Keberadaan Pegadaian sangat dibutuhkan masyarakat
A
A
A
Sindonews.com - Sejarah panjang Pegadaian telah membuktikan, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pembiayaan keberadaan perseroan sangat dibutuhkan masyarakat. Nasabah dapat dengan mudah meminjam dana, tanpa prosedur rumit serta lebih cepat dibandingkan kredit perbankan.
"Kami menyediakan pinjaman mulai dari Rp20 ribu bagi masyarakat tanpa proses perbankan yang rumit. Bayangkan kalau terjadi akuisisi, tentunya kami ditekankan profit oriented untuk menjaring keuntungan sebanyak-banyaknya," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Pegadaian (Perseroan), Eko Widjatmiko saat menggelar rapat penolakan akuisisi perusahaan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) atau BRI di Jakarta, Selasa (6/5/2014).
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pegadaian (SP) Yul Alfian menyebutkan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi perseroan banyak mengalami benturan baik dari dalam maupun luar korporasi.
"Kami yakin aksi SP Pegadaian didukung penuh oleh seluruh karyawan, selain di-support penuh oleh anggota-anggotanya. Alhamdulillah di Pegadaian, Serikat Pekerja hanya satu sehingga memudahkan kami untuk konsolidasi," ujarnya.
Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan Bank van Leening, yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai. Lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada 20 Agustus 1746.
Saat Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari pemerintah daerah setempat (liecentie stelsel).
Namun, metode tersebut berdampak buruk terhadap pemegang lisensi menjalankan praktik rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Sebab itu, metode liecentie stelsel diganti menjadi "pacth stelsel", yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah daerah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama. Pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnis.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan cultuur stelsel, di mana dalam kajian tentang pegadaian saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat lebih besar bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No 131 pada 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli pemerintah. Selanjutnya, pada 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya, setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang gedung kantor pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di jalan Kramat Raya 162, Jakarta dijadikan tempat tawanan perang dan kantor pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam bahasa Jepang disebut ‘Sitji Eigeikyuku’, pimpinan jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi bernama M Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian memanas. Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10/1990 (yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No 103/2000) kembali berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Kemudian pada 2011, perubahan status kembali terjadi, yakni dari Perum menjadi perseroan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2011, ditandatangani pada 13 Desember 2011.
"Kami menyediakan pinjaman mulai dari Rp20 ribu bagi masyarakat tanpa proses perbankan yang rumit. Bayangkan kalau terjadi akuisisi, tentunya kami ditekankan profit oriented untuk menjaring keuntungan sebanyak-banyaknya," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Pegadaian (Perseroan), Eko Widjatmiko saat menggelar rapat penolakan akuisisi perusahaan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) atau BRI di Jakarta, Selasa (6/5/2014).
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pegadaian (SP) Yul Alfian menyebutkan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi perseroan banyak mengalami benturan baik dari dalam maupun luar korporasi.
"Kami yakin aksi SP Pegadaian didukung penuh oleh seluruh karyawan, selain di-support penuh oleh anggota-anggotanya. Alhamdulillah di Pegadaian, Serikat Pekerja hanya satu sehingga memudahkan kami untuk konsolidasi," ujarnya.
Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan Bank van Leening, yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai. Lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada 20 Agustus 1746.
Saat Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari pemerintah daerah setempat (liecentie stelsel).
Namun, metode tersebut berdampak buruk terhadap pemegang lisensi menjalankan praktik rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Sebab itu, metode liecentie stelsel diganti menjadi "pacth stelsel", yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah daerah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama. Pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnis.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan cultuur stelsel, di mana dalam kajian tentang pegadaian saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat lebih besar bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No 131 pada 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli pemerintah. Selanjutnya, pada 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya, setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang gedung kantor pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di jalan Kramat Raya 162, Jakarta dijadikan tempat tawanan perang dan kantor pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam bahasa Jepang disebut ‘Sitji Eigeikyuku’, pimpinan jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi bernama M Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian memanas. Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10/1990 (yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No 103/2000) kembali berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Kemudian pada 2011, perubahan status kembali terjadi, yakni dari Perum menjadi perseroan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2011, ditandatangani pada 13 Desember 2011.
(dmd)