Engagement dan racun budaya perusahaan

Selasa, 18 Februari 2014 - 16:25 WIB
Engagement dan racun budaya perusahaan
Engagement dan racun budaya perusahaan
A A A
SEORANG manajer bagian HR (human resource) di sebuah perusahaan swasta begitu khawatir dengan fenomena Talent War atau perang karyawan yang muncul belakangan ini. Beberapa profesional andalannya hengkang ke perusahaan kompetitor.

Saat ini memang marak jasa head hunter untuk “memburu” para profesional berkualifikasi tinggi. Dalam upaya memenangkan persaingan, perusahaan tertentu memilih membajak profesional terbaik dari luar, meski harus mengeluarkan budget besar.

Bagaimana mempertahankan karyawan terbaik dari serangan Talent War? Jawabannya ada pada istilah pengelolaan SDM yang berkembang saat ini, yaitu Employee Engagement. Ini adalah kekuatan yang mengikat antara perusahaan dan karyawan baik secara emosional, rasional maupun spiritual yang mampu mendorong kinerja optimal individu sehingga membuat perusahaan mampu mencapai tujuannya dan memiliki keunggulan bersaing.

Employee Engagement
sangat penting dan menunjang peningkatan kinerja perusahaan. Menurut sebuah riset, Employee Engagement dapat memberikan peningkatan kinerja pada karyawan, profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen, serta keberhasilan untuk organisasi (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, 2006).

Namun, fakta mengenai tingkat engagement karyawan di perusahaan sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil riset dari Galup Management Journal 2001, hanya 1 dari 4 karyawan merasa terlibat atau 26 persen (engaged), mereka mencintai apa yang mereka kerjakan dan mereka bersemangat untuk datang bekerja. Sedangkan 2 dari 4 karyawan acuh atau 55 persen (disengaged), mereka memencet mesin absensi tetapi hati dan pikiran mereka kemana-mana. Sisanya, yaitu 1 dari 5 karyawan aktif acuh, atau bahkan menjadi provokator 19 persen (actively disengaged), mereka menyebarkan kegalauannya, seberapa jauh mereka tidak puas dengan atasan, rekan kerja atau perusahaan pada umumnya.

Sesungguhnya ada 3 faktor yang dapat menumbuhkan Employee Engagement, yaitu keselarasan antara nilai pribadi dengan nilai-nilai organisasi, lingkungan kerja yang kondusif serta sistem kompensasi, reward yang fair dan memadai. Dua faktor pertama merupakan faktor-faktor yang lebih terkait dengan budaya perusahaan, sedangkan faktor terakhir lebih terkait dengan kesejahteraaan karyawan.

Dari ketiga faktor tersebut di atas, mana yang paling memberikan dampak terhadap Employee Engagement? Leigh Branham dalam “The 7 Hidden Reason Employees Leave : How to Recognize the Subtle Signs and Act Before It’s Too Late” (2005) menyimpulkan, “Lebih dari 85 persen manajer meyakini bahwa karyawan meninggalkan perusahaan karena mereka tertarik dengan gaji yang lebih besar dan kesempatan yang lebih baik. Namun ternyata, lebih dari 80 persen karyawan mengatakan bahwa faktor yang membuat mereka keluar dari perusahaan karena didorong oleh hal yang berkaitan dengan buruknya praktik manajemen atau racun budaya (budaya perusahaan yang sakit)".

Agar dapat meningkatkan Employee Engagement, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap kesehatan budaya organisasi sebagai faktor yang mempengaruhi. Budaya yang sehat adalah keselarasan antara nilai-nilai pribadi dengan nilai-nilai organisasi akan mendorong terjadinya kohesivitas internal, yang kemudian meningkatkan Employee Engagement serta perbaikan kinerja.

Tingkat keracunan budaya sebuah organisasi disebut sebagai Entropi Budaya, yaitu energi yang terbuang di tempat kerja untuk hal yang tidak produktif. Entropi budaya antara lain disebabkan oleh birokrasi yang berbelit, kontrol dan kehati-hatian yang berlebihan, saling tidak percaya, saling menyalahkan, kompetisi internal, ketidakjujuran, dan sebagainya. Itu semua tergolong racun budaya perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Barret Values Center dan Hewitt Associates terhadap 163 organisasi di Australia (2008), menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat entropi budaya dan Employee Engagement.

Entropi Budaya
Staff Engagement
Lapisan 1 (Terbaik)
5 %
89 %
Lapisan 2
8 %
76 %
Lapisan 3
15 %
55 %
Lapisan 4 (Terburuk)
21 %
40 %


Dari tabel tersebut tampak jelas korelasi antara engagement dengan entropi budaya. Semakin tinggi entropi semakin rendah engangement. Semakin rendah entropi atau semakin rendah racun budaya maka akan semakin tinggi engangement, atau semakin tinggi rasa keterkaitan positif dengan perusahaan.

Permasalahan yang sering terjadi adalah para pemimpin tidak mengetahui berapa tingkat keracunan atau entropi budaya dalam perusahaan dan apa penyebab terjadinya penurunan engangement.

Seperti halnya seorang pasien yang menderita sakit dan ingin berobat, perlu cek laboratorium untuk mengetahui kondisi kesehatan tubuhnya. Berapa tekanan darah dan detak jantungnya, bagaimana kadar kolesterolnya, atau bagaimana kondisi ginjal dan levernya? Dari tes laboratorium itulah akan diketahui apa penyakit yang dideritanya dan apa obat yang diperlukan.

Demikian juga dalam organisasi perusahaan, perlu diukur berapa entropi budayanya, dan apa saja yang telah menjadi racun budaya apakah birokrasi, kejujuran, kompetisi internal yang tidak sehat, tidak adanya saling kepercayaan, atau yang lainnya, serta di direktorat mana? Semua harus bisa dibaca secara akurat.

Dengan teknologi assessment budaya modern, sekarang sudah dapat diukur berapa besar entropi budaya dan apa saja jenis racun yang merongrong kesehatan budaya perusahaan. Dengan demikian, dapat diketahui dan disusun langkah-langkah tepat, efektif, dan efisien yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan budaya perusahaan sekaligus meningkatkan engagement karyawan yang selama ini menghantui pikiran para pemimpin organisasi.

Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.


fanspage : facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co

email : actconsulting@esqway165.com
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3252 seconds (0.1#10.140)