Perbankan Minta BI Revisi Aturan LTV
A
A
A
JAKARTA - Perbankan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mulai merevisi aturan loan to value (LTV) yang mewajibkan uang muka (down payment) 30% dari harga rumah sebelum mendapatkan pinjaman. Namun perbankan mengatakan ancaman bubble harga properti telah mereda dan sebaiknya BI mulai lakukan uji coba melonggarkan kebijakannya.
Senior Vice President PT Bank Bukopin Tbk Adhi Bramantya mengatakan, ini saatnya BI merevisi kebijakan LTV. Dia menjelaskan kondisi saat ini tidak sama dengan tiga bulan yang lalu. Saat ini kebutuhan KPR sedang meningkat dengan adanya momentum lebaran. Sementara konsumen juga semakin dibebani kenaikan tarif tenaga listrik untuk 6 golongan pelanggan listrik per 1 Juli 2014.
"Kondisinya sudah berbeda dari kondisi normal pada tiga bulan lalu. Sebaiknya direvisi dari 30% menjadi 20-25%. Khususnya untuk kuartal tiga ini," ujar Adhi saat dihubungi kemarin di Jakarta, Senin (30/6/2014).
Dia mengatakan kondisi saat ini semakin parah dengan nilai rupiah yang sedang melemah. Sedangkan sumber dana juga lagi naik karena suku bunga yang masih ketat. Namun dia menilai prioritas revisi hanya bagi rumah pertama sedangkan rumah kedua dan ketiga sebaiknya dipertahankan.
"Di momen lebaran pasti perbankan juga akan memanfaatkan untuk menaikkan suku bunga KPR. Ini sedang masa puncak kenaikan bunga. Kebutuhan lagi tinggi," ujarnya.
Sementara Head of Consumer and Retail Banking BNI Kanwil Jakarta Kota Jarot Sudarsono juga mengharapkan BI meninjau kembali aturan LTV di semester dua tahun ini. Sebaiknya BI meringankan kembali walaupun tidak seperti tahun lalu. Ini disebabkan bunga KPR yang masih naik di pasaran sehingga beban debitur meningkat.
"Sedangkan untuk mencari dana masih sulit. Setidaknya direvisi hingga setengah dari 30%. Dikoreksi sambil test case di semester dua," ujar Jarot ditemui beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan terdapat 35 sektor yang melambat bergerak akibat kebijakan LTV. Mulai dr pabrik cat hingga pengembang perumahan turut merasakan dampaknya. Pihaknya lebih memilih siasat untuk menyalurkan KPR ke rumah kedua ketimbang rumah pertama.
"Kami pilih rumah yang lokasinya strategis untuk menjaga potensi NPL. Pasar secondary mortgage lebih baik disini dengan menggandeng agen properti. Namun NPL kami masih di bawah 1%" ujarnya.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan kebijakan LTV berhasil menekan harga rumah second dan baru ataupun properti komersial sehingga trennya menurun. Pertumbuhan penjualan properti residensial pada kuartal pertama melambat dari 31,54% di tahun 2013 menjadi 15,33% di tahun ini.
"Walaupun sudah berhasil menurun tapi tidak otomatis akan dilonggarkan. Di kuartal dua ini ada kecenderungan kenaikan sehingga akan kami evaluasi lagi," ujar Juda beberapa waktu lalu.
Dia menyebutkan harga rumah merupakan indikator perekonomian yang melambat. Walaupun trennya masih akan melemah namun pihaknya tidak memberikan batasan level tertentu karena sifatnya menyeluruh.
"Kami melihatnya secara keseluruhan dengan indikator perekonomian. Fokus kami mengawasi potensi bubble yang dilihat pada kenaikan drastis dibanding angka historisnya," jelasnya.
Kebijakan ketat soal LTV disebutnya memberikan hasil yang bagus untuk kredit properti dan kendaraan bermotor. Pinjaman untuk kendaran bermotor terus menurun.
