Pemerintah Diharapkan Dorong Manufaktur Berbasis Ekspor

Selasa, 14 Oktober 2014 - 11:21 WIB
Pemerintah Diharapkan...
Pemerintah Diharapkan Dorong Manufaktur Berbasis Ekspor
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Transformasi Kebijakan Publik (PTKP) atau Transformasi Nugroho Wienarto mengatakan, kebijakan ekonomi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sangat bergantung kepada sektor konsumsi dan ledakan harga komoditas di pasar global, sehingga kian memperlebar ketimpangan penduduk kaya dan miskin di Indonesia.

Karena itu, pemerintah baru diharapkan melakukan perubahan kebijakan ekonomi dengan mendorong insentif bagi tumbuhanya sektor manufaktur berbasis ekspor.

Menurut dia, berkembangnya sektor manufaktur padat karya akan memberi ruang bagi penciptaan lapangan kerja berkualitas bagi penduduk kelas menengah ke bawah, sehingga pendapatan per kapita mereka meningkat, dan ketimpangan ekonomi dapat dikurangi.

Dia menuturkan, dalam periode masa jabatan Presiden SBY yang dibarengi dengan ledakan harga komoditas, tingkat konsumsi riil 40% penduduk termiskin hanya sebesar Rp7 juta (pada tahun 2005) dan bergerak ke angka Rp8 juta per kapita (pada tahun 2013).

Sementara konsumsi riil 40% penduduk kelas menengah sebesar Rp13 juta (2005) menjadi Rp16,5 juta (2013). Lonjakan konsumsi riil tertinggi dicapai 20% penduduk terkaya, yakni sebesar Rp33 juta per kapita dan Rp47 juta per kapita (2013).

“Data tersebut menunjukkan, yang paling diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang mengandalkan ledakan harga komoditas dan konsumsi adalah 20% penduduk terkaya, dan 40% penduduk termiskin menjadi yang paling tidak diuntungkan. Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi kian melebar,” ujar dia dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (14/10/2014).

Menurutnya, angka ketimpangan tersebut didapatkan setelah menghitung biaya admisnistrasi dan kebocoran kepada penduduk tidak miskin, serta mencakup manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program pemerintah.

Sejak tahun 2005, lanjut Nugroho, nyaris tak ada reformasi kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Pertumbuhan sebesar 6-7% pada kurun 2005 hingga 2011, yang kemudian menurun ke kisaran 5-6% sejak tahun 2013, lebih dipicu oleh ledakan harga komoditas di pasar global, khususnya komoditas mineral tambang.

Sebelum periode ledakan harga komoditas, yang mulai terjadi sejak tahun 2005, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,5%. Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi yang didorong lonjakan harga komoditas tersebut dibarengi dengan kebijakan memperluas konsumsi dalam negeri.

Konsumsi yang meningkat tersebut otomatis meningkatkan ekspor, yang harus dibayar dengan pendapatan ekspor yang lebih besar.

"Tak heran, sepanjang tahun 2014 ini terus terjadi defisit neraca perdagangan, yaitu pada awal tahun tercatat sebesar USD430 juta dan sebesar USD318,1 juta pada Agustus 2014," ujarnya.

Di pihak lain, sejak tahun 2005, permintaan untuk pekerja berketerampilan rendah cenderung tetap. Ledakan harga komoditas menghasilkan keuntungan ekspor yang tinggi, yang ternyata lebih banyak dinikmati 20% penduduk terkaya. Akibatnya, 20% penduduk terkaya semakin berada jauh di depan.

Terkait dengan permasalahan tersebut, Transformasi mencoba menawarkan solusi untuk pemerintah baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dengan menyusun dan menerbitkan buku berisi strategi kebijakan mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit.

Buku berjudul “Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru” karya Profesor Emeritus Bidang Ekonomi Universitas Boston, Gustav F Papanek, dan dua ahli ekonomi Indonesia Raden Pardede dan Suahasil Nazara.

Dia mengungkapkan, buku ini semacam roadmap bagi pemerintah baru untuk menggapai peluang pertumbuhan di atas 10%. Dengan cara mengembangkan industri manufaktur padat karya berbasis ekspor guna menciptakan lebih banyak tenaga kerja.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9147 seconds (0.1#10.140)