukan adalah membentuk badan usaha khusus seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga, bukan lagi berbentuk badan hukum seperti BP Migas.
"Kami berharap dengan dibentuknya kegiatan badan usaha tidak ada lagi kendala tumpang tindih kewenangan dan pertetangan kewenangan dalam menjalakan tupoksinya," kata dia.
(izz)