Dengan pengereman ini juga berdampak penurunan rasio kredit bermasalah (non performing loan/npl) industri. Sedangkan pada kredit perumahan perbankan juga cenderung beralih ke rumah ukuran 70m kebawah. "Tidak hanya kendalikan harga tapi juga untuk bantu yang kurang mampu. Kenaikan menjadi lebih wajar," ujarnya.
Senior Vice President PT Bank Bukopin Tbk Adhi Bramantya mengatakan, ini saatnya BI merevisi kebijakan LTV. Dia menjelaskan kondisi saat ini tidak sama dengan tiga bulan yang lalu. Saat ini kebutuhan KPR sedang meningkat dengan adanya momentum lebaran. Sementara konsumen juga semakin dibebani kenaikan tarif tenaga listrik untuk 6 golongan pelanggan listrik per 1 Juli 2014.
"Kondisinya sudah berbeda dari kondisi normal pada tiga bulan lalu. Sebaiknya direvisi dari 30% menjadi 20-25%. Khususnya untuk kuartal tiga ini," ujar Adhi saat dihubungi kemarin di Jakarta, Senin (30/6/2014).
Dia mengatakan kondisi saat ini semakin parah dengan nilai rupiah yang sedang melemah. Sedangkan sumber dana juga lagi naik karena suku bunga yang masih ketat. Namun dia menilai prioritas revisi hanya bagi rumah pertama sedangkan rumah kedua dan ketiga sebaiknya dipertahankan.
"Di momen lebaran pasti perbankan juga akan memanfaatkan untuk menaikkan suku bunga KPR. Ini sedang masa puncak kenaikan bunga. Kebutuhan lagi tinggi," ujarnya.
Sementara Head of Consumer and Retail Banking BNI Kanwil Jakarta Kota Jarot Sudarsono juga mengharapkan BI meninjau kembali aturan LTV di semester dua tahun ini. Sebaiknya BI meringankan kembali walaupun tidak seperti tahun lalu. Ini disebabkan bunga KPR yang masih naik di pasaran sehingga beban debitur meningkat.
"Sedangkan untuk mencari dana masih sulit. Setidaknya direvisi hingga setengah dari 30%. Dikoreksi sambil test case di semester dua," ujar Jarot ditemui beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan terdapat 35 sektor yang melambat bergerak akibat kebijakan LTV. Mulai dr pabrik cat hingga pengembang perumahan turut merasakan dampaknya. Pihaknya lebih memilih siasat untuk menyalurkan KPR ke rumah kedua ketimbang rumah pertama.
"Kami pilih rumah yang lokasinya strategis untuk menjaga potensi NPL. Pasar secondary mortgage lebih baik disini dengan menggandeng agen properti. Namun NPL kami masih di bawah 1%" ujarnya.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan kebijakan LTV berhasil menekan harga rumah second dan baru ataupun properti komersial sehingga trennya menurun. Pertumbuhan penjualan properti residensial pada kuartal pertama melambat dari 31,54% di tahun 2013 menjadi 15,33% di tahun ini.
"Walaupun sudah berhasil menurun tapi tidak otomatis akan dilonggarkan. Di kuartal dua ini ada kecenderungan kenaikan sehingga akan kami evaluasi lagi," ujar Juda beberapa waktu lalu.
Dia menyebutkan harga rumah merupakan indikator perekonomian yang melambat. Walaupun trennya masih akan melemah namun pihaknya tidak memberikan batasan level tertentu karena sifatnya menyeluruh.
"Kami melihatnya secara keseluruhan dengan indikator perekonomian. Fokus kami mengawasi potensi bubble yang dilihat pada kenaikan drastis dibanding angka historisnya," jelasnya.
Kebijakan ketat soal LTV disebutnya memberikan hasil yang bagus untuk kredit properti dan kendaraan bermotor. Pinjaman untuk kendaran bermotor terus menurun.
Dengan pengereman ini juga berdampak penurunan rasio kredit bermasalah (non performing loan/npl) industri. Sedangkan pada kredit perumahan perbankan juga cenderung beralih ke rumah ukuran 70m kebawah. "Tidak hanya kendalikan harga tapi juga untuk bantu yang kurang mampu. Kenaikan menjadi lebih wajar," ujarnya.
(gpr